Jumat, 02 Januari 2015

Tahammul dan Ada' dalam Hadist



TAHAMMUL DAN ADA’ DALAM HADIST

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
 Ulumul Hadist

Dosen Pengampu:
Muhammad Labib, S.Sos.I


Oleh :
Joko Supriyanto
NIM: 2013.01.01.141
Putut Wismasari
NIM: 2013.01.01.203


PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2014

TAHAMMUL DAN ADA’ DALAM HADIST
Oleh: Joko Supriyanto dan Putut Wismasari

              I.          Pendahuluan

Allah telah memberikanal-Quran dan al-Hadist kepada umat Nabi Muhammad Saw.Para pendahulu selalu menjaga al-Quran dan al-Hadist nabi ini, hingga kini sampai kepada kita. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan bisa memegang janji. Sebagian diantara mereka ada yang mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya, yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh, dengan cara yang benar, memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah at Tahammul wal Ada’. Di dalam makalah ini akan dibahas cara penerimaan dan periwayatan hadist yang disebut dengan at-Tahammul wa al-Ada.

Para ulama’ hadist telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu hadist ini, lalu mereka membuat beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah mengidentifikasi antara tahammul hadis. Selanjutnya mereka menjadikannya beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama.Artinya ada yang lebih kuat lagi. Dan hal itu merupakan penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang lain. Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperti ini adalah cara yang paling selamat dan cara yang paling cermat. Untuk lebih jelasnya, kami akan membahasnya dalam makalah ini.





           II.          Pengertian Tahammul dan Ada’ Menurut Bahasa dan Istilah

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala  (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:[1]
التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah masdar dari
أَدَى- يَأْدِى- أَدَاءً
إيصال الشيئ إلى المرسل إليه
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
أدى- تأدية الشيئ : أوصله
“Menyampaikannya”.
Berarti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits.
Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”.[2]
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, maka dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
·         Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi).
·         Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
·         Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

        III.          Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits

Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya merupakan anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat, membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul, sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan.

Dalam tahammul al-hadist tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar, namun ketika menyampaikannya disyaratkan islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadist yang diterimanya sebelum masuk islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau bisa membedakan bagi yang belum baligh. Sebagian ulama’ memberikan batasan minimal berumur 5 tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah yang dinamakan tamyiz.[3]

Syarat perawi  dalam tahammul hadits yang kami temukan hanyalah tamyiz. Adapun syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.

        IV.          Syarat-syarat Perawi Dalam Ada’ al-Hadits

Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
1.    Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu, hadits seorang perowi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadits yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus sudah masuk Islam.

2.    Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam ketab-kitah fiqih.

3.    ‘Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan dan muru’ah (harga diri). Sifat  ‘adalahnya seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (مجهول).

4.    Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat akan hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadits hingga iameriwayatkannya.

Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:
a.    Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
b.    Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan  yang catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia meriwayatkan hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.[4]

           V.          Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.[5]

Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad.

1.    Al-Sima' min Lafdzi Syaikh

Penggambarannya yaitu ketika dalam menyampaikan hadist, Guru membaca hadist dari hafalan atau tulisannya dan murid mendengarkannya, kemudian murid yang mendengar menulisnya atau pun tidak. Ada pun metode seperti ini merupakan metode yang paling tinggi disbanding yang lain.

Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah:
   (seseorang mengabarkan kepadaku/kami)أخبرنى، أخبرنا
(seseorang telah bercerita kepadaku/kami)حدثنى، حدثنا
(saya telah mendengar, kami telah mendengar)سمعت، سمعنا
قال لي , ذكر لي (berkata kepadaku)

2.      Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh

Penggambarannya yaitu seorang murid membaca pada gurunya, kemudian gurunya mendengarkannya, baik yang dibacanya itu dari tulisan maupun hafalan. Hukum menggunakan periwayatan ini adalah diperbolehkan tanpa ada khilaf.

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan qiraah:
قرآت عليه
(aku telah membacakan dihadapannya)                                                             
قرئ على فلان و أنا أسمع
(dibacakan seseorang dihadapannya sedang akumendengarkannya)
حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه
(telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)
3.    Ijazah

Yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadist atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.

Di antara macam-macam ijazah adalah :
a.    Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
b.    Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c.    Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d.   Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e.    Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan  mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan – أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan – حدثنا إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana ijaazatan – أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
4.    Al-Munaawalah

Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk diriwayatkan.

Al-Munawalah ada dua macam :
a.    Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.

b.    Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.[6]

Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini adalah ناولني ( saya menawalahkan kepadamu) atau ناولني واجاز لي (saya menawalahkan kepadamu dan mengijazahkan kepadamu) . Dan yang lain adalah حدثنا مناولة( kami diceritai secara munawalah) atau اجبرنا مناولة واجازة( kami dikhabari secara munawalah dan ijazah).[7]

5.    Al-Kitabah

Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a.    Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b.    Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.

Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini adalah, كتب الي فلان (fulan menuliskan untukku) atau  فلان او اخبرني كتابةحدثني (fulan menceritakan kepadaku atau mengabariku suatu tulisan).[8]

6.    Al-I’lam (memberitahu)

Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah memberitahu kepadaku).

7.    Al-Washiyyah (mewasiati)

Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.

Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – أوصى إلي فلان بكتاب (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).[9]

8.    Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.

Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
VI.                        KESIMPULAN

Dari makalah yang telah kita sampaikan, bisa diambil kesimpulan bahwa dalam ilmu hadist dikenal juga kata tahammul dan Ada’. Tahammul merupakan proses penerimaan hadist. Sedangkan ada’ adalah penyampaian hadist. Mengenai syarat-syarat keduanya, dalam tahammul tidak disyaratkan seorang itu islam dan baligh, yang disyaratkan hanyalah ia harus tamyiz. Adapun dalam ada’ syaratnya yaitu mukallaf, adil dan dlabit.Dalam ada’ juga terdapat banyak metode atau cara, dan semuanya memiliki sighot yang berbeda-beda.
Pertama, Al-Sima' min Lafdzi Syaikh, yaitu seorang murid diajar langsung oleh syekhnya.Metode atau cara seperti ini merupakan metode yang paling tinggi dibanding yang lain. Adapun lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sima', ialah:قال لي , ذكر لي , سمعت، سمعنا , حدثنى، حدثنا , أخبرنى، أخبرنا .
Kedua, Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh, yaitu seorang murid membacakan hadist kemudian Syekh menyimaknya. Hukum menggunakan periwayatan ini adalah diperbolehkan tanpa ada khilaf.Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan qiraahialah:حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه , قرئ على فلان و أنا أسمع , قرآت عليه .
Ketiga, Ijazah, yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadist atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah أجاز لفلان,       حدثنا إجازة, أخبرنا إجازة, dan أنبأنا إجازة.
Keempat, Al-Munaawalah, yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk diriwayatkan. Al-Munawalah ada dua macam, pertama Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah, kedua Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini adalah ناولني  ( saya menawalahkan kepadamu) atau ناولني واجاز لي (saya menawalahkan kepadamu dan mengijazahkan kepadamu) . Dan yang lain adalah حدثنا مناولة ( kami diceritai secara munawalah) atau اجبرنا مناولة واجازة ( kami dikhabari secara munawalah dan ijazah).
Kelima, Al-Kitabah, yaitu seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam. Pertama, kitabah yang disertai dengan ijazah, kedua, kitabah yang tidak disertai dengan ijazah. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri. Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini adalah, كتب الي فلان (fulan menuliskan untukku) atau  فلان او اخبرني كتابةحدثني (fulan menceritakan kepadaku atau mengabariku suatu tulisan).
Keenam, Al-I’lam, yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah memberitahu kepadaku).
Ketujuh, Al-Washiyyah, yaitu, seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – أوصى إلي فلان بكتاب (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
Kedelapan, Al-Wijaadah, yaitu, seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadist-hadistnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.



DAFTAR PUSTAKA
Qaththan (al), Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Jakarta Timur :Pustaka
al-Kautsar, 2014.
Khatib (al),Muhammad ‘Ijâju, “Ushûlu al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu”, Bairut:
Dar al-Fikr, 2011.
ath-Thahani, Mahmud, “Taisir Mushthalah al-hadist”, Songgopur,: Haramain, 1985.
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. I.
http//ulumul hadits//com



[1]Dr. Mahmud ath-Thahani, Taisir Mushthalah al-hadist, (Songgopur,: Haramain, 1985), hlm. 156
[2] ibid:hlm 156
[3] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, (Jakarta Timur : Pustaka al-Kautsar, 2014), 181.
[4]  Dr. Muhammad ‘Ijâju al-khatib, Ushûlu al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Bairut : Dar al-Fikr, 2011),149.
[5]Dr. Mahmud ath-Thahani, Taisir Mushthalah al-hadist, (Songgopur,: Haramain, 1985), 158-162.

[6]  H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999). I.156
[7] Dr. Mahmud ath-Thahani, Taisir Mushthalah al-hadist, (Songgopur,: Haramain, 1985), 162
[8]Ibid., 163.
[9]Ibid., 156

0 komentar:

Posting Komentar