KRITIKAN MUSṬAFA AL-A’ZAMI
TERHADAP ORIENTALIS DAN ARGUMENNYA
Oleh
: Joko Supriyanto
I. Pendahuluan
Telah
terbukti bahwa para sarjana Barat yang mengkaji Timur (Orientalis) dalam memperoleh
hampir seluruh data-data untuk studinya itu mengambil dari karya-karya para
ulama Islam. Sebagai contoh, Juan de Sevilla, salah satu orientalis Yahudi yang masuk
Kristen telah menyadur empat buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma’syur
Al-Balkhi (1133 M).[1]
Namun
jika sumber datanya sama, mengapa kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda
dengan kesimpulan para ulama Islam? Jawabnya karena point of departure
dan metodologinya memang berbeda. Berbeda dengan para ulama Islam, Orientalis barat
bertolak dari prasangka dan praduga, berjalan dengan kecurigaan, dan berakhir
dengan keraguan.[2]
Oleh karena itu, kebanyakan dari karya-karya
orientalis cenderung seperti memojokkan Islam. Tulisan-tulisan sarjana Barat
mengenai al-Qur’an, mulai dari Noldeke dalam bukunya “Geschichte des
Qorans”, Mingana dengan artikelnya “The Transmission of The Qur’an”, Jeffery
dengan “Materials for The History of The Teks of The Qur’an”, Burton
dalam “Linguistic Errors in The Qur’an, hingga Wansbrough dalam “Qur’anic
Studies”, dan terakhir Luxenberg dengan bukunya “Die syro-aramaische
Lesart des Koran, semuanya bertolak dari skeptisisme terhadap status al-Qur’an sebagai dokumen sejarah. Selain
itu mereka juga menganggap Muhammad Ṣallallah
Alayhi wa Sallam bukan sebagai nabi melainkan seorang impostor yang mengarang al-Qur’an dengan Tim Redaksinya.[3]
Karena
berangkat dari skeptisisme yang salah itulah, mereka menjadi ragu
dengan kebenaran dan menganggap keraguan sebagai kebenaran. Hasilnya, meskipun
bukti-bukti yang ditemukan membatalkan hipotesanya, tetap saja mereka akan
menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukanlah kebenaran, melainkan
pembenaran. Ya, pembenaran dari praduga-praduga yang dikehendakinya itulah yang
mereka cari, dan jika perlu mereka juga akan mengada-adakan data yang
diperolehnya.
Dalam
menanggapi banyaknya penyelewengan- penyelewengan dalam dunia akademis inilah
kemudian muncul tokoh yang bernama M. Musṭafa al-A’zami yang patut dijuluki
sebagai spesialis penakluk tesis kaum orientalis. Ia telah menulis disertasi
dengan judul ''Studies in Early
Hadith Literature''
(1966), secara akademik yang mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang
hadis. Selain itu ia juga masih memiliki karya-karya yang lain, yang kebanyakan
berisi sanggahan terhadap teori-teori yang telah dicetuskan oleh kaum
Orientalis.
Oleh karena itu, terhadap tokoh
yang telah berjasa dalam membuktikan kemurnian dasar-dasar ajaran agama Islam
ini, kiranya menarik jika kita bisa lebih mengenalnya,
mengetahui pemikirannya, serta mengetahui kritikannya terhadap pemikiran kaum
Orientalis. Untuk itu, dalam makalah ini akan menjelaskan biografi M. Musṭafa
al-A’zami, pemikirannya dan kritikannya terhadap kaum Orientalis. Selain itu juga
akan ditambahkan tanggapan-tanggapan secara akademik dari penulis mengenai
pemikiran M. Musṭafa al-A’zami.
II. Kritikan Musṭafa al-A’zami
Terhadap Orientalisme
- Biografi M. Musṭafa al-A’zami
Muhammad Mustofa
al-‘Azami adalah salah seorang cendikiawan terkemuka dibidang hadis. Ia dilahirkan
dikota Mau, India Utara, Tahun
1932. Nama al-A'zami
dinisbatkan pada daerah Azamgarh. al-A'zami berasal dari
kota Mau Distrik Azamgarh negara bagian Utara Pradesh. Jadi nama itu bukan nama
marga melainkan nisbat daerah.[4]
Beliau
punya tiga anak, dua putra dan satu putri. Putra yang pertama bernama Agil, yang kini sudah mendapatkan
gelar doktor dalam bidang komputer dari Colorado, Amerika Serikat (AS). Putra kedua namanya
Anas, juga meraih gelar
doktor dalam Genetic
Engineering
di Oxford, Inggris. Sedang anak ketiganya
mendapat gelar doktor dalam bidang matematika dari
Colorado, AS. Ayahnya pecinta ilmu dan membenci penjajahan, serta tidak suka
bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi perjalanan studi Azami, dimana ketika
masih duduk di SLTA beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang
menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah al-A’zami mulai belajar hadis. Setelah
lulus dari sekolah Islam, Azami lalu melanjutkan studinya di College of
Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga
mengajarkan Studi Islam, dan tamat tahun 1952.[5]
Kemudian
melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas
al-Azhar Kairo,
dan tamat tahun 1955 dengan memperoleh
ijazah al-‘Alimiyah. Tahun itu juga A’zami kembali ketanah airnya, India.
Tahun
1956 A’zami diangkat menjadi Dosen Bahasa Arab untuk Orang-orang Non-Arab di
Qatar. Kemudian pada tahun 1957 ia diangkat sebagai
Sekertaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dār al-Kutūb al-Qatriyah). Tahun 1964 A’zami melanjutkan studinya lagi di
Universitas Cambridge, Inggris
sampai meraih gelar Ph.D. tahun 1966 dengan disertasi yang berjudul Studies In
Early Hadits Literature. Setelah itu ia kembali lagi ke
Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 A’zami mengundurkan diri dari
jabatanya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di Fakultas Pasca
Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam
Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). A’zami, bersama al-Marhum Dr.
Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan Fakultas tersebut.[6]
Tahun
1973 (1393 H) beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam,
Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini Ali Mustafa
Yaqub bertemu dengan A’zami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat ia
medapat amanah dari A’zami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi ilmiah A’zami melejit ketika
pada tahun 1400 H/1980 M ia
memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal Riyadh. Kini A’zami tinggal di
Perumaan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai guru besar hadis dan Ilmu
Hadis di Universitas tersebut.[7]
Karya-karyanya antara lain : Studies In
Early Hadits Literature, On Schact’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, Dirāsah
fī al-Hadith an-Nabawy, Kuttab
an-Nabi, Manhaj an-Naqd ‘Inda
al-‘Ilal Muhaddithīn,
dan al-Muhaddithīn min al-Yamamah. Serta beberapa
buku yang dieditnya antara lain: al-Illah of Ibn al-Madini, Kitab
at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of ‘Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam
Malik, Shahih Ibnu Khuzaimah, dan Sunan Ibnu Majjah. Beberapa karya A’zami telah
diterjemahkan kedalam beberapa bahasa lain,
di antaranya adalah The Qur'anic
Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur'an:
Suatu Janji yang Telah Terpenuhi), The Isnad System : Its Origins and
Authenticity (Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihannya), dan The History Of The Qur’anic Text (Sejarah
Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi).[8]
Spesialis
penakluk tesis kaum Orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof.
Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami. A'zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi
dan ulama’ fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh
spektakuler.[9]
Sumbangan
penting A'zami terutama dalam ilmu hadis
yaitu disertasinya di Universitas Cambridge,
Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), yang secara akademik mampu
meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921)
dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset Goldziher (1890)
berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak
terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah buatan
umat Islam abad kedua Hijriah.
Pikiran
pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain, termasuk
Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis
Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori
"proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad
kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu
disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.
Belum ada sanggahan atas
pikiran Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A'zami.
"Cukup mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan
A'zami di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil
memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur
menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak
lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.
Temuan
naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu secara
argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A'zami
secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang diberi judul On
Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini
dan disertasi A'zami sudah beredar luas di Tanah Air.
Ali
Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i
pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena berhasil
mematahkan argumen pengingkar sunah
atau hadis. "Pada masa kini," kata Ali
Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis, karena ia berhasil meruntuhkan
argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi.".[10]
Setelah
lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang studi lain, yaitu Al-Quran. Namun inti kajiannya
sama, untuk menyangkal studi
orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia
menulis buku The History of The Qur'anic Text, yang juga berisi
perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama
saya tentang Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk
Studi Islam tahun 1980 itu.[11]
B. Pemikiran Musṭafa al-A’zami Dalam Mengkritik Orientalisme
Dalam
melakukan kajian terhadap dunia Timur, kajian para Orientalis cenderung
dianggap subyektifitas, yaitu tidak
terlepas dari fanatik agama atau fanatik rasial.[12]
Sehingga emosional dan latar belakang sangat menentukan kajian yang telah
dilakukan, baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah. Oleh
karena itu pembahasan-pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan
yang disengaja. Penelitian tersebut telah lama dilakukan oleh kaum orientalis.
Termasuk dalam penelitian mereka, mereka telah menjadikan sebuah agenda yang
bertujuan untuk meragukan keabsahan atau otentisitas al-Qur’an sebagai wahyu
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.[13]
Jadi, kita sebagai pembacanya harus
berhati-hati.
Bahkan
banyak persoalan-persoalan
bahasa dan kesusastteraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran, sebagaimana dalam
pembahasan-pembahasan di Encyclopedia Of Islam. Kesalahan-kesalahan
mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan
soal-soal keagamaan murni.[14]
Sebuah
penelitian itu merupakan salah satu usaha dalam menyingkapkan makna. Namun, jika penyingkapan makna dari realitas
itu berbeda dengan realitas itu sendiri atau tidak objektif, maka itu tidak
dibenarkan, dan ini yang kebanyakan dilakukan oleh peneliti dari kaum
Orientalis.
Sebagaimana
yang bisa kita lihat dalam
beberapa contoh kajian orientalis yang diliputi kecenderungan subyektifitas emosional yang tinggi ketika
mengkaji Islam. Diantaranya perkataan Yoseph Schaht (murid Goldzehir seorang orientalis
berkebangsaan Hongaria) yang menandaskan
bahwa syariat Islam itu tidak berbeda dengan tradisi jahiliah. Ini jelas
tuduhan batil yang telah mempengaruhi banyak penulis lain.
Di
antara kebohongan dan kesesatan Schat lainnya adalah anggapannya bahwa pemikiran bangsa Yunani lebih utama dan lebih
maju daripada pemikiran Islam. Juga pernyataan seorang orientalis bernama
Sadrasky yang mengatakan bahwa cerita-cerita atau sejarah dan berita-berita
yang dikemukaan dalam Al-Qur`an atau
kitab-kitab tafsir itu mengacu pada karya-karya Yahudi, Taurat, dan
Injil. Juga beberapa Ensiklopedia dan kamus-kamus yang dibuat para orientalis
yang mana hasil karya mereka diliputi subyektifitas berupa jiwa yang penuh
dendam terhadap Islam, seperti Dairat al-Ma`arif al-Islamiyyah, atau al-Munjid
fī al-Lughah wa al-Ulūm wa al-Adab, atau al–Mausu`at al-`Arabiyyah al-Muyassarah.
Melihat hal demikian, M. A’zami mempunyai pemikiran
yang berbeda bila dibandingkan dengan para tokoh lain
sewaktu belajar di pusat orientalis atau negara non-Muslim. Fokus kajiannya
cenderung kepada kajian di bidang hadis dan ilmu hadis. A’zami juga merupakan
peneliti yang ikut andil dalam perdebatan kajian hadis di Barat bersama para
orientalis. Ciri khusus dari spesialisasi A’zami adalah mengkritik pandangan
mereka terhadap kajian Islam, khususnya hadis Nabi Ṣallallah Alayhi wa
Sallam.[15]
Dalam
melakukan kritik teks, A’zami
membandingkan antara teks (dalam bentuk
tulisan, hasil penelitian, karya sastra, seni lukis, atau dalam bentuk
percakapan) dengan realitas apa yang mereka gambarkan, lalu dihubungkan bagaimana teks itu mempunyai keterkaitan
dengan sikap emosional para orientalis.[16]
Dalam
penelitiannya, A’zami memfokuskan pada kritik hasil studi penelitian
orientalisme. A’zami melakukan kritik terhadap keraguan keotentikan al-Qur’an
ataupun hadis-hadis ṣahīh. Metode yang
ditempuh oleh A’zami dengan melakukan pendetailan historis proses
dikumpulkannya al-Qur’an dan Hadis, serta menjawab berbagai keberatan-
keberatan yang dilakukan oleh para orientalis. Misalnya, ia mengkritik
pandangan Arthur Jeffery yang mempermasalahkan tiadanya tanda
bantu (harakat
atau titik) dalam huruf arab. A’zami menyanggah pernyataan itu bahwa
permasalahan tiadanya titik dan harokat tidak menjadi sebab permasalahan serius
waktu itu, karena budaya lisan dan hafalan telah berkembang sebelumnya, serta
susunan bahasa arab tidak memungkinkan cara pembacaan yang lain karena sangat
mempengaruhi makna. Bahkan dalam bentuk surat menyurat pun telah dilakukan
sejak sebelum masa kedatangan Islam tanpa harokat dan titik, tetapi dapat
terbaca.[17]
Selain
itu, A’zami menyatakan bahwa referensi-referensi yang diambil Arthur dari
ulama’ tidak diambil secara utuh, tetapi dipilah-pilah mana yang mendukung
pernyataannya. Cara kerja dengan memilah-milah sesuai dengan keinginannya ini,
menurut A’zami dilandasi dengan sisi emosional sang Orientalis. A’zami mencoba
melakukan kritik balik dengan membandingkan pernyataan kaum Orientalis tersebut
ketika dihadapkan pada teks Kitab Sucinya, yaitu Perjanjian Lama (Torah) dan
Perjanjian Baru. Terdapat perbedaan mencolok, karena dalam kedua kitab itu,
metode yang diterapkan untuk mengkritik keotentikan al-Qur’an tidak diterapkan
pada kedua kitab suci tersebut.
Tanggapan
lain juga dilontarkan A’zami untuk membantah argumen Goldziher yang mengatakan
bahwa yang disebut hadis saat ini, itu bukanlah hadis, melainkan sunah.
Menurutnya hadis dan sunah itu berbeda.
Goldziher mengartikan hadis secara bahasa sebagai berita yang
berlaku di kalangan kelompok penganut kerohanian, catatan sejarah baik sekuler
maupun keagamaan dari masa ke masa. Sementara sunnah dipahami sebagai
tradisi dan kebiasaan yang ada di masyarakat baik setelah Islam datang ataupun
sebelumnya, diikuti secara terus menerus dan dianggap sebagai peninggalan
berharga yang mesti diikuti.
Dalam uraian selanjutnya, Goldziher menyatakan bahwa hadis jika
dimaksudkan sebagai sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad, maka itu sulit akan diterima secara ilmiah,
sebab hadis tiada lain adalah peninggalan umat Islam setelah kehidupan Nabi.
Dengan kata lain yang ada bukan hadis tetapi sunnah. Dalam konteks ini sunnah
dipahami Goldziher sebagai makna literernya yakni sebagai jalan hidup yang
dilalui seseorang atau masyarakat.[18]
Menurut Goldziher, sunnah adalah ketentuan-ketentuan yang
diyakini kebenarannya yang mengatur pola kehidupan masyarakat tertentu. Terkait
dengan kehidupan masyarakat pra-Islam, sunnah telah ada sebagai
perangkat tradisi dan kebiasaan leluhur yang menjadi sumber kebiasaan dalam
kehidupan. Goldziher kemudian menekankan bahwa dalam Islam terminologi sunnah
juga digunakan untuk sesuatu yang memiliki pemahaman yang sama, yaitu sunnah
pada mulanya dipahami sebagai perangkat tata nilai kehidupan masyarakat
tertentu yang dalam perkembangannya
dipahami sebagai tradisi dan pola kehidupan yang besifat universal. Secara
khusus, sunnah kemudian dipahami sebagai kebiasaan-kebiasaan tertentu
baik teoritis maupun praktis dalam ibadah dan hukum kaum mukminin pertama yang
telah dipraktikkan di bawah kesaksian Nabi. Sunnah dan hadis tidaklah
identik. Hadis merupakan pernyataan-pernyataan
tata cara itu, dan hadis tiada lain adalah dokumentasi sunnah. Di sisi lain
Goldziher berkeyakinan bahwa penggunaan sunnah sebagai pedoman hidup
keagamaan di dunia Islam pada masa awal adalah suatu keyakinan yang dinilai
keliru. Sebab menurutnya, sunnah tiada lain adalah penjelasan praktik
kehidupan keagamaan dan interaksi sosial penduduk Madinah yang kemudian
mendapat legitimasi konstitusional, sementara masyarakat di luar Madinah amat
sulit untuk menerima sunnah sebagai pedoman kehidupan keagamaan.[19]
Terhadap
pemikiran tersebut, A’zami menanggapi bahwa telah terjadi kesalahan di dalam memahami makna sunnah dan hadis dalam pandangan mereka. Dalam suatu kesempatan, Goldziher mengatakan bahwa yang disebut hadis sekarang ini, sudah
ada sebelum Islam kemudian diadopsi oleh
orang-orang Islam.
Menurut A’zami pandangan Goldziher ini
tidak berdasarkan argumen yang dapat dipercaya sama sekali dan bertentangan dengan
dalil-dalil yang ada.
Pendapat A’zami mengenai asal bahasa “sunnah”, menurutnya kata sunnah memang berasal dari bahasa Arab dan telah
dipakai sejak masa pra-Islam. Kata tersebut diartikan secara bahasa sebagai tata cara,
perilaku hidup, syariah, dan jalan hidup, terpuji atau tercela. Kata sunnah ini
dapat ditemukan di berbagai syair Arab pra-Islam maupun sesudah masa Islam. Goldziher dan Schacht
dipandang oleh Azami terjebak dalam memahami makna sunnah sebagai
masalah yang ideal dan norma yang disepakati masyarakat. Jadi sunnah Nabi
Ṣallallah Alayhi wa Sallam lepas dari aturan dan tradisi orang-orang
pra-Islam.[20]
A’zami menegaskan, tradisi, kebiasaan dan perilaku
kehidupan Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam jauh berbeda dengan sunnah
yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis. Sedangkan tradisi Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi tradisi
sebelumnya, bahkan Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam berupaya merubah dan
menghindari tradisi kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti
tetapi tidak berkisar pada masalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari
doktrin Islam.
A’zami menyangkal sunnah
diartikan dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Islam, kemudian dalam
perkembangannya dirujukkan hanya kepada tradisi yang dibangun dari Nabi. Sebab
jika demikian, berarti sunnah Nabi tiada lain adalah merupakan tradisi
masyarakat Islam lalu dikhususkan penamaannya untuk sunnah Nabi. Sunnah
Nabi adalah perilaku dan teladan Nabi dalam menjalankan syari’at Islam. Berangkat
dari pemahaman literer ini, lalu digeneralisasikan termasuk sunnah Nabi
tiada beda dengan sunnah orang lain, bahkan sebelum Islam datang. Sunnah
Nabi itu benar-benar dari perilaku dan kebiasaan yang dibangun atas dasar
bimbingan wahyu, sementara umat Islam memang diperintahkan untuk mengikutinya. Adapun kebiasaan
sahabat setelah sepeninggal Nabi, jika bertentangan dengan sunnah Nabi
tentu sunnah Nabi yang lebih didahulukan. Hal ini pernah digambarkan
oleh Ibnu Umar yang memberi pertimbangan keutamaan untuk mendahulukan sunnah
Nabi dari sunnah Umar. Sebab kewajiban yang mesti diikuti adalah sunnah
Nabi, bukan sunnah yang lain.[21]
Azami menggarisbawahi bahwa sunnah secara bahasa memang
berarti tata cara, tradisi, dan perilaku hidup, baik itu bersifat positif
ataupun negatif. Definisi ini juga dipergunakan dalam Islam untuk merujuk makna
yang sama, lalu dalam perkembangannya, kata tersebut diperuntukkan hanya untuk
merujuk kepada tata cara Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Meskipun
kalangan bangsa Arab tetap menggunakan istilah sunnah ini dalam arti
sempit, yakni tata cara, kebiasaan, dan tradisi, ini bukan berarti penggunaan
kata sunnah merujuk kepada makna yang biasa digunakan masyarakat Arab, apalagi
merujuk kepada penggunaan masyarakat Arab jahiliyah. Dengan demikian, kata sunnah
dipakai untuk menunjukkan tata cara Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam, dan
dalam perkembangannya, seringkali dibubuhi awalan “al” untuk membedakan antara sunnah
Nabi dengan sunnah-sunnah yang lain. Masyarakat Islam sejak
dahulu tidak pernah menggunakannya untuk arti “kebiasaan masyarakat”, akan
tetapi digunakan untuk merujuk kepada apa yang ada pada Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam.[22]
Selain itu A’zami juga mengomentari pendapat Goldziher dan Scharht
yang mengatakan bahwa sanad yang digunakan untuk hadis itu tidaklah benar,
melainkan hanya rekayasa umat Islam untuk menyebarkan ajaran Islam dan kemudian
disandarkan kepada orang-orang sebelumnya sampai kepada diri Nabi. Jadi semua itu banyak yang palsu. Pandangan
Goldziher dan Scharht ini juga dianggap terlalu keras dan tajam. Pendapatnya
juga ditolak oleh sebagian orientalis lain, semisal Orientalis Inggris John
Burton. Menurutnya, menolak seluruh hadis dan menganggap semuanya palsu adalah
salah.[23]
Adapun tanggapan A’zami, ia mengatakan bahwa dulu
pengajaran yang dilakukan itu tidak terpaku pada tulis-menulis, melainkan
kebanyakan darinya mengunakan hafalan. Jadi pada zaman itu, pengajaran melalui
periwayatan itu merupakan hal yang wajar, apalagi orang-orang Arab zaman dahulu
sangat terkenal dengan ketajaman ingatannya. Banyak sahabat yang dalam
pembelajarannya memilih menggunakan hafalah seperti Ibnu Mas’ud. Namun hal ini
tidak menafikan keberadaan riwayat dengan menggunakan tulisan. Kenyataannya,
Ibnu Umar selain ia menggunakan hafalan dalam belajarnya, ia juga menulis apa
yang telah ia dapat dari Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[24]
Sebagaimana dimaklumi,
perhatian sahabat terhadap ajaran Islam yang mereka peroleh dari Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam amat serius. Keseriusan ini terlihat dengan semangat
mereka dalam mengikuti majlis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.
Kadangkala Nabi berada di atas mimbar, atau duduk di antara lingkaran (halaqah)
sahabat untuk mengajarkan hal-hal penting masalah agama. Jumlah sahabat yang
ikut pengajaran Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam tidak tentu, sesuai dengan kesempatan mereka
mengikutinya. A’zami menyebut, jumlah kalangan sahabat yang ikut menggali ilmu
terkadang mencapai enam puluh orang. Hadis yang mereka terima tidak serta merta
mereka hafalkan tetapi seringkali didiskusikan setelah proses penyampaian dari
Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam untuk memantapkan pemahaman mereka.
Sehingga para sahabat banyak menghafal hadis ketika Nabi Ṣallallah Alayhi wa
Sallam masih hidup.
Upaya menjaga keakuratan
hafalan, para sahabat adakalanya memperdengarkannya di hadapan Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam. Keseriusan ini terlihat dari pengalaman seseorang yang
diutus oleh Abd al-Qais pada saat menghadap Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam
yang mendapati antrean sahabat untuk diperiksa hafalannya. Hal ini menunjukkan
besarnya antusias dari sahabat untuk mengetahui ajaran-ajaran dari Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam. Kemudian, kritik Nabi atas hafalan para sahabat seringkali
menjadi pengingat akan kesalahan mereka. Seiring dengan kesibukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, para sahabat mengatur kehadiran mereka untuk
mengikuti pengajaran Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Adakalanya
sebagian hadir sementara yang lain menjalani rutinitas keseharian, dan sepulang
dari majlis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam informasi yang didapatkan
oleh sahabat yang mengikuti pengajian Nabi kemudian disampaikan kepada sahabat
yang yang tidak mengikutinya. Umar bin Khaṭṭab dan ’Itban bin Malik sebagai
contoh yang mempraktekkan metode ini.[25]
Antusias tersebut masih
berlanjut ketika Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam wafat. Para
sahabat membiasakan diri untuk hidup
sesuai tuntunan Nabi dan ia mengajarkan hal itu pula kepada para Tabi’in
berlanjut pada Tabi’it Tabi’in. Periwayatan tersebut berhenti sampai disini,
namun diganti dengan banyaknya penelitian-penelitian yang bertujuan untuk
memilah mana hadis yang asli dan mana
hadis yang palsu serta memberikan kualitasnya.
Dari catatan sejarah
ini, bisa diketahui bahwa sanad yang digunakan dalam hadis orang Islam ini
benar. Bahkan sebaik apapun isi hadis tersebut jika sanadnya ada unsur orang yang ḍalim maka
hadis terse but akan digolongkan lemah bahkan palsu. Ini menunjukkan juga bahwa
dalam penelitian sanad, para ulama’ benar-benar apa adanya atau objektif,
terlepas dari rasa ingin membela Nabinya.
III. Tanggapan Pemakalah
Terhadap Pemikiran M. A’zami
M.
A’zami merupakan tokoh yang sangat peduli dengan keislamannya. Ini terlihat
dari banyaknya karya-karyanya yang sebagian besar membahas tentang keotentikan
sumber ajarannya yaitu al-Qur’an dan al-sunnah. Dalam pembahasannya ini
M.A’zami menjelaskan secara detail, menyeluruh dan dengan menyertakan
argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus objektif.
Sebagaimana
yang telah diungkapkan Gus Dur, bahwa A’zami telah memberikan karya yang sangat
penting yang berperan dalam menghadapi argumen-argumen yang dilontarkan kaum
Orientalis terhadap literatur Islam.
Banyak
pujian dari tokoh-tokoh lain yang diberikan kepada M.A’zami maupun
pemikirannya, diantaranya yang diberikan oleh Muhammad Kamal Hassan, rektor UII
Malaysia. Muhammad Kamal Hassan mengatakan bahwa ia sangat mengenal M. M.
A’zami dan kepribadiannya. Menurutnya, A’zami memiliki latar belakang
pendidikan Timur dan Barat, oleh karena itu, tentunya ia memahami betul
pemikiran-pemikiran orang Timur dan Barat yang mumpuni. M.A’zami dalam dunia Islam
dikenal sebagai orang yang alim dan juga seorang ilmuan kenamaan di bidang
hadis. Tentunya tidak seperti kebanyakan ilmuan yang lain, yang mana setelah
mereka meneliti Barat, mereka merasa silau dan bahkan memuji-muji ketinggian
budaya dan sistem kajian Islam mereka tanpa adanya analisis dan kritis. Berbeda
dengan mereka, M.M.A’zami dalam risalah Ph.D-nya yang diajukan kepada
Cambridge, secara lugas membahas kekeliruan pihak Orientalis dalam memahami
asal-usul ilmu hadis yang begitu unik.[26]
IV. Kesimpulan
M.M.A’zami
adalah tokoh jenius yang memiliki peran penting dalam mengatasi problematika
yang muncul di tengah perkembangan Islam. Pola pemikirannya telah memberikan
sumbangsih yang sangat berharga terhadap
Islam. Ia telah memberikan banyak karya yang bisa digunakan untuk menolak
persepsi Orientalis terhadap Islam yang dikajinya secara subjektif dan
mengada-ada. Pemikirannya kini dijadikan rujukan oleh para pengkaji hadis dalam
penelitiannya.
Bisa
dibayangkan, seandainya tidak ada ketanggapan dan kesadaran seperti yang
dilakukan oleh M.A’zami, mungkin pemikiran-pemikiran dan teori-teori yang
dicetuskan oleh Orientalis akan dengan mudah masuk pada pemikiran orang-orang
Timur dan akan akan mendarah daging, sehingga ketika pemikiran Orientalis
tersebut telah masuk, maka akan sulit untuk menghapusnya.
Ucapan
terimakasih pantas diberikan kepada M.A’zami, karena dengan pemikiran dan
karyanya ia telah menguatkan dalil-dalil keotentikan sumber ajaran Islam yang
dianut banyak orang muslim termasuk kita.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani
Press, 2008.
Armas, Adnin, Pengaruh
Kristen-Orientalisme Terhadap Islam Liberal, Jakarta : Gema Insani
Press, 2003.
Armas, Adnin, Metodologi
Bibel dalam Studi Al-Quran, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
A’zami
(al), Mustafa,
Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, terj. Dr. Sohirin
Solihin dkk,
Jakarta: Gema Insani Press, 2014.
Hanafi, Ahmad, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Quran dan
Hadits), Jakarta: Pustaka al Husna, 1981.
Isnaeni, Ahmad, “Historisitas Hadis Menurut
Musṭafa A’zami”, Journal of
Qur’an and Hadith Studies ,
Vol. 3, 01, 2014.
Isnaeni, Ahmad, “Pemikiran Goldziher dan Azami
Tentang Penulisan Hadis”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan emikiran Islam, Vol.6,
02, 2012.
http://
Sejarah Pemikiran dan Tokoh Orientalisme Fanatik Terhadap
Islam-Belajar Mengajar.html. diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
http://pesantrenonlinenusantara.blogspot.co.id/2012/02/muhammad-mustafa-al-azami.html.
Diakses tanggal 27 Oktober 2015.
[1] http://
Sejarah Pemikiran dan Tokoh Orientalisme Fanatik Terhadap
Islam-Belajar Mengajar.html. diakses
pada tanggal 12 Oktober 2015.
[3] Ibid., 24.
[4] http:// pesantrenonlinenusantara. blogspot. co.id/2012/02/ muhammad-mustafa-al-azami.html.
Diakses tanggal 27 Oktober 2015.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Mustafa Al-A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai
Kompilasi, terj. Dr. Sohirin
Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014) 40.
[8] Ibid., 39-40.
[9] http://pesantrenonlinenusantara.blogspot.co.id/2012/02/muhammad-mustafa-al-azami.html.
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
Pustaka al Husna, 1981)18.
[13] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalisme Terhadap Islam
Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003) 61.
[15] Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut Musṭafa
A’zami”, Journal of Qur’an and Hadith Studies , Vol. 3, 01, (2014), 122.
[16] Ibid., 123.
[18] Ahmad Isnaeni, “Pemikiran Goldziher dan Azami Tentang Penulisan Hadis”,
Kalam: Jurnal Studi Agama dan emikiran Islam, Vol.6, 02, (2012), 365.
[19] Ibid., 366.
[20] Ibid., 372.
[21] Ibid., 373.
[22] Ibid., 374.
[25] Ibid., 340.
[26] Mustafa Al-A’zami, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai
Kompilasi, terj. Dr. Sohirin
Solihin dkk, xix.
0 komentar:
Posting Komentar