TAHAMMUL DAN ADA’
DALAM HADIST
Makalah
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Hadist
Dosen Pengampu:
Muhammad Labib, S.Sos.I
Oleh :
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG
REMBANG
2014
TAHAMMUL DAN ADA’
DALAM HADIST
Oleh: Joko Supriyanto dan Putut
Wismasari
I.
Pendahuluan
Allah telah memberikanal-Quran dan al-Hadist kepada umat Nabi
Muhammad Saw.Para pendahulu selalu menjaga al-Quran dan al-Hadist nabi ini, hingga kini sampai kepada kita. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan bisa memegang
janji. Sebagian diantara mereka ada yang mencurahkan
perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya,
yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam
pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh,
dengan cara yang benar, memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara,
baik ketika masih menjadi pelajar atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada
orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah at
Tahammul wal Ada’. Di dalam makalah ini akan dibahas cara penerimaan dan
periwayatan hadist yang disebut dengan at-Tahammul wa al-Ada’.
Para ulama’ hadist telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu
hadist ini, lalu mereka membuat beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai
syarat dengan berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah
mengidentifikasi antara tahammul hadis. Selanjutnya mereka menjadikannya
beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama.Artinya
ada yang lebih kuat lagi. Dan hal itu
merupakan penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan
memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang lain. Disamping itu mereka
yakin bahwa cara yang seperti ini adalah
cara yang paling selamat dan cara yang paling cermat. Untuk lebih jelasnya, kami akan membahasnya dalam makalah ini.
II.
Pengertian Tahammul dan Ada’ Menurut Bahasa
dan Istilah
Menurut bahasa tahammul merupakan
masdar dari fi’il madli tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung
, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.Berarti tahammul
al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli
hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits
adalah:[1]
التحمل: معناه
تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh
atau guru.
Sedangkan
pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah masdar dari
أَدَى- يَأْدِى-
أَدَاءً
إيصال الشيئ إلى
المرسل إليه
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
أدى- تأدية
الشيئ : أوصله
“Menyampaikannya”.
Berarti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits.
Sedangkan ada’
al-hadits menurut istilah adalah:
الأداء : رواية
الحديث وإعطاؤه الطلاب
“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”.[2]
Pengertiannya adalah
meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan
hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena tidak
semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, maka dalam hal ini
mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam
memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
·
Ketahanan
ingatan informator (Dlabitur Rawi).
·
Integritas
keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur
Rawi).
·
Mengetahui
maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia
meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil
ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang
dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu
mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
III.
Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya
merupakan anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan
lurusnya niat, membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang
merupakan adab atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima
hadits harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli
hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul, sehingga hadits
yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan.
Dalam tahammul al-hadist tidak disyaratkan seorang harus
muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar, namun ketika menyampaikannya
disyaratkan islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh
dari hadist yang diterimanya sebelum masuk islam atau sebelum baligh, dengan
syarat tamyiz atau bisa membedakan bagi yang belum baligh. Sebagian
ulama’ memberikan batasan minimal berumur 5 tahun. Namun yang benar adalah
cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami
pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah yang
dinamakan tamyiz.[3]
Syarat perawi dalam tahammul
hadits yang kami temukan hanyalah tamyiz. Adapun syarat berakal sehat
sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits. Oleh karena itu tidak sah
riwayatnya seseorang yang menerima hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak
sehat akalnya.
IV.
Syarat-syarat Perawi Dalam Ada’ al-Hadits
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau
dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu, hadits seorang perowi harus muslim. Menurut
ijma’, periwayatan hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap
riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadits yang
diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir
diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus sudah masuk Islam.
2.
Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah berusia lima belas tahun atau
baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam
ketab-kitah fiqih.
3.
‘Adalah
(adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan dan
muru’ah (harga diri). Sifat ‘adalahnya
seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadits sifat
‘adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi
syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu
Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir,
fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (مجهول).
4.
Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus
ingat akan hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan
memahami apa yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadits hingga iameriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi
dua yaitu:
a. Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia
dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut
kapanpun ia kehendaki.
b. Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang catatan hadits yang ia dengar, kitab
tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia meriwayatkan hadits sesuai dengan
tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.[4]
Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya terhadap
Persambungan Sanad.
1.
Al-Sima'
min Lafdzi Syaikh
Penggambarannya yaitu ketika dalam menyampaikan hadist, Guru
membaca hadist dari hafalan atau tulisannya dan murid mendengarkannya, kemudian
murid yang mendengar menulisnya atau pun tidak. Ada pun metode seperti ini
merupakan metode yang paling tinggi disbanding yang lain.
Lafadh-lafadh
yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah:
(seseorang mengabarkan kepadaku/kami)أخبرنى،
أخبرنا
(seseorang telah bercerita
kepadaku/kami)حدثنى، حدثنا
(saya telah mendengar, kami telah
mendengar)سمعت، سمعنا
قال لي , ذكر لي (berkata kepadaku)
2.
Al-Qira'ah
'ala Al-Syaikh
Penggambarannya yaitu seorang murid membaca
pada gurunya, kemudian gurunya mendengarkannya, baik yang dibacanya itu dari
tulisan maupun hafalan. Hukum menggunakan periwayatan ini adalah diperbolehkan
tanpa ada khilaf.
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk
menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan qiraah:
قرآت
عليه
(aku telah membacakan dihadapannya)
قرئ
على فلان و أنا أسمع
(dibacakan seseorang dihadapannya sedang akumendengarkannya)
حدثنا
أو أخبرنا قراءة عليه
(telah mengabarkan/menceritkan padaku secara pembacaan dihadapannya)
3.
Ijazah
Yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadist atau
riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya : “Aku
ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Di antara macam-macam ijazah adalah :
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang
tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di
antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan
apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua
riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti
dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”;
sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi
mengikutkan mereka yang hadir dalam
majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya”.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan
jalur ijazah adalah ajaza li fulan – أجاز لفلان (beliau telah memberikan
ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan – حدثنا إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana ijaazatan
– أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami secara
ijazah).
4.
Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah
kitab hadis kepada muridnya untuk diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a.
Al-Munawalah
yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si
fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya
untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan
dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan
al-qira’ah.
b.
Al-Munawalah
yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.[6]
Lafadh-lafadh
yang biasa dipakai dalam metode ini adalah ناولني ( saya menawalahkan kepadamu) atau
ناولني واجاز لي (saya menawalahkan kepadamu dan
mengijazahkan kepadamu) . Dan yang lain adalah حدثنا مناولة( kami diceritai secara
munawalah) atau اجبرنا مناولة واجازة( kami dikhabari secara
munawalah dan ijazah).[7]
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau
dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada
2 macam :
a.
Kitabah
yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu
apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan
cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang
disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum
meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu
sendiri.
Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini adalah,
كتب الي فلان (fulan menuliskan untukku) atau فلان او اخبرني
كتابةحدثني (fulan menceritakan kepadaku atau mengabariku suatu
tulisan).[8]
6.
Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang
muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan,
dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan
riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah
memberitahu kepadaku).
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat
mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada
sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini
perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – أوصى إلي فلان بكتاب (si fulan telah
mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah
bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).[9]
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau
kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang
hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang
didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi
fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi
khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
VI.
KESIMPULAN
Dari makalah yang telah kita sampaikan, bisa diambil kesimpulan
bahwa dalam ilmu hadist dikenal juga kata tahammul dan Ada’. Tahammul
merupakan proses penerimaan hadist. Sedangkan ada’ adalah
penyampaian hadist. Mengenai syarat-syarat keduanya, dalam tahammul tidak
disyaratkan seorang itu islam dan baligh, yang disyaratkan hanyalah ia harus
tamyiz. Adapun dalam ada’ syaratnya yaitu mukallaf, adil dan dlabit.Dalam
ada’ juga terdapat banyak metode atau cara, dan semuanya memiliki sighot
yang berbeda-beda.
Pertama, Al-Sima'
min Lafdzi Syaikh, yaitu seorang
murid diajar langsung oleh syekhnya.Metode atau cara seperti ini merupakan
metode yang paling tinggi dibanding yang lain. Adapun lafadh-lafadh yang
digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas dasar sima', ialah:قال لي , ذكر لي
, سمعت، سمعنا , حدثنى، حدثنا , أخبرنى، أخبرنا .
Kedua, Al-Qira'ah
'ala Al-Syaikh, yaitu seorang
murid membacakan hadist kemudian Syekh menyimaknya. Hukum menggunakan periwayatan ini adalah
diperbolehkan tanpa ada khilaf.Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan
hadis-hadis yang berdasarkan qiraahialah:حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه , قرئ على فلان و أنا
أسمع , قرآت عليه .
Ketiga, Ijazah, yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadist
atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan
riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah أجاز لفلان, حدثنا إجازة, أخبرنا إجازة, dan أنبأنا إجازة.
Keempat, Al-Munaawalah,
yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis
kepada muridnya untuk diriwayatkan. Al-Munawalah ada dua macam, pertama Al-Munawalah
yang disertai dengan ijazah, kedua Al-Munawalah
yang tidak diiringi ijazah. Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini
adalah ناولني ( saya menawalahkan kepadamu) atau
ناولني واجاز لي (saya menawalahkan kepadamu dan
mengijazahkan kepadamu) . Dan yang lain adalah حدثنا مناولة ( kami diceritai secara
munawalah) atau اجبرنا مناولة واجازة ( kami dikhabari secara
munawalah dan ijazah).
Kelima, Al-Kitabah, yaitu seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh
orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang
tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam. Pertama, kitabah yang disertai dengan
ijazah, kedua, kitabah yang tidak disertai dengan ijazah. Di sini terdapat perselisihan
hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu
sendiri. Lafadh-lafadh yang biasa dipakai dalam metode ini adalah, كتب الي فلان (fulan menuliskan
untukku) atau فلان او اخبرني كتابةحدثني (fulan menceritakan kepadaku atau
mengabariku suatu tulisan).
Keenam, Al-I’lam, yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits
ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan
ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara
ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي (guruku telah
memberitahu kepadaku).
Ketujuh, Al-Washiyyah, yaitu, seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya
atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.Ketika
menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya
fulaanun bi kitaabin – أوصى
إلي فلان بكتاب (si fulan telah mewasiatkan
kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فلان وصية (si fulan telah
bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
Kedelapan, Al-Wijaadah, yaitu, seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan
seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadist-hadistnya tidak pernah
didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.Dalam menyampaikan hadits atau kitab
yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi
fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bi
khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Qaththan (al), Syaikh Manna’, “Pengantar
Studi Ilmu Hadist”, Jakarta
Timur :Pustaka
al-Kautsar, 2014.
Khatib (al),Muhammad ‘Ijâju, “Ushûlu
al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu”, Bairut:
Dar al-Fikr, 2011.
ath-Thahani, Mahmud, “Taisir Mushthalah
al-hadist”, Songgopur,: Haramain, 1985.
Mudasir, “Ilmu Hadis”, Bandung : CV.
Pustaka Setia, 1999. Cet. I.
http//ulumul hadits//com
[1]Dr.
Mahmud ath-Thahani, Taisir Mushthalah al-hadist, (Songgopur,: Haramain,
1985), hlm. 156
[2]
ibid:hlm 156
[3]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, (Jakarta Timur :
Pustaka al-Kautsar, 2014), 181.
[4] Dr. Muhammad ‘Ijâju al-khatib, Ushûlu
al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Bairut : Dar al-Fikr, 2011),149.
[8]Ibid., 163.
[9]Ibid., 156
0 komentar:
Posting Komentar