PERSPEKTIF IGNAZ GOLDZIHER TERHADAP
AL-QUR’AN
Makalah
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semester VI
Pemikiran Orientalis Dalam Kajin
Al-Qur`an
Dosen
Pengampu:
Abdul
Wadud Kasful Humam, MTh.I
Oleh:
Joko
Supriyanto (2013.01.01.141)
Putut
Wismasari (2013.01.01.203)
PROGRAM
STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG
REMBANG
2016
PERSPEKTIF IGNAZ GOLDZIHER TERHADAP
AL-QUR’AN
Oleh : Joko
Supriyanto dan Putut Wismasari
I.
Pendahuluan
Kajian
orang-orang Barat terhadap Timur baik berupa agama, budaya, ataupun yang
lainnya, yang biasa dikenal dengan orientalisme, itu sudah berlangsung lama.
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa
aktifitas orientalisme telah dimulai sejak abad
ke-11 Masehi dimana pada saat itu banyak orang-orang Eropa yang sekolah
dan belajar di perguruan-perguruan Arab dengan orientasi penguasaan dan
penerjemahan buku-buku teks Arab.
Kajian yang
dilakukan orang-orang Barat terhadap Timur tersebut juga mengalami perjalanan
dan dinamika yang berliku, demikian pula tujuan para orientalis dalam mengkaji
Islam juga mengalami dinamika perubahan sesuai situasi yang berkembang. Sebelum
abad ke 19 misalnya, motivasi para orientalis tidak jauh beranjak dari motivasi
kolonialisme serta semangat permusuhan terhadap Islam. Pandangan yang
dihadirkan didominasi oleh sikap polemis. Namun sejak abad ke-19 motivasi
tersebut mulai mengalami pergeseran. Kegiatan orientalisme tidak lagi semata
bertujuan mencari kelemahan ajaran Islam, namun telah mulai dimotivasi oleh
tujuan ilmiah.[1] Adapun tanggapan dari orang-orang Timur
sendiri banyak yang menolak karya-karya atau pendapat-pendapat orientalis, hal
ini karena kebanyakan orientalis dalam mengkaji Timur baik budaya maupun
agamanya, cenderung bersikap subjektif dan mencari dalil untuk melemahkan objek
yang dikajinya.
Salah satu tokoh orientalis yang terkenal yang
sering disebut dedengkot dan panutan orientalis lain adalah Ignaz
Goldziher (penyebutan nama selanjutnya dengan Goldziher). Ia merupakan
orientalis yang lebih menekankan penelitiannya terhadap hadis dan al-Qur’an.
Selanjutnya, untuk mengetahui lebih lanjut tentang
pemikiran-pemikiran Goldziher terhadap al-Qur’an, dalam makalah ini akan
dijelaskan hal tersebut. Selain itu, untuk mengenal lebih jauh tokoh Goldziher
ini, makalah ini akan memberikan pembahasan tentang biografi dan pendekatan
serta tujuannya dalam mengkaji al-Qur’an. Selain itu juga akan dipaparkan sikap
dan tanggapan terhadap pemikiran orientalis yang satu ini.
II.
Perspektif Ignaz
Goldziher Terhadap al-Qur’an
A.
Biografi Ignaz
Goldziher
Ignaz Goldziher lahir pada 22
Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria[2].
Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi
tidak seperti keluarga Yahudi Eropa lainnya yang sangat fanatik
terhadap kebudayaan dan agamanya
saat itu. Pendidikannya dimulai dari Budhapest, kemudian melanjutkan ke Berlin
pada tahun 1869, hanya satu tahun ia di sana, kemudian pindah ke Universitas
Leipzig. Salah satu guru besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas
tersebut adalah Fleisser, sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia
termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar
doktoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurat
yang berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”[3].
Kemudian Goldziher kembali ke
Budhapest
dan ditunjuk sebagai asisten guru besar di Universitas Budhapes pada tahun
1872, namun ia tidak lama mengajar. Sebab ia diutus oleh Kementerian Ilmu
Pengetahuan ke Luar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan Leiden.
Setelah itu ia ditugasi untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan
menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama
menetap di Kairo dia sempat bertukar kajian di Universitas al-Azhar.
Ketika
diangkat sebagai pemimpin Universitas Budhapest,
dia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan
yang dilakukan Goldziher telah melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh
karena itu, ia dipilih sebagai anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871,
kemudian menjadi anggota badan pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua
dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.[4]
Pada
tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia
hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali untuk
menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di
berbagai universitas asing yang mengundangnya. Pada tanggal 13 November 1921,
akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhapest.[5]
Goldziher
memiliki beberapa karya tulis yang tidak sedikit. Ia terbilang sebagai
orientalis yang produktif. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut:[6]
1)
Kritik terhadap “Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa
Tarikhuhum”, yang dikerjakan pada tahun 1884. Sebuah buku yang mengulas
tentang ushul fiqih, sejarah munculnya madzhab, khususnya madzhab
Zhahiriyah, serta kaitannya dengan madzhab-madzhab lain.
2)
Muhammedanische Studien/Dirasah Islamiyyah, juz pertama terbit pada tahun
1889, sedangkan juz kedua terbit pada tahun berikutnya. Pada juz pertama,
Goldziher membahas tentang al-Watsaniyah wa al-Islam. Di juz kedua,
Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadis, pengkultusan wali di
kalangan umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.
3)
Kajian terhadap al-Mu’ammarin-nya Abi Hatim
as-Sijistani pada tahun 1899.
4)
Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910). Buku ini membahas Muhammad dan Islam,
Perkembangan Syariat, Perkembangan Ilmu Kalam, Zuhud dan Tasawuf yang menguraikan
sejarah timbulnya mistisime dalam Islam dan perkembangannya, yaitu sejak
peradaban Islam berkenalan dengan Hellenis dan Hindu hingga timbulnya paham wahdat
al-wujud pada abad ke-7 Hijriyah. Dalam bagian akhir karya ini dibahas juga
berbagai aliran yang terdapat dalam Islam, seperti Khawarij, Syi’ah, dan
aliran-aliran yang muncul pada masa kontemporer, seperti Wahabiyah, Bahaiyah,
Babiyah, dan Ahmadiyah.
5)
Die Richtungen der Islamischen
Koranauslegung. (Leiden,
1920). Yang dalam versi bahasa Arab berjudul Madzahib
at-Tafsir al-Islami.
B.
Pendekatan dan Tujuan Goldziher
Secara umum, al-Qur’an adalah target utama
serangan misionaris[7] dan orientalis Yahudi-Nasrani, setelah
mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa
al-Salām.[8] Pendekatan kajian Goldziher terhadap
al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otoritasnya, namun isu klasik yang
selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Nasrani, Zoroaster dan sebagainya
terhadap Islam dan isi kandungan al-Qur’an.
Goldziher berusaha mengungkapkan apa saja yang
bisa dijadikan bukti bagi teori
peminjaman dan pengaruh hal tersebut terutama dari literatur dan tradisi
Yahudi-Nasrani, dan membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat
Jahiliyah, Romawi, dan lain sebagainya. Goldziher mengatakan bahwa
cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi
Bible yang dianggap akurat.[9] Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
pendekatan yang dipakai Goldziher adalah comparative religion dalam
mengkaji kitab suci, dan historical otenticity dalam mengkaji hadis.
Adapun tujuannya dalam mengkaji Islam adalah untuk
mencemarkan akidah Islam dan meragukan al-Qur’an. Hal ini terlihat dalam
berbagai karyanya, secara lantang Goldziher mengatakan bahwa Islam cenderung
lebih dekat dengan Judaisme (paham-paham dalam agama Yahudi).[10]
Dalam bukunya yang membahas qira’at, Goldziher
dianggap telah melakukan penyimpangan yang sangat jauh, mengabaikan petunjuk
yang benar, dan dengan sengaja mementahkan kebeneran al-Qur’an.[11]
C.
Pandangan Goldziher Terhadap al-Qur’an
Secara spesifik, Islam menurut Goldziher adalah
agama yang paling memuaskan akal, dan tidak bertolak belakang dengan kemajuan
ilmu, karena jika bertolak belakang, maka berarti Islam itu bertentangan dengan
semangat pembawanya. Kemudian dalam memandang al-Qur’an, Goldlziher mengatakan,
“Tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok
keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau diwahyukan, di mana pada
masa awal peredarannya, teks tersebut datang dalam bentuk kacau dan tidak pasti
sebagaimana yang kita temukan dalam al-Qur’an.[12] Menurut Goldziher, terkait dengan
al-Qur’an banyak perbedaan dalam hal qira’at dan tidak konsisten dalam
hal tafsirnya dan ingin mengubah susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an secara
kronologis, mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun mengubah redaksi sebagian
ayat-ayatnya.
Dalam kaitannya dengan studi al-Quran dan tafsir,
Goldziher dapat dikatakan sebagai sosok orientalis yang pendapatnya banyak
dirujuk oleh orientalis setelahnya. Pendapat dan pandangannya tentang al-Quran
setidaknya dapat dilacak melalui dua karyanya yakni Introduction to Islamic
Theology and Law dan Madhāhib al-Tafsīr al-Islamiy.
Dalam karyanya Madhāhib al-Tafsīr al-Islamiy, Goldziher sendiri, disamping digugat karena
pandangan-pandangannya yang dianggap bersifat polemis dan skeptis terhadap
Al-Quran, ia dianggap sebagai tokoh orientalis yang berjasa dalam memetakan
pemikiran para mufassir khususnya dari aspek ideologis atau kegiatan penafsiran
yang dilakukan. Dalam karyanya tersebut, Goldziher secara selektif berhasil memetakan
para mufassir dari berbagai aliran yang ada secara ringkas. Ia
mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis,
dogmatis, mistik, sektarian serta modernis. Tiga aliran pertama senada dengan
tipologi kesarjanaan muslim, yakni tafsir bi al-riwāyah, tafsir bi al-dirāyah, tafsir bi al-isyarah. Sementara
dua aliran lainnya, sektarian dan modernis, merupakan kategori tambahan atau
elaborasi dari tipologi kesarjanaan muslim.[13]
Pendapat lebih lanjut tentang al-Qur’an, menurut
Goldziher, al-Qur’an merupakan kitab suci yang berupaya menyerap
ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Unsur-unsur
Kristen di dalam Al-Quran diterima oleh Muhammad umumnya melalui jalan
tradisi-tradisi apokri[14]
dan melalui bid’ah-bid’ah yang yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan
jalan demikian, tidak sedikit
unsur-unsur agnostik[15] Timur mendapatkan tempatnya di dalam
pemberitaan suci Muhammad.[16]
Ide-ide tersebut
dalam pandangan Goldziher,
diperoleh Muhammad melalui hubungan-hubungan lahiriah dalam urusan perdagangan
ketika ia masih belum diangkat sebagai Rasul. Untuk memperkuat argumentasinya
tersebut, Goldziher menyatakan bahwa doktrin-doktrin dan perundang-undangan Nabi bersifat eklektis[17].
Agama Yahudi dan Kristen menyediakan unsur-unsur pokok dan takaran yang sama.
Lima unsur pokok yang dikenal dengan Rukun Islam sudah diperkenalkan oleh Nabi
pada periode Makkah dan memperoleh
bentuknya yang pasti pada periode Madinah. Jadi, menurut Goldziher, unsur-unsur
ajaran dalam al-Quran sebenarnya banyak menyerap unsur atau tradisi agama
sebelumnya.[18]
Misalnya, pertama
ibadah shalat. Menurut Goldziher, yang dimulai
dari berdiri, takbir dan bacaan-bacaan memiliki kemiripan dengan tradisi ibadah
agama Kristen Timur seperti sujud, bersimpuh, dan wudhu . Kedua, aturan zakat yang semuala merupakan amal
sukarela, oleh Muhammad
kemudian dilembagakan secara formal dalam bentuk sumbangan yang dibayarkan
secara tertentu untuk kelompok dhu’afa’ secara komunitas. Ketiga, puasa yang semula dilakukan
pada hari kesepuluh dari bulan pertama (meniru Hari Pertama Penebusan pada agama Yahudi, asyura’),
kemudian dilakukan selama bulan Ramadhan. Keempat, ziarah ke Ka’bah, tempat suci bangsa Arab kuno di Mekkah,
ditafsirkan kembali dengan gaya monoteis dari perspektif ajaran Ibrahim.[19] Goldziher juga menilai bahwa Al-Quran
yang diturunkan pada masa Rasullullah hidup ternyata belum mampu menjawab
beragam problematika yang terjadi selepas Nabi wafat, ini disebabkan karena
cakupan kitab suci Al-Quran masih hanya berkisar pada dasar-dasar hukum saja. Ditambah
lagi dengan meluasnya ekspansi umat Islam, ini mengindikasikan bahwa hadirnya
Islam ternyata belum mampu menjawab segala problematika yang ada karena
penyempurnaan baru ada setelah diperoleh hasil ijtihad generasi selanjutnya.[20]
Pandangan
Goldziher di atas sepertinya
sangat dipengaruhi oleh pendekatan historis-sosilogis yang dilakukannya dalam
mengkaji Islam, sehingga suatu ritual dan ajaran agama selalu dilihat hubungan
historis, sehingga adanya kemiripan dalam ajaran ritual agama Islam dengan
ritual agama-agama selain Islam yang terekam dalam Al-Quran dianggap sebuah
upaya plagiasi dan absorbsi terhadap
ajaran sebelumnya.
Kemudian tentang qira’at yang
dipermasalahkan oleh Goldziher, menurutnya,
perbedaan ragam bacaan dalam melafalkan al-Quran (qiraa’at)
disebabkan oleh tidak adanya tanda titik dalam al-Quran, sehingga setiap
pembaca memiliki otoritas untuk menentukan bacaan sesuai keinginannya.
Dalam memperkuat anggapannya tersebut, Goldziher
menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok:[21]
1.
Perbedaan bacaan karena
tidak ada tanda titik. Menurut Goldziher, lahirnya sebagian besar perbedaan
versi bacaan tersebut dikembalikan pada karekteristik tulisan arab itu sendiri
yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan vokal pembacaan yang berbeda,
tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau
dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Misalnya:
وهوالذى
يرسل الرياح نشرا dapat di baca وهوالذى يرسل
الرياح بشرا
وما
كنتم تستكثرون dapat dibaca وما كنتم تستكبرون
2.
Perbedaan karena tidak adanya tanda baca berupa harakat
atau syakal memicu perbedaan posisi i’rab(kedudukan kata) dalam
sebuah kalimat yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna. Dengan demikian,
Goldziher sampai pada suatu asumsi bahwa perbedaan karena tidak adanya titik
(tanda huruf) dan perbedaan harakat yang dihasilkan, disatukan dan dibentuk
dari huruf yang diam (tidak dibaca) merupakan faktor utama lahirnya perbedaan bacaan
dalam teks yang tidak memiliki titik sama sekali atau yang titiknya kurang
jelas.
Pendapat
Goldziher di atas, mendapat bantahan dari para sarjana muslim, diantaranya
adalah Muhammad Mustafa Al-A’zami, seorang pakar Al-Quran dan hadis kelahiran
India. Menurut Al-Azami, pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa lahirnya
varian bacaan disebabkan oleh ketiadaan titik dan diakritikal adalah tidak
tepat, karena beragam qiraat dalam Al-Quran bukan disebabkan oleh teks yang
nirtanda, akan tetapi sudah ditentukan melalui periwayatan yang masyhur yang
dituturkan sendiri oleh Nabi serta disampaikan kepada para sahabat. Lebih jauh
A’zami juga menyatakan bahwa Goldziher telah melupakan tradisi pengajaran
secara lisan atau oral yang yang menjadi tradisi penuturan Al-Quran. Dalam
konteks ini, adanya mushaf Usmani merupakan alat bantu untuk menyeleksi
masuknya qira’at-qiraat yang ghairu masyhurah atau syadz. Jadi Mushaf Usmani
sendiri bukan sebuah bentuk hegemoni atau uapaya usman untuk membakukan
Al-quran dalam satu versi bacaan, sebagaimana dituduhkan oleh Goldziher.[22]
D.
Sikap dan Tanggapan Terhadap Goldziher
Ada dua point yang perlu digarisbawahi dalam
menyikapi pandangan Goldziher tentang Islam, yaitu pertama, ia akan
selalu membangkang dan membantah meskipun ia tahu terhadap suatu kebenaran
tentang Islam. Kedua, ketika ia menemukan kebenaran, ia akan memutar
balikkan fakta itu sehingga tampak akan salah. Sedangkan ketika ia menemukan
kesalahan, ia akan mengemasnya sedemikian rupa agar tampak benar.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Goldziher
termasuk Sarjana Barat dari kaum skeptis. Studi yang dilakukannya berawal dari
keragu’raguan, berjalan dengan keraguan dan akan berakhir dengan keragu-raguan
pula.[23]
Untuk menyikapi pemikiran-pemikiran orientalis,
mungkin kita bisa mengingat kembali perkataan Ibnu Sirrin (w.110 H), “Ilmu ini
(mengenai agama) menjelma dan menjadi bagian dari keimanan. Maka dari itu,
berhati-hatilah dari siapa anda belajar sebuah ilmu.”[24] Ini berarti hendaknya dalam mengkaji
ilmu-ilmu agama, kita tetap merujuk pada tulisan kaum Muslimin yang komitmen
terhadap ajaran agamanya yang layak diperhatikan.
III. Kesimpulan
Ignaz Goldziher merupakan orientalis asal
Hungaria. Dalam mengkaji ketimuran, ia lebih condong krpada Islam. Adapun yang
dikritisinya adalah sumber ajaran pokok yang digunakan dalam Islam, yaitu
al-Qur’an dan hadis.
Adapun pendekatan yang dipakai Goldziher dalam
mengkaji Islam adalah comparative religion dalam mengkaji kitab suci,
dan historical otenticity dalam mengkaji hadis. Ia mengkaji Islam tidak
untuk memberikan khazanah keilmuan tentang Islam, melainkan untuk mencemarkan
akidah Islam dan meragukan al-Qur’an.
Islam menurut Goldziher adalah agama yang paling
memuaskan akal, dan tidak bertolak belakang dengan kemajuan ilmu, karena jika
bertolak belakang, maka berarti Islam itu bertentangan dengan semangat
pembawanya. Kemudian dalam memandang al-Qur’an, Goldlziher mengatakan, “Tidak
ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok
keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau diwahyukan, di mana pada
masa awal peredarannya, teks tersebut datang dalam bentuk kacau dan tidak pasti
sebagaimana yang kita temukan dalam al-Qur’an. Menurut Goldziher, terkait
dengan al-Qur’an banyak perbedaan dalam hal qira’at dan tidak konsisten
dalam hal tafsirnya dan ingin mengubah susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an
secara kronologis, mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun mengubah redaksi
sebagian ayat-ayatnya. Perbedaan qira’at tersebut menurutnya dipengaruhi
oleh perbedaan bacaan karena tidak ada tanda titik dan perbedaan karena tidak
adanya tanda baca berupa harakat atau syakal.
Pendapat lebih lanjut tentang al-Qur’an, menurut
Goldziher, al-Qur’an merupakan kitab suci yang berupaya menyerap
ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Jadi banyak sekali dalam al-Qur’an hukum yang mirip dengan
tradisi-tradisi Yahudi-Nasrani dan Jahiliyah.
Untuk menyikapi pendapat Goldziher tersebut,
sebaiknya kita tidak perlu mempercayai argumentasi-argumentasinya yang
dilontarkan tentang Islam. Akan lebih baik kalau kita tetap merujuk pada
tulisan kaum Muslimin yang komitmen terhadap ajaran agamanya yang layak
diperhatikan.
Daftar Pustaka
A’zami
(al), M.Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi,
terj. Oleh Anis Malik Toha dkk, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Amal,
Taufik Adnan, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran, Yogyakarta: FkBA, 2001.
Arif,
Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani
Press, 2008.
Badawi,
Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroni Drajat Yogyakarta:
LKiS,
2003.
Goldziher,
Ignaz, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm. London: t.np,
1971.
Hulayin,
Mustofa, “Ignaz Goldziher dan Tipologi Tafsir al-Qur’an”, dalam Kajian
Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin,
2011-2012.
Ignaz
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, terj. Oleh Hesri Setiawan,
Jakarta: INIS, 1991.
Ignaz
Goldziher, Madzab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, dkk, Jogjakarta : eISAQ Press, 2010.
Qadli
(al), Syekh Abdul Fattah Abdul Ghani, al-Qirā’at Fī Nadhār al-Mustasyriqīn
wa al-Mulhidīn, terj. Sayid Agil Husain Munawar dan Abdul Rahman Umar, Semarang
: PT. Karya Toha Putra, t.th.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hongaria.
(diakses pada Tanggal 16 Maret 2016).
[1] Ignaz
Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London:
t.np, 1971) 20.
[2] Hongaria adalah sebuah Negara di Eropa Tengah, terletak pada Basin
Carpathia dan berbatasan dengan Austria.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hongaria) diakses pada Tanggal 16 Maret 2016.
[3] Abdurrahman
Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), 129.
[7] Orang yg
melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yg belum mengenal Kristus,
atau Imam kristen yang melakukan kegiatan misi.
[8] Syamsudin
Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta : Gema Insani Press,
2008) 7.
[9] Mustofa
Hulayin, “Ignaz Goldziher dan Tipologi Tafsir al-Qur’an”, dalam Kajian
Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin,
2011-2012, 67.
[10] Syamsudin
Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, 9.
[11] Syekh Abdul
Fattah Abdul Ghani al-Qadli, al-Qirā’at Fī Nadhār al-Mustasyriqīn wa
al-Mulhidīn, terj. Sayid Agil Husain Munawar dan Abdul Rahman Umar,
(Semarang : PT. Karya Toha Putra, t.th) 9.
[12] Ignaz
Goldziher, Madzab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, dkk, (Jogjakarta : eISAQ Press, 2010), 4.
[13] Taufik Adnan
Amal, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001) 354.
[14] Bagian-bagian
Alkitab yg diakui Gereja Katolik.
[15]
Orang yg berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misal Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan
dapat diketahui.
[16] Ignaz
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, terj. Oleh Hesri
Setiawan (Jakarta: INIS, 1991) 12.
[17] Pengambilan
dari semua sistem yang terbaik.
[18] Ignaz
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, terj. Oleh Hesri
Setiawan, 12.
[19] Ibid., 12.
[20] Ibid., 13.
[21] Ibid., 5- 9.
[22] M.M.
Al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj.
Oleh Anis Malik Toha dkk (Jakarta: Gema Insani, 2005) 179.
[23] Syamsuddin
Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, 25.
[24] M.M.
Al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj.
Oleh Anis Malik Toha dkk, 124.
0 komentar:
Posting Komentar