Senin, 18 Januari 2016

KRITIKAN MUSṬAFA AL-A’ZAMI TERHADAP ORIENTALIS DAN ARGUMENNYA



KRITIKAN MUSṬAFA AL-A’ZAMI
TERHADAP ORIENTALIS DAN ARGUMENNYA
Oleh : Joko Supriyanto
I.     Pendahuluan
Telah terbukti bahwa para sarjana Barat yang mengkaji Timur (Orientalis) dalam memperoleh hampir seluruh data-data untuk studinya itu mengambil dari karya-karya para ulama Islam. Sebagai contoh, Juan de Sevilla, salah satu orientalis Yahudi yang masuk Kristen telah menyadur empat buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma’syur Al-Balkhi (1133 M).[1]
Namun jika sumber datanya sama, mengapa kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda dengan kesimpulan para ulama Islam? Jawabnya karena point of departure dan metodologinya memang berbeda. Berbeda dengan para ulama Islam, Orientalis barat bertolak dari prasangka dan praduga, berjalan dengan kecurigaan, dan berakhir dengan keraguan.[2]
Oleh karena itu, kebanyakan dari karya-karya orientalis cenderung seperti memojokkan Islam. Tulisan-tulisan sarjana Barat mengenai al-Qur’an, mulai dari Noldeke dalam bukunya “Geschichte des Qorans”, Mingana dengan artikelnya “The Transmission of The Qur’an”, Jeffery dengan “Materials for The History of The Teks of The Qur’an”, Burton dalam “Linguistic Errors in The Qur’an, hingga Wansbrough dalam “Qur’anic Studies”, dan terakhir Luxenberg dengan bukunya “Die syro-aramaische Lesart des Koran, semuanya bertolak dari skeptisisme terhadap status al-Qur’an sebagai dokumen sejarah. Selain itu mereka juga menganggap Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam bukan sebagai nabi melainkan seorang impostor yang mengarang al-Qur’an dengan Tim Redaksinya.[3]
Karena berangkat dari skeptisisme yang salah itulah, mereka menjadi ragu dengan kebenaran dan menganggap keraguan sebagai kebenaran. Hasilnya, meskipun bukti-bukti yang ditemukan membatalkan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukanlah kebenaran, melainkan pembenaran. Ya, pembenaran dari praduga-praduga yang dikehendakinya itulah yang mereka cari, dan jika perlu mereka juga akan mengada-adakan data yang diperolehnya.
Dalam menanggapi banyaknya penyelewengan- penyelewengan dalam dunia akademis inilah kemudian muncul tokoh yang bernama M. Musṭafa al-A’zami yang patut dijuluki sebagai spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Ia telah menulis disertasi dengan judul ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), secara akademik yang mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Selain itu ia juga masih memiliki karya-karya yang lain, yang kebanyakan berisi sanggahan terhadap teori-teori yang telah dicetuskan oleh kaum Orientalis.
Oleh karena itu, terhadap tokoh yang telah berjasa dalam membuktikan kemurnian dasar-dasar ajaran agama Islam ini,  kiranya menarik jika kita bisa lebih mengenalnya, mengetahui pemikirannya, serta mengetahui kritikannya terhadap pemikiran kaum Orientalis. Untuk itu, dalam makalah ini akan menjelaskan biografi M. Musṭafa al-A’zami, pemikirannya dan kritikannya terhadap kaum Orientalis. Selain itu juga akan ditambahkan tanggapan-tanggapan secara akademik dari penulis mengenai pemikiran M. Musṭafa al-A’zami.
II.  Kritikan Musṭafa al-A’zami Terhadap Orientalisme
  1. Biografi M. Musṭafa al-A’zami
Muhammad  Mustofa  al-‘Azami adalah salah seorang cendikiawan terkemuka dibidang hadis. Ia dilahirkan dikota Mau, India Utara, Tahun 1932. Nama al-A'zami dinisbatkan pada daerah Azamgarh. al-A'zami berasal dari kota Mau Distrik Azamgarh negara bagian Utara Pradesh. Jadi nama itu bukan nama marga melainkan nisbat daerah.[4]
Beliau punya tiga anak, dua putra dan satu putri. Putra yang pertama bernama Agil, yang kini sudah mendapatkan gelar doktor dalam bidang komputer dari Colorado, Amerika Serikat (AS). Putra kedua namanya Anas, juga meraih gelar doktor dalam Genetic Engineering di Oxford, Inggris. Sedang anak ketiganya mendapat gelar doktor dalam bidang matematika dari Colorado, AS. Ayahnya pecinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah al-A’zami mulai belajar hadis. Setelah lulus dari sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan Studi Islam, dan tamat tahun 1952.[5]
Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas al-Azhar Kairo, dan tamat tahun 1955 dengan  memperoleh ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga A’zami kembali ketanah airnya, India.
Tahun 1956 A’zami diangkat menjadi Dosen Bahasa Arab untuk Orang-orang Non-Arab di Qatar. Kemudian pada tahun 1957 ia diangkat sebagai Sekertaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dār al-Kutūb al-Qatriyah).  Tahun 1964 A’zami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris sampai meraih gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi yang berjudul Studies In Early Hadits Literature.  Setelah itu ia kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 A’zami mengundurkan diri dari jabatanya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam  Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). A’zami, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan Fakultas tersebut.[6]
Tahun 1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan A’zami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat ia medapat amanah dari A’zami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah Azami melejit ketika pada tahun 1400 H/1980 M ia memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal Riyadh. Kini Azami tinggal di Perumaan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai guru besar hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.[7]
Karya-karyanya antara lain : Studies In Early Hadits Literature, On Schact’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, Dirāsah fī al-Hadith an-Nabawy, Kuttab an-Nabi, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-‘Ilal Muhaddithīn, dan al-Muhaddithīn min al-Yamamah. Serta beberapa buku yang dieditnya antara lain: al-Illah of Ibn al-Madini, Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of ‘Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Shahih Ibnu Khuzaimah, dan Sunan Ibnu Majjah. Beberapa karya Azami telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa lain, di antaranya adalah The Qur'anic Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur'an: Suatu Janji yang Telah Terpenuhi), The Isnad System : Its Origins and Authenticity (Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihan­nya), dan The History Of  The Qur’anic Text (Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi).[8]
Spesialis penakluk tesis kaum Orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami. A'zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama’ fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.[9]
Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis yaitu disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), yang secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah buatan umat Islam abad kedua Hijriah.
Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain, termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori "proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.
Belum ada sanggahan atas pikiran Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A'zami di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.
Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang diberi judul On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar luas di Tanah Air.
Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah atau hadis. "Pada masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis, karena ia berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi.".[10]
Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang studi lain, yaitu Al-Quran. Namun inti kajiannya sama, untuk menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku The History of The Qur'anic Text, yang juga berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.[11]
B.     Pemikiran Musṭafa al-A’zami Dalam Mengkritik Orientalisme
Dalam melakukan kajian terhadap dunia Timur, kajian para Orientalis cenderung dianggap subyektifitas, yaitu tidak terlepas dari fanatik agama atau fanatik rasial.[12] Sehingga emosional dan latar belakang sangat menentukan kajian yang telah dilakukan, baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah. Oleh karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja. Penelitian tersebut telah lama dilakukan oleh kaum orientalis. Termasuk dalam penelitian mereka, mereka telah menjadikan sebuah agenda yang bertujuan untuk meragukan keabsahan atau otentisitas al-Qur’an sebagai wahyu Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.[13]  Jadi, kita sebagai pembacanya harus berhati-hati.
Bahkan banyak persoalan-persoalan bahasa dan kesusastteraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran, sebagaimana dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia Of Islam. Kesalahan-kesalahan mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal keagamaan murni.[14]
Sebuah penelitian itu merupakan salah satu usaha dalam menyingkapkan makna.  Namun, jika penyingkapan makna dari realitas itu berbeda dengan realitas itu sendiri atau tidak objektif, maka itu tidak dibenarkan, dan ini yang kebanyakan dilakukan oleh peneliti dari kaum Orientalis.
Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam beberapa contoh kajian orientalis yang diliputi kecenderungan  subyektifitas emosional yang tinggi ketika mengkaji Islam. Diantaranya perkataan Yoseph Schaht (murid Goldzehir seorang orientalis berkebangsaan Hongaria)  yang menandaskan bahwa syariat Islam itu tidak berbeda dengan tradisi jahiliah. Ini jelas tuduhan batil yang telah mempengaruhi banyak penulis lain.
Di antara kebohongan dan kesesatan Schat lainnya adalah anggapannya bahwa  pemikiran bangsa Yunani lebih utama dan lebih maju daripada pemikiran Islam. Juga pernyataan seorang orientalis bernama Sadrasky yang mengatakan bahwa cerita-cerita atau sejarah dan berita-berita yang dikemukaan dalam Al-Qur`an atau  kitab-kitab tafsir itu mengacu pada karya-karya Yahudi, Taurat, dan Injil. Juga beberapa Ensiklopedia dan kamus-kamus yang dibuat para orientalis yang mana hasil karya mereka diliputi subyektifitas berupa jiwa yang penuh dendam terhadap Islam, seperti Dairat al-Ma`arif al-Islamiyyah, atau al-Munjid fī al-Lughah wa al-Ulūm wa al-Adab, atau al–Mausu`at al-`Arabiyyah al-Muyassarah.
Melihat hal demikian, M. A’zami mempunyai pemikiran yang berbeda bila dibandingkan dengan para tokoh lain sewaktu belajar di pusat orientalis atau negara non-Muslim. Fokus kajiannya cenderung kepada kajian di bidang hadis dan ilmu hadis. A’zami juga merupakan peneliti yang ikut andil dalam perdebatan kajian hadis di Barat bersama para orientalis. Ciri khusus dari spesialisasi A’zami adalah mengkritik pandangan mereka terhadap kajian Islam, khususnya hadis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[15]
Dalam melakukan kritik teks, Azami membandingkan antara teks (dalam  bentuk tulisan, hasil penelitian, karya sastra, seni lukis, atau dalam bentuk percakapan) dengan realitas apa yang mereka gambarkan, lalu dihubungkan  bagaimana teks itu mempunyai keterkaitan dengan sikap emosional para  orientalis.[16]
Dalam penelitiannya, A’zami memfokuskan pada kritik hasil studi penelitian orientalisme. A’zami melakukan kritik terhadap keraguan keotentikan al-Qur’an ataupun hadis-hadis ṣahīh. Metode yang  ditempuh oleh A’zami dengan melakukan pendetailan historis proses dikumpulkannya al-Qur’an dan Hadis, serta menjawab berbagai keberatan- keberatan yang dilakukan oleh para orientalis. Misalnya, ia mengkritik pandangan  Arthur  Jeffery yang mempermasalahkan tiadanya tanda bantu (harakat atau titik) dalam huruf arab. A’zami menyanggah pernyataan itu bahwa permasalahan tiadanya titik dan harokat tidak menjadi sebab permasalahan serius waktu itu, karena budaya lisan dan hafalan telah berkembang sebelumnya, serta susunan bahasa arab tidak memungkinkan cara pembacaan yang lain karena sangat mempengaruhi makna. Bahkan dalam bentuk surat menyurat pun telah dilakukan sejak sebelum masa kedatangan Islam tanpa harokat dan titik, tetapi dapat terbaca.[17]
Selain itu, A’zami menyatakan bahwa referensi-referensi yang diambil Arthur dari ulama’ tidak diambil secara utuh, tetapi dipilah-pilah mana yang mendukung pernyataannya. Cara kerja dengan memilah-milah sesuai dengan keinginannya ini, menurut A’zami dilandasi dengan sisi emosional sang Orientalis. A’zami mencoba melakukan kritik balik dengan membandingkan pernyataan kaum Orientalis tersebut ketika dihadapkan pada teks Kitab Sucinya, yaitu Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru. Terdapat perbedaan mencolok, karena dalam kedua kitab itu, metode yang diterapkan untuk mengkritik keotentikan al-Qur’an tidak diterapkan pada kedua kitab suci tersebut.
Tanggapan lain juga dilontarkan A’zami untuk membantah argumen Goldziher yang mengatakan bahwa yang disebut hadis saat ini, itu bukanlah hadis, melainkan sunah. Menurutnya hadis dan sunah itu berbeda.
Goldziher mengartikan hadis secara bahasa sebagai berita yang berlaku di kalangan kelompok penganut kerohanian, catatan sejarah baik sekuler maupun keagamaan dari masa ke masa. Sementara sunnah dipahami sebagai tradisi dan kebiasaan yang ada di masyarakat baik setelah Islam datang ataupun sebelumnya, diikuti secara terus menerus dan dianggap sebagai peninggalan berharga yang mesti diikuti. Dalam uraian selanjutnya, Goldziher menyatakan bahwa hadis jika dimaksudkan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, maka itu sulit akan diterima secara ilmiah, sebab hadis tiada lain adalah peninggalan umat Islam setelah kehidupan Nabi. Dengan kata lain yang ada bukan hadis tetapi sunnah. Dalam konteks ini sunnah dipahami Goldziher sebagai makna literernya yakni sebagai jalan hidup yang dilalui seseorang atau masyarakat.[18]
Menurut Goldziher, sunnah adalah ketentuan-ketentuan yang diyakini kebenarannya yang mengatur pola kehidupan masyarakat tertentu. Terkait dengan kehidupan masyarakat pra-Islam, sunnah telah ada sebagai perangkat tradisi dan kebiasaan leluhur yang menjadi sumber kebiasaan dalam kehidupan. Goldziher kemudian menekankan bahwa dalam Islam terminologi sunnah juga digunakan untuk sesuatu yang memiliki pemahaman yang sama, yaitu sunnah pada mulanya dipahami sebagai perangkat tata nilai kehidupan masyarakat tertentu yang dalam perkembangannya dipahami sebagai tradisi dan pola kehidupan yang besifat universal. Secara khusus, sunnah kemudian dipahami sebagai kebiasaan-kebiasaan tertentu baik teoritis maupun praktis dalam ibadah dan hukum kaum mukminin pertama yang telah dipraktikkan di bawah kesaksian Nabi. Sunnah dan hadis tidaklah identik. Hadis merupakan pernyataan-pernyataan tata cara itu, dan hadis tiada lain adalah dokumentasi sunnah. Di sisi lain Goldziher berkeyakinan bahwa penggunaan sunnah sebagai pedoman hidup keagamaan di dunia Islam pada masa awal adalah suatu keyakinan yang dinilai keliru. Sebab menurutnya, sunnah tiada lain adalah penjelasan praktik kehidupan keagamaan dan interaksi sosial penduduk Madinah yang kemudian mendapat legitimasi konstitusional, sementara masyarakat di luar Madinah amat sulit untuk menerima sunnah sebagai pedoman kehidupan keagamaan.[19]
Terhadap pemikiran tersebut, A’zami menanggapi bahwa telah terjadi kesalahan di dalam memahami makna sunnah dan hadis dalam pandangan mereka. Dalam suatu kesempatan, Goldziher mengatakan bahwa yang disebut hadis sekarang ini, sudah ada sebelum Islam kemudian diadopsi oleh orang-orang Islam. Menurut Azami pandangan Goldziher ini tidak berdasarkan argumen yang dapat dipercaya sama sekali dan bertentangan dengan dalil-dalil yang ada.
Pendapat A’zami mengenai asal bahasa “sunnah”, menurutnya kata sunnah memang berasal dari bahasa Arab dan telah dipakai sejak masa pra-Islam. Kata tersebut diartikan secara bahasa sebagai tata cara, perilaku hidup, syariah, dan jalan hidup, terpuji atau tercela. Kata sunnah ini dapat ditemukan di berbagai syair Arab pra-Islam maupun sesudah masa Islam. Goldziher dan Schacht dipandang oleh Azami terjebak dalam memahami makna sunnah sebagai masalah yang ideal dan norma yang disepakati masyarakat. Jadi sunnah Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam lepas dari aturan dan tradisi orang-orang pra-Islam.[20]
A’zami menegaskan, tradisi, kebiasaan dan perilaku kehidupan Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam jauh berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis. Sedangkan tradisi Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi tradisi sebelumnya, bahkan Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam berupaya merubah dan menghindari tradisi kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti tetapi tidak berkisar pada masalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari doktrin Islam.
Azami menyangkal sunnah diartikan dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Islam, kemudian dalam perkembangannya dirujukkan hanya kepada tradisi yang dibangun dari Nabi. Sebab jika demikian, berarti sunnah Nabi tiada lain adalah merupakan tradisi masyarakat Islam lalu dikhususkan penamaannya untuk sunnah Nabi. Sunnah Nabi adalah perilaku dan teladan Nabi dalam menjalankan syari’at Islam. Berangkat dari pemahaman literer ini, lalu digeneralisasikan termasuk sunnah Nabi tiada beda dengan sunnah orang lain, bahkan sebelum Islam datang. Sunnah Nabi itu benar-benar dari perilaku dan kebiasaan yang dibangun atas dasar bimbingan wahyu, sementara umat Islam memang diperintahkan untuk mengikutinya. Adapun kebiasaan sahabat setelah sepeninggal Nabi, jika bertentangan dengan sunnah Nabi tentu sunnah Nabi yang lebih didahulukan. Hal ini pernah digambarkan oleh Ibnu Umar yang memberi pertimbangan keutamaan untuk mendahulukan sunnah Nabi dari sunnah Umar. Sebab kewajiban yang mesti diikuti adalah sunnah Nabi, bukan sunnah yang lain.[21]
Azami menggarisbawahi bahwa sunnah secara bahasa memang berarti tata cara, tradisi, dan perilaku hidup, baik itu bersifat positif ataupun negatif. Definisi ini juga dipergunakan dalam Islam untuk merujuk makna yang sama, lalu dalam perkembangannya, kata tersebut diperuntukkan hanya untuk merujuk kepada tata cara Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Meskipun kalangan bangsa Arab tetap menggunakan istilah sunnah ini dalam arti sempit, yakni tata cara, kebiasaan, dan tradisi, ini bukan berarti penggunaan kata sunnah merujuk kepada makna yang biasa digunakan masyarakat Arab, apalagi merujuk kepada penggunaan masyarakat Arab jahiliyah. Dengan demikian, kata sunnah dipakai untuk menunjukkan tata cara Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam, dan dalam perkembangannya, seringkali dibubuhi awalan “al” untuk membedakan antara sunnah Nabi dengan sunnah-sunnah yang lain. Masyarakat Islam sejak dahulu tidak pernah menggunakannya untuk arti “kebiasaan masyarakat”, akan tetapi digunakan untuk merujuk kepada apa yang ada pada Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[22]
Selain itu A’zami juga mengomentari pendapat Goldziher dan Scharht yang mengatakan bahwa sanad yang digunakan untuk hadis itu tidaklah benar, melainkan hanya rekayasa umat Islam untuk menyebarkan ajaran Islam dan kemudian disandarkan kepada orang-orang sebelumnya sampai kepada diri Nabi. Jadi  semua itu banyak yang palsu. Pandangan Goldziher dan Scharht ini juga dianggap terlalu keras dan tajam. Pendapatnya juga ditolak oleh sebagian orientalis lain, semisal Orientalis Inggris John Burton. Menurutnya, menolak seluruh hadis dan menganggap semuanya palsu adalah salah.[23]
Adapun tanggapan A’zami, ia mengatakan bahwa dulu pengajaran yang dilakukan itu tidak terpaku pada tulis-menulis, melainkan kebanyakan darinya mengunakan hafalan. Jadi pada zaman itu, pengajaran melalui periwayatan itu merupakan hal yang wajar, apalagi orang-orang Arab zaman dahulu sangat terkenal dengan ketajaman ingatannya. Banyak sahabat yang dalam pembelajarannya memilih menggunakan hafalah seperti Ibnu Mas’ud. Namun hal ini tidak menafikan keberadaan riwayat dengan menggunakan tulisan. Kenyataannya, Ibnu Umar selain ia menggunakan hafalan dalam belajarnya, ia juga menulis apa yang telah ia dapat dari Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[24]
Sebagaimana dimaklumi, perhatian sahabat terhadap ajaran Islam yang mereka peroleh dari Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam amat serius. Keseriusan ini terlihat dengan semangat mereka dalam mengikuti majlis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Kadangkala Nabi berada di atas mimbar, atau duduk di antara lingkaran (halaqah) sahabat untuk mengajarkan hal-hal penting masalah agama. Jumlah sahabat yang ikut pengajaran Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam  tidak tentu, sesuai dengan kesempatan mereka mengikutinya. A’zami menyebut, jumlah kalangan sahabat yang ikut menggali ilmu terkadang mencapai enam puluh orang. Hadis yang mereka terima tidak serta merta mereka hafalkan tetapi seringkali didiskusikan setelah proses penyampaian dari Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam untuk memantapkan pemahaman mereka. Sehingga para sahabat banyak menghafal hadis ketika Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam  masih hidup.
Upaya menjaga keakuratan hafalan, para sahabat adakalanya memperdengarkannya di hadapan Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Keseriusan ini terlihat dari pengalaman seseorang yang diutus oleh Abd al-Qais pada saat menghadap Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam yang mendapati antrean sahabat untuk diperiksa hafalannya. Hal ini menunjukkan besarnya antusias dari sahabat untuk mengetahui ajaran-ajaran dari Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Kemudian, kritik Nabi atas hafalan para sahabat seringkali menjadi pengingat akan kesalahan mereka. Seiring dengan kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, para sahabat mengatur kehadiran mereka untuk mengikuti pengajaran Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Adakalanya sebagian hadir sementara yang lain menjalani rutinitas keseharian, dan sepulang dari majlis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam informasi yang didapatkan oleh sahabat yang mengikuti pengajian Nabi kemudian disampaikan kepada sahabat yang yang tidak mengikutinya. Umar bin Khaṭṭab dan ’Itban bin Malik sebagai contoh yang mempraktekkan metode ini.[25]
Antusias tersebut masih berlanjut ketika Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam wafat. Para sahabat  membiasakan diri untuk hidup sesuai tuntunan Nabi dan ia mengajarkan hal itu pula kepada para Tabi’in berlanjut pada Tabi’it Tabi’in. Periwayatan tersebut berhenti sampai disini, namun diganti dengan banyaknya penelitian-penelitian yang bertujuan untuk memilah  mana hadis yang asli dan mana hadis yang palsu serta memberikan kualitasnya.
Dari catatan sejarah ini, bisa diketahui bahwa sanad yang digunakan dalam hadis orang Islam ini benar. Bahkan sebaik apapun isi hadis tersebut jika  sanadnya ada unsur orang yang ḍalim maka hadis terse but akan digolongkan lemah bahkan palsu. Ini menunjukkan juga bahwa dalam penelitian sanad, para ulama’ benar-benar apa adanya atau objektif, terlepas dari rasa ingin membela Nabinya.
III.   Tanggapan Pemakalah Terhadap Pemikiran M. A’zami
M. A’zami merupakan tokoh yang sangat peduli dengan keislamannya. Ini terlihat dari banyaknya karya-karyanya yang sebagian besar membahas tentang keotentikan sumber ajarannya yaitu al-Qur’an dan al-sunnah. Dalam pembahasannya ini M.A’zami menjelaskan secara detail, menyeluruh dan dengan menyertakan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus objektif.
Sebagaimana yang telah diungkapkan Gus Dur, bahwa A’zami telah memberikan karya yang sangat penting yang berperan dalam menghadapi argumen-argumen yang dilontarkan kaum Orientalis terhadap literatur Islam.
Banyak pujian dari tokoh-tokoh lain yang diberikan kepada M.A’zami maupun pemikirannya, diantaranya yang diberikan oleh Muhammad Kamal Hassan, rektor UII Malaysia. Muhammad Kamal Hassan mengatakan bahwa ia sangat mengenal M. M. A’zami dan kepribadiannya. Menurutnya, A’zami memiliki latar belakang pendidikan Timur dan Barat, oleh karena itu, tentunya ia memahami betul pemikiran-pemikiran orang Timur dan Barat yang mumpuni. M.A’zami dalam dunia Islam dikenal sebagai orang yang alim dan juga seorang ilmuan kenamaan di bidang hadis. Tentunya tidak seperti kebanyakan ilmuan yang lain, yang mana setelah mereka meneliti Barat, mereka merasa silau dan bahkan memuji-muji ketinggian budaya dan sistem kajian Islam mereka tanpa adanya analisis dan kritis. Berbeda dengan mereka, M.M.A’zami dalam risalah Ph.D-nya yang diajukan kepada Cambridge, secara lugas membahas kekeliruan pihak Orientalis dalam memahami asal-usul ilmu hadis yang begitu unik.[26]
IV.   Kesimpulan
M.M.A’zami adalah tokoh jenius yang memiliki peran penting dalam mengatasi problematika yang muncul di tengah perkembangan Islam. Pola pemikirannya telah memberikan sumbangsih yang  sangat berharga terhadap Islam. Ia telah memberikan banyak karya yang bisa digunakan untuk menolak persepsi Orientalis terhadap Islam yang dikajinya secara subjektif dan mengada-ada. Pemikirannya kini dijadikan rujukan oleh para pengkaji hadis dalam penelitiannya.
Bisa dibayangkan, seandainya tidak ada ketanggapan dan kesadaran seperti yang dilakukan oleh M.A’zami, mungkin pemikiran-pemikiran dan teori-teori yang dicetuskan oleh Orientalis akan dengan mudah masuk pada pemikiran orang-orang Timur dan akan akan mendarah daging, sehingga ketika pemikiran Orientalis tersebut telah masuk, maka akan sulit untuk menghapusnya.
Ucapan terimakasih pantas diberikan kepada M.A’zami, karena dengan pemikiran dan karyanya ia telah menguatkan dalil-dalil keotentikan sumber ajaran Islam yang dianut banyak orang muslim termasuk kita.



DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
Armas, Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalisme Terhadap Islam Liberal, Jakarta : Gema Insani Press, 2003.
Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
A’zami (al), Mustafa, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Dr. Sohirin Solihin dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2014.
Hanafi, Ahmad, Orientalisme  Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Quran dan Hadits), Jakarta: Pustaka al Husna, 1981.
Isnaeni, Ahmad, “Historisitas Hadis Menurut Musafa A’zami”, Journal of  Qur’an and  Hadith Studies , Vol. 3, 01, 2014.
Isnaeni, Ahmad, “Pemikiran Goldziher dan Azami Tentang Penulisan Hadis”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan emikiran Islam, Vol.6, 02, 2012.
http:// Sejarah Pemikiran dan Tokoh Orientalisme Fanatik Terhadap Islam-Belajar Mengajar.html. diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
http://pesantrenonlinenusantara.blogspot.co.id/2012/02/muhammad-mustafa-al-azami.html. Diakses tanggal 27 Oktober 2015.


[1] http:// Sejarah Pemikiran dan Tokoh Orientalisme Fanatik Terhadap Islam-Belajar Mengajar.html. diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
[2] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008) 25.
[3] Ibid., 24.
[4] http:// pesantrenonlinenusantara. blogspot. co.id/2012/02/ muhammad-mustafa-al-azami.html. Diakses tanggal 27 Oktober 2015.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Mustafa Al-A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Dr. Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014) 40.
[8] Ibid., 39-40.
[9] http://pesantrenonlinenusantara.blogspot.co.id/2012/02/muhammad-mustafa-al-azami.html.
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] A. Hanafi, Orientalisme  Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ),  (Jakarta :
Pustaka al Husna, 1981)18.
[13] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalisme Terhadap Islam Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003) 61.
[14] A. Hanafi, Orientalisme  Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), 19.
[15] Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut Musafa A’zami”, Journal of  Qur’an and  Hadith Studies , Vol. 3, 01, (2014), 122.
[16] Ibid., 123.
[17] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran, (Jakarta; Gema Insani Press, 2005) 107.
[18] Ahmad Isnaeni, “Pemikiran Goldziher dan Azami Tentang Penulisan Hadis”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan emikiran Islam, Vol.6, 02, (2012), 365.
[19] Ibid., 366.
[20] Ibid., 372.
[21] Ibid., 373.
[22] Ibid., 374.
[23] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, 35.
[24] Ahmad Isnaeni, “Pemikiran Goldziher dan Azami Tentang Penulisan Hadis”, 378.
[25] Ibid., 340.
[26] Mustafa Al-A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Dr. Sohirin Solihin dkk, xix.

0 komentar:

Posting Komentar