HUKUM MELAMAR
DAN MELIHAT CALON PASANGAN
DALAM
PERSPEKTIF HADIS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadits II
Dosen Pengampu
Dr. KH. Abdul Ghofur, MA.
Oleh:
Joko Supriyanto
NIM: 2013.01.01.141
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2015
HUKUM MELAMAR
DAN MELIHAT CALON PASANGAN
DALAM
PERSPEKTIF HADIS
Oleh: Joko
Supriyanto
I.
Pendahuluan
Nikah atau
perkawinan merupakan sunnatullah pada hamba-hambaNya, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan itu, khususnya manusia
(laki-laki dan perempuan), Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menghendaki agar
mereka mengemudikan bahtera kehidupan rumah tangganya.
Dalam hal
ini Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman :
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ[1]
Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.
Dalam
pernikahan ini, kita juga dianjurkan untuk memilih pasangan yang benar, jangan
sampai setelah menikah nanti kita merasa tidak nyaman, dan akhirnya
mengakibatkan retaknya hubungan kekeluargaan. Untuk mencegah hal tersebut,
Islam juga mensyari’atkan adanya pendekatan terlebih dahulu kepada calon besan
dan khususnya calon istri agar saling mengenal terlebih dahulu. Bahkan untuk
lebih mengenal calon istri, kita diperbolehlan melihatnya untuk memastikan
adanya kecocokan dengan calon istrinya. Tindakan saling mengenal sebelum
pernikahan ini biasa diistilahkan dengan melamar atau meminang, dan dalam
bahasa arab biasa disebut dengan khiṭbah.
Untuk lebih memahami
permasalahan khiṭbah dan hukum melihat calon istri atau wanita yang
dilamar, serta sampai mana batasan-batasannya, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai hal tersebut dengan meninjau salah satu sumber hukum Islam, yaitu al-Hadith,
serta melengkapinya dengan menambahkan pandangan-pandangan fiqih.
II.
Syariat
Khiṭbah Sebelum Pernikahan
A.
Pengertian Khiṭbah
Islam
telah mengatur kehidupan manusia dengan konsep yang jelas tentang berbagai
hal dengan berlandaskan al-Qur'an dan al-Sunnah
yang ṣahīh sesuai dengan pemahaman para Salaf al-Ṣalīh, dan di
antaranya adalah tentang tata cara melamar (meminang) atau khiṭbah sebelum
dilakukan pernikahan.
Melamar atau khiṭbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.
Khiṭbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya
merupakan muqaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah
merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada
pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan
bakal/calon istri.[2]
Pinangan
yang kemudian berlanjut dengan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat
saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khiṭbah
itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin,
selamatan dan lain-lain. Ada satu hal penting yang perlu kita perhatikan, yaitu
anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan,
hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram,
anggapan seperti itu adalah salah. Pertunangan belum tentu berakhir dengan
pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap
menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mensyariatkan khiṭbah dengan maksud agar kedua
belah pihak saling kenal mengenal terlebih dahulu, sehingga pernikahan yang
akan mereka tempuh, nantinya benar-benar didasarkan pada saling perhatian dan
transparansi (keterbukaan).
Masa khiṭbah
bukanlah saat untuk memilih lagi. Dengan kita mengkhiṭbah wanita lain,
berarti sudah menjadi komitmen kita untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi
sebelum melakukan khiṭbah sebaiknya kita melakukan shalat istikharah
terlebih dahulu. Khiṭbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat,
masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang
untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang
menghendakinya.
B.
Hadis
Tentang Khiṭbah
وحَدَّثَنِي
أَبُو الطَّاهِرِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ، عَنِ اللَّيْثِ
وَغَيْرِهِ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
شِمَاسَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ، عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الْمُؤْمِنُ أَخُو
الْمُؤْمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ،
وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ»[3]
Sesungguhnya Abdi al-Rahmān Ibn Shimāmah
mendengar Uqbah Ibn `Āmir di atas mimbar mengucapkan : “Sesungguhnya Rasulullah
Ṣallallah Alayhi wa Sallam bersabda : ‘Orang mukmin adalah saudara
(bagi) orang mukmin lainnnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli
barang yang sudah dibeli oleh saudaranya, dan tidak halal pula melamar
(meminang) wanita yang sudah dilamar saudaranya, sehingga saudaranya itu telah
meninggalkannya’.”
Selain
hadis di atas, Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis tentang khiṭbah, yaitu:
حَدَّثَنَا
مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ
نَافِعًا، يُحَدِّثُ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، كَانَ
يَقُولُ: «نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ»[4]
Ibnu Umar Raḍiyallahu ‘Anhuma berkata:
“Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam melarang seseorang membeli barang yang
sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang
wanita yang telah dipinang saudaranya sampai orang yang meminangnya itu
meninggalkannya atau mengizinkannya.”
C.
Rawi A’lā
v
Uqbah Ibn
Āmir
Uqbah Ibn
Āmir Ibn ‘Abas al-Juhany mempunyai nama kuniah Abu Āmr. Ia merupakan salah satu
sahabat Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Setelah Rasulullah Ṣallallah
Alayhi wa Sallam wafat, Uqbah Ibn Āmir ikut rombongan orang-orang yang
pergi ke Syam di bawah pemerintahan Abu Bakar. Uqbah Ibn Āmir adalah salah satu
orang yang menyaksikan terbukanya Syam dan Mesir. Ia juga menyaksikan perang
Suffīn bersama Mu’āwiyyah. Setelah dari Syam, ia pindah ke Mesir dan menetap di
sana. Ia wafat di akhir pemerintahan Mu’āwiyyah Ibn Abi Sufyan dan dimakamkan
di pemakaman ahli Mesir di Muqaṭṭam.[5]
Ada
beberapa sahabat yang meriwayatkan hadis dari Uqbah Ibn Āmir, di antaranya adalah
Abu al-Khair, al-Qāsim, Abu Abdi al-Rahmān dan Su’aib Ibn Zar’ah.[6]
D.
Makna ‘Ām
Dalam hadis ini Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam
menjelaskan tiga hal yang penting untuk kita ketahui. Pertama Rasulullah Ṣallallah
Alayhi wa Sallam menjelaskan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi
muslim lainnya. Hal ini serupa dengan yang difirmankan Allah dalam
al-Qur’an :
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[7]
Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Dengan mengetahui bahwa seorang muslim adalah saudara
bagi muslim lainnya, maka hal tersebut akan mendorong untuk saling membantu
antar sesama dan akan menciptakan hubungan persaudaraan dengan saling tenggang
rasa.
Selanjutnya Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam menerangkan
larangan seorang mukmin untuk membeli suatu barang yang sudah dibeli atau
sedang ditawar oleh saudara sesama mukmin. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan
rasa saling menghormati antar sesama.
Hadis ini secara jelas juga menerangkan pengharaman
melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, dalam arti wanita tersebut masih
berstatus sebagai makhtūbah. Para ulama’ sepakat atas pengharaman khiṭbah tersebut
dengan melihat redaksi hadis فَلَا
يَحِلُّ
yang berarti tidak halal dan menunjukkan indikasi adanya keharaman.[8]
Mengenai khiṭbah semacam
ini, Imam Nawawi berpendapat, jika seorang wanita telah menerima lamaran dari
satu laki-laki, maka laki-laki lain tidak diperbolehkan untuk melamarnya,
sampai laki-laki yang pertama melamar membatalkan lamarannya atau mengizinkan orang
lain untuk melamarnya. Ini merupakan pendapat yang paling rājih menurut
madzab Syafi’i.[9]
Namun mengenai sah atau tidaknya akad nikah yang
didahului dengan khiṭbah seperti di atas, para ulama’ banyak yang berbeda
pendapat. Imam Nawawi dan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa akad nikah mereka
tetap sah, namun ia mendapat dosa karena telah menẓalimi saudara
seimannya. Imam Malik dan ulama’-ulama’ semasanya berpendapat bahwa nikah
tersebut bisa difasakh sebelum adanya jima’.[10]
Pendapat lain mengenai hadis ini juga muncul ketika
ditinjau dari segi khāṭibnya. Al-Auzā’i dan Ahmad berpendapat bahwa
pengharaman khiṭbah semacam ini hanya berlaku bagi sesama muslim. Jadi,
dalam arti lain ketika ada orang kafir meminang seorang wanita, maka
diperkenankan orang muslim meminang wanita tersebut jika ia berkehendak. Namun
kebanyakan dari ulama’ Fiqh berpendapat bahwa pengharaman tersebut bersifat
umum, jadi tidak ada bedanya hak antara orang muslim dengan orang kafir.[11]
III.
Hukum Melihat
Calon Pasangan
A.
Hadis
Tentang Melihat Calon Pasangan
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ
أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟»، قَالَ: لَا، قَالَ:
«فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا»[12]
Abu
Hurairah berkata: “Ketika aku bersama dengan Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa
Sallam, datanglah seorang laki-laki dan mengabarkan bahwa ia akan menikahi perempuan
dari kaum Anṣār, maka Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam bertanya :
‘Apakah kamu sudah melihat dia?’, Laki-laki itu menjawab: ‘Tidak’. Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam bersabda:
‘Pergilah dan lihatlah dia, sesungguhnya di dalam mata orang-orang Anṣār
terdapat sesuatu’.”
B.
Makna Hadis
Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki memandang
wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan. Karena pandangan
peminang terhadap terpinang adalah bagian dari syarat keberlangsungan hidup
pernikahan dan ketentraman. Dalam hadis ini, Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa
Sallam secara
jelas membolehkan untuk melihat wanita yang mau dilamar, dengan bukti beliau
telah memerintahkannya pada seorang laki-laki yang datang kepada beliau.
Mengenai batasan yang boleh dilihat, ada beberapa
pendapat, di antaranya adalah melihat sebatas wajah dan telapak tangan, ini
adalah pendapat Imam Nawawi dan Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ulama’
ahli Kuffah dan Jumhur Ulama’. Karena dengan melihat wajah itu sudah cukup
menjadi dasar untuk menilai dan mengukur kecantikan wanita yang dipinang itu,
dan dengan melihat telapak tangan, sudah bisa diketahui akan kesehatan dan
kebugaran seorang wanita yang dipinang tersebut.[13]
Selain pendapat di atas, ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa kita diperbolehkan melihat seluruh anggota tubuh. Ini
merupakan pendapat Daud al-Ẓahiri, dan ulama’ lain banyak yang menentang
pendapatnya.[14]
Dalam hadis ini juga bisa dimengerti bahwa tidak ada
syarat untuk mendapatkan izin terlebih dahulu ketika mau melihat calon
pasangan, karena Rasulullah sendiri yang telah memberikan izin.[15]
IV.
Pembahasan
Fiqih[16]
A.
Khiṭbah
1.
Perempuan
yang boleh dikhiṭbah
Adapun perempuan yang boleh dipinang
adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Tidak dalam pinangan orang lain.
b.
Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i
yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c.
Perempuan itu tidak dalam masa iddah
karena talak raj’i.
d.
Apabila perempuan dalam masa iddah
karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirri.
2.
Karakteristik khiṭbah
Diantara hal yang
disepakati mayoritas ulama fiqh, syariat, dan perundang-undangan, bahwa tujuan
pokok khiṭbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah. Khiṭbah
tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti nikah. Dalam akad nikah, memiliki
ungkapan khusus (ijab qobul) dan seperangkat persyaratan tertentu. Dengan
begitu segala sesuatu yang tidak demikian bukan nikah secara syara’.
Karakteristik khiṭbah
hanya semata berjanji akan menikah, dan masing-masing calon pasangan hendaknya
melakukan perjanjian ini dengan didasarkan pada pilihannya sendiri. Perjanjian
itu akan tetap tidak tergoyahkan atau tidak berubah. Bahkan andaikan mereka
telah sepakat dengan kadar mahar, dan bahkan mahar itu telah diserahkan
sekaligus kepada wanita terpinang, atau wanita terpinang telah menerima
berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang berharga, semua
itu tidak menggeser status janji semata (khiṭbah) dan dilakukan karena
tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam akad nikah
manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan
pilihannya, karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka.
Diantara maslahat tersebut adalah jika dalam akad nikah didasarkan pada
kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan
dari manapun.
Jika seorang
peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia harus
melaksanankan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan
kerelaan. Demikian yang diterangkan kitab-kitab fiqh secara ijma’ tanpa
ada perselisihan. Kesepakatan tersebut tidak berpengaruh terhadap apa
yang diriwayatkan dari Imam Malik bahwa perjanjian itu harus dipenuhi dengan
putusan pengadilan menurut sebagian pendapat. Akan tetapi dalam
perjanjian akad nikah tidak harus dipenuhi, karena penetapan janji ini menuntut
keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakim pun tidak
berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis ini.[17]
3.
Macam-macam khiṭbah
-
Taṣrīh
Adalah ungkapan yang
jelas dan tegas, dimana khiṭbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan
yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khiṭbah. Seperti
kalimat berikut ini : Saya melamar dirimu untuk ku jadikan istriku, atau Bila
masa iddahmu sudah selesai, aku ingin menikahi dirimu.
-
Ta’rīdh
Yang dimaksud dengan
ta’rid (تعريض) adalah penyampaian khiṭbah yang menggunakan kata
sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna
sesuatu yang lain di luar khiṭbah. Hukum mengkhiṭbah seorang
wanita yaitu, jika wanita tersebut sudah di thalaq ba’in atau ditinggal
mati suaminya maka hukum mengkhiṭbah dengan cara ta’rīdh yaitu
mubah (boleh), akan tetapi jika masih dalam keadaan thalaq raj’i maka
hukumnya haram. Contoh kata sindiran seperti contoh seorang yang berkata: Sesungguhnya
aku ingin nikah, semoga Allah memudahkanku untuk mencari wanita shalihah.
4.
Syarat sah khiṭbah
Peminangan yang
diperbolehkan agama adalah:
a)
Tidak adanya penghalang
antara kedua mempelai yaitu tidak ada hubungan keluarga atau mahram, tunggal
susuan, muṣoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah
langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b)
Tidak berstatus tunangan
orang lain.
B.
Melihat
Calon Pasangan
1.
Waktu
melihat calon pasangan
Mayoritas ulama’
berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada
saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) utuk menikah dan
ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan
dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat, itu baik untuk dinikahi, bukan
wanita penghibur atau bukan istri orang lain.
Langkah diatas
adalah suatu langkah yang baik untuk mencapai maslahat. Jika dilaksanakan
dengan baik, akan mempunyai akibat yang baik pula. Jika tidak jadi
dinikahi karna laki-laki tersebut kurang tertarik, tetap terjaga kehormatan
wanita tersebut, tidak tersakiti, dan terpatahkan semangat.Langkah-langkah
inilah yang tempuh oleh orang-orang terhormat yang mempunyai rasa malu.
2.
Berduaan dengan calon
pasangan
Syariat
Islam memperbolehkan laki-laki melihat wanita terpinang, demikian juga wanita
terpinang boleh melihat laki-laki peminang. Penglihatan masing-masing ini
dimaksudkan agar saling memahami dan menerima sebelum melangkah ke pernikahan. Kebolehan
melihat tersebut hanya pada saat khiṭbah. Oleh karena itu,
peminang tidak boleh menyendiri atau berduaan dengan wanita terpinang, tidak
boleh pergi bersama, keluar untuk rekresi, dan lain-lain kecuali disertai
dengan mahram (saudara). Hal tersebut untuk menolak fitnah, menjauhi
tempat-tempat keraguan, memelihara kehormatan dan kemuliaan gadis,
sungguh-sungguh memelihara masa depan, dan menjaga kehormatan keluarganya.
Syariat
Islam memperbolehkan melihat wanita terpinang karena maslahat, sedangkan segala
bentuk yang menimbulkan bencana atau kerusakan itu terlarang. Oleh karena itu,
tidak boleh melihat wanita terpinang di tempat sepi tanpa disertai salah
seorang keluarga (mahram). Bersepian dengan seorang wanita lain haram
hukumnya, kecuali bagi mahram atau suami sendiri. Asumsi diperbolehkannya
pacaran, bergaul bebas, dan bersepian dengan maksud saling mengetahui sifat
atau karakter calon teman pasangannya sebelum menikah adalah asumsi batil,
tidak benar. Hal tersebut dikarenakan masing-masing individu akan
membebani teman calon pasangannya berdiri di luar karakter dan menampakkan
dirinnya tidak seperti biasa.
V.
Hikmah
disyari’atkan khiṭbah dal melihat calon pasangan
Setiap hukum yang
disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu
mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan
atau khiṭbah adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling
mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi dari al-Mughirah
bin Syu’bah yang bunyinya :
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رِزْمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ
بْنُ غِيَاثٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
الْمُزَنِيِّ، عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، قَالَ: خَطَبْتُ امْرَأَةً عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟» قُلْتُ: لَا، قَالَ:
«فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا»[18]
al-Mughirah Ibn Syu’bah Raḍiyallahu ‘Anhu berkata:
“aku pernah melamar seorang wanita dimasa nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam,
maka nabi bersabda: lihatlah dia, karena hal itu lebih menjamin kecocokan di
antara kamu berdua.”
VI.
Kesimpulan
Khiṭbah (melamar) adalah
suatu bentuk perasaan senang yang dilahirkan oleh si khātib (laki-laki
yang mempersunting) kepada makhtūbah (perempuan yang dilamar) untuk
menikahinya. Khiṭbah merupakan langkah pertama yang dilakukan seorang
laki-laki sebelum proses akad nikah. Untuk melaksanakan proses peminangan,
dapat dilakukan oleh dirinya sendiri atau pun dipercayakan kepada salah seorang
keluarganya atau saudara laki-lakinya. Tujuannya tidak lain untuk
menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Juga agar
perkawinannya itu sendiri dapat berjalan atas dasar pemikiran yang mendalam dan
mendapatkan hidayah. Lebih jauh lagi, dengan hal tersebut akan menjadikan
suasana kekeluargaan nantinya akan berjalan erat antara suami, istri, anak-anak
dan anggota keluarga lainnya.
Khiṭbah ini merupakan
perjanjian akan adanya pernikahan, dan dengan adanya janji tersebut, bukan
berarti memberikan kebebasan bagi orang yang melamar dan yang dilamar untuk
saling berhubungan layaknya suami-istri.
Dalam syariat khiṭbah
ini, juga disayaratkan untuk wanita yang dilamar adalah bukan mahram dan
tidak dalam pinangan orang lain. Adapun cara mengkhiṭbah itu bisa dengan
taṣrīh maupun ta’rīdh.
Kemudian untuk hukum
memandang wanita terpinang, syariat Islam membolehkan seorang laki-laki
memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan.
Karena pandangan peminang terhadap terpinang bagian dari syarat keberlangsungan
hidup pernikahan dan ketentraman.
Mayoritas ulama’
berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada
saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) untuk menikah dan
ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil. Syarat lain berkenaan
dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita
penghibur atau bukan istri orang lain.
Hikmah di
syari’atkan khiṭbah adalah untuk lebih menguatkan ikatan dan
melanggengkan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan
itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Ahnan, Maftuh, Maria
Ulfa, Risalah Fiqih Wanita, Surabaya: Terbit Terang, t.th.
Baghdady (al), Abu Abdillah Muhammad Ibn Sa’id, al-Ṭabaqāt al-Kubra, Beirut:
Dāru Ṣadr,1968.
Baghdady (al), Zainuddin Abdurrahman Ibn Ahmad, Jāmi’ al-Ulūm wa
al-Hukmi Fī Syarhi Khamsīna Hadīthan Min Jawāmi’i al-Kalim, Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2001.
Baihaqi (al), Ahmad bin al-Husain, Sunan
al-Kubra, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,2003.
Bukhārī (al), Muhammad bin Ismā’īl, Ṣahīh
al-Bukhārī, Damaskus: Dāru Ṭauq al-Najāh, 1422.
Ibnu Abi Hatim, Al-Rāzi, al-Jarhu wa al-Ta’dīl, Beirut: Dāru Ihyā’
al-Turāth al-‘Araby, 1952.
Ibn Syaraf, Abu Zakaria Muhyiddin Ibn Yahya, al-Minhāj Syarah Ṣahīh
Muslim Ibn al-Hajjāj, Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turath al-‘Araby, 1392.
Nasa’i (al), Abu Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’aib, Sunan al-Ṣaghri Li
al-Nasa’i, Halbi: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah,1986.
Naysābūrī (al), Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh
Muslīm, Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turāth al-‘Araby, t.th.
Ṭabrani (al), Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam
al-Kabīr, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994.
Qundail,
Muhammad Abdullatif, Fiqh al-Nikāh wa al-Farāidh, t.tp: t.np, t.th.
[1]
Al-Qur’an., 51: 49.
[2]
Muhammad Abdullatif Qundail, Fiqh al-Nikāh wa al-Farāidh, (t.tp: t.np,
t.th) 26.
[3]
Muslim bin al-Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣahīh Muslīm, (Beirut: Dāru Ihyā’
al-Turāth al-‘Araby, t.th) 2:1034, no. 1414. Hadis serupa dengan sanad yang
berbeda juga bisa ditemukan di: Sulaiman bin Ahmad al-Ṭabrani, al-Mu’jam
al-Kabīr, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994) cet.2, 17:316, no. 873. Ahmad bin al-Husain
al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,2003)
cet.3, 5:566, no.10899.
[4]
Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (Damaskus: Dāru Ṭauq
al-Najāh, 1422) 7:19, no. 5142.
[5] Abu Abdillah Muhammad Ibn Sa’id
al-Baghdady, al-Ṭabaqāt al-Kubra, (Beirut: Dāru Ṣadr,1968) 7:498.
[6] Al-Rāzi Ibnu Abi Hatim, al-Jarhu wa
al-Ta’dīl, (Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turāth al-‘Araby, 1952) cet.1, 6:13.
[7]
Al-Qur’an., 49:10.
[8] Abu Zakaria Muhyiddin Ibn Yahya Ibn Syaraf
al-Nawawi, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, (Beirut: Dāru
Ihyā’ al-Turath al-‘Araby, 1392) juz 9, 197.
[9]
Ibid., juz 9, 197.
[10]
Ibid., juz 9, 197.
[11] Zainuddin Abdurrahman Ibn Ahmad al-Baghdady,
Jāmi’ al-Ulūm wa al-Hukmi Fī Syarhi Khamsīna Hadīthan Min Jawāmi’i al-Kalim,
(Beirut: Muassasah al-Risālah, 2001)
2:270.
[12]
Muslim bin al-Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣahīh Muslīm, 2:1040, no. 1424. Banyak hadis yang menjelaskan tentang
diperbolehkannya melihat calon pasangan, meski dengan sanad dan matan yang
berbeda-beda, namun status hadisnya masih ṣahīh. Di antaranya bisa
dilihat pada: Abu Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Ṣaghri
Li al-Nasa’i, (Halbi: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah,1986) 6:69, no. 3235
dan Ahmad Ibn al-Husain al-Baihaqy, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003) 7:135, no. 13486.
[13] al-Nawawi, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, 9:211.
[14] Ibid., 9:211.
[15] Ibid., 9:211.
[16] Maftuh Ahnan, Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita, (Surabaya:
Terbit Terang, t.th) 279-191.
[17] al-Nawawi, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, 9:211.
[18] Sunan al-Ṣaghri Li al-Nasa’i, (Halbi: Maktab al-Maṭbū’āt
al-Islāmiyah,1986) 6:69, no. 3235
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^