Jumat, 02 Januari 2015

Ringkasan Materi Ulumul Qur'an



Tugas Ulumul Qur’an semester 3
Nama : Joko Supriyanto

SEBAB SEBAB TURUNNYA AL-QUR’AN
Memahami asbaabun nuzuul  adalah  merupakan suatu keharusan untuk memahami isi kandungan ayat  dan terhindar dari kesalahan  dan asbaabun nuzuul  sendirti sangat membantu untuk memahami arti dari ayat yang dimaksud.
Namun demikian, tidak semua ayat yang diturunkan itu mempunyai asbaabun nuzuul, terutama ayat yang diturunkan untuk tujuan umum atau sebagai permulaan, tanpa sebab seperti yang berkaitan dengan aqidah dan iman. Jadi al-Qur’an ditrurunkan dalam dua kategori yaitu turun tanpa ada sebab dan yang turun karena ada suatu peristiwa atau pertanyaan yang memerlukan  penjelasan.
v  Pengertian Asbab an-Nuzul
Asbaabun nuzuul (Ar. : al-asbab  jama’  dari sabab = sebab ; an-nuzul =  turun) Kata sabab (jamak dari asbab)  berarti penalaran, alasan, sebab; dan ma’rifat asbaabun nuzuul  berarti pengetaahuan tentang  sebab-seabab diturunkannya suatu wahyu. Yaitu pengetahuan  tentang peristiwa dan lingkungan  tertentu di dalam sejarah yang berkaitan dengan ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur’an.[1]
Asbaabun nuzuul adalah sesuatu yang melatar belakangi turunnya satu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu peristiwa  atau menceritakan suatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang terdapat dalam peristiwa tersebut.[2]
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, asbaabun nuzuul  adalah “ sesuatu hal yang disebabkan Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum)-nya, pada masa  itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.[3]
Muhammad Abdul Azim az-Zarqani, ahli ilmu tafsir, mendefinisikan asbaabab  an-nuzuul    sebagai suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang setelah itu turun ayat membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa yang terjadi tersebut bukan secara otomatis menjadi penyebab turunnya ayat yang membicarakan kasus itu. Oleh sebab itu, para ahli tafsir mengatakan bahwa hubungan peristiwa yang terjadi dengan turunnya ayat yang membicarakan peristiwa tersebut bukan dalam hubungan kausalitas (sebab akibat), tetapi memang Allah SAW ingin menurunkan ayat itu pada saat atau sedang terjadinya peristiwa tersebut.[4]
Wahidi (Wafat 468/1075), salah seorang sarjana klasik dalam bidang ini pernah menulis ; “ Pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat sangat tidak dimungkinkan, apabila tidak dilengkapi dengan adanya pengetahuan tentang kisah-kisah dan penjelasan yang berkaitan dengan diturunkannya suatu wahyu.[5]
v  Cara-cara mengetahui Asbab an-Nuzul
Para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an  (Ulumul Qur’an) menyatakan bahwa karena asbaabun nuzuul, itu adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah saw, maka untuk mengetahui  asbaabun nuzuul  harus melalui periwayatan yang shahih 20  dari para shahabat yang mendengar atau yang menyaksikan langsung peristiwa yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat tertentu atau melalui para ahli yang telah melakukan penelitian dengan cermat, baik dari kalangan tabiin maupun ulama-ulama lainnya yang dapat dipercaya.[6]
Cara mengetahui asbaab an-nuzuul melalui periwayatan yang shahih tersebut terkadang dapat dilihat dari ungkapan perawi yang mengatakan, « sebab nuzuul al-ayah kazaa » (sebab turunnya ayat demikian). Adakalanya asbaab an-nuul  tidak diungkapkan dengan kata sabab (sebab), tetapi diungkapkan dengan kalimat   « fa nazalat  (lalu turun ayat) Misalnya, perawi mengatakan «  su’ila an-nabiy salaa Allaah ‘alasih wa sallm ‘an kazaa, fa nazlat….(Nabi saw ditanya tentang suatu hal, lalu turun ayat….) » .[7]
Oleh karena itu, seseorang  tidak dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis atau orang seperti itu bahwa suatu ayat diturunkan dalam keadaan yang tertentu. Untuk itu, kita harus mempunyai kepastian tentang siapa yang meriwayatkan  peristiwa tersebut, apakah waktu itu ia memang sungguh-sungguh meyaksikan, dan kemudian siapa yang menyampaikannya  kepada kita.
v  Jenis-jenis Penyebab asbaabun nuzuul
Ada tiga jenis  penyebab yang berkaitan erat dengan pewahyuan berepa ayat khusus dari al-Qua’an, yaitu:
1.      Pewahyuan seabagai bentuk tanggapan atas suatu peristiwa khusus ataupun     peristiwa umum.
2.      Pewahyuan sebagai tanggapan  atas pertanyaan yang diajukan seseorang.
3.      Pewahyuan atas dasar sebab yang lain, entah kita ketahui atau tidak.

v  Fungsi Penting Asbab an-Nuzul
Adapun fungsi penting Asbabun nuzul ialah :
1.      Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah Swt. bukan buatan manusia.
2.      Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada Rasulullah Saw. dalam menjalankan misi risalahnya.
3.      Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya (khususnya Rasulullah Muhammad Saw.) dengan menghilangkan duka cita mereka.
4.      Sarana memahami ayat secara tepat, tepat sesuai peruntukannya, walau harus diketahui bahwa bukan berati ayat tersebut tidak dijadikan dasar untuk perkara yang lain, yang punya persoalan yang sama.
5.      Mengatasi keraguan pada ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
6.      Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an sesuai dengan sebabnya.
7.      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat ayat Al-Qur’an.
8.      Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya.
9.      Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
10.  Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam  keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
11.  Terakhir bahwa harus dipahami juga bahwa tidak semua ayat dalam Al Qur’an ditemukan asbabun nuzulnya


ARTI NUZUL AL-QUR’AN ‘ALÂ SA’ATI AHRUF

Orang Arab mempunyai keberagaman lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa arab lainnya, antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jamaah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan Al-Qur’an sekaligus kelemahan ketika mereka diminta untuk mendatangkan satu surat yang seperti Al-Qur’an.
Apabila orang Arab berbeda dialek dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qira’ah di antara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Teks-teks hadist secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf). Di antaranya :
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata; Rasulullah bersabda,
"أَقْرَأَنِيْ جِبْرِيْلُ عَلىَ حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فًلًمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِيْ حَتَّى اِنْتَهَى إِلىَ سَبْعَةِ أَحْرُفٍ".
“Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.”
Ubay bin Ka’ab berkata, “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghifar, ia didatangi Jibril seraya berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.” Beliau berkata, “Aku memohon kepada Allah ampunannya-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.” Kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.” Nabi menjawab, “Aku memohon ampunan-Nya, umatku tidak kuat melaksana-kannya.” Jibril lalu datang lagi untuk yang ketiga kalinya dan berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Nabi tetap menjawab, “Aku memohon ampunan kepada Allah, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya.” Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata, “Allah memerintahkan kepadamu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.”
Dari Umar bin Al-Khattab, ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. Maka, aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “Siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku.” Lalu aku katakan kepadanya, “Kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “Lepaskan dia, hai Umar. Bacalah surat tadi, wahai Hisyam!” Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti yang kudengar tadi. Maka kata Rasulullah, “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia berkata lagi: “Bacalah, wahai Umar!” Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah, “Begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.”
Hadist-hadist yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibnu Jarir di dalam pengantar tafsirnya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadist-hadist tersebut diriwayatkan dari dua puluh satu orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam menetapkan kemutawatiran hadist mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”

Ø  Perbedaan Pendapat Atas Makna Sab’ati Ahruf
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
1.      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain.
2.      Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya; karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat Al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.

Ø  Hikmah Turunnya al-Qur’an ‘Ala Sab’ati Ahruf
Hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (ahruf sab’ah) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.       Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syariat, apalagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadist antara lain dalam ungkapan berikut:
Ubay berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertemu dengan Jibril di Ahjar Mira’, lalu berkata, “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Di antara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek dan nenek-nenek.” Maka kata Jibril, “Hendaklah mereka membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”
Dalam riwayat lain, “Allah memerintahkan aku untuk membacakan Al-Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf.” Lalu aku memohon keringanan, “Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi umatku.” Kata Jibril, “Allah memerintahkan engkau untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.” Nabi menjawab, “Aku memohon kepada Allah maaf dan ampunan-Nya. Umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.
















Referensi: Mabahis Fi Ulumul Qur’an Karya Syekh Manna’ Al-Qaththan.


CARA MEMBACA AL-QUR’AN MENURUT QIRA’AT PARA QURRA’
v  Pengertian Ilmu Qiraat
Qiraat adalah bentuk jamak dari kata jamak dari kata qiraah yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al- Zarqani mengemukakan definisi qiraah sebagai berikut:
“ Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan dalam ucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaanya.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat al-quran. Cara membaca al-quran berbeda dari satu imam dengan imam qiraat lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam satu mazhab qiraat didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qiraat-qiraat bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaaan.
Disamping itu, Ibn al-jazari membuat definisi berikut : “Qiraat adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakan kepada penukilnya”.
Menurut beliau, Al-Muqri’ adalah seorang yang mengetahui qiraah-qiraah dan meriwayatkan kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab Al-Taisir (kitab qiaraah) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’) isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak meenyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwatan yang bersambung-sambung (musalsal). Sebab, dalam masalah qiaraah banyak hal ysng tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan. Al-Qari’ al-mubtadi’ (qari’ pemula) adalah orang yang mulai melakukan personifikasi qiraah hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga qiraah. Al-muntabi (qari tinggkat akhir) ialah orang yang mentransfer kebanyakan qiraah atau qiraa-qiraah yang paling masyur.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa Al-Qur’an yang dicetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah qiaraah. Suatu kenyataan bahwa banyak mushaf yang dicetak dibelahan dunia islam sebelah timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika Utara misalnya karena qiraah yang umum diikuti dikedua wilayah ini berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman itu tidak bertitik dan tidak berbaris.
 Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca Al-Quran. Sebagian mengambil satu cara bacanya dari Rasul, sebagian mengambil dua, dan yang lainnya mengambil lebih, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat berpencar keberbagai kota dan daerah membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadi populer dikota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Quran dari suatu kota kekota lain. Kemudian, para tabi’ al tabi’in menerimanya dari tabi’in dan meneruskan pula kepada generasi berikutnya. Dengan demikian tumbuhlah berbagai qiraahyang kesemuanya berdasarkan riwayat. Hanya saja, sebagian menjadi populer dan yang lain tidak. Riwayatnya juga sebagian mutawattir dan yang lainnya tidak.
v  Macam-macam Tingkatan Qira’at dan Penggunaannya
Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai qiiraah. Perbedaan antara satu qiraah dan lainnyabertambah besar sehingga sebagian riwayatnyasudah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Para ulama menulisa qiraah-qiraah ini dan sebagiannya menjadi masyur sehingga lahirlah istilah “qiraat tujuh”, “qiraat sepuluh”, dan qiraat empat belas”.
Untuk menyangkal penyelewengan qiraat yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraat yang benar dan qiraat yang aneh (syazzab).para ulama membuat tiga syarat ulama membuat tiga syarat bagi yang termasuk qiraat yang benar, yaitu diantaranya :
1.      Qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan.
2.      Qiraat itu sesuai salah satu mushaf-mushaf utsmani sekalipun secara potensial.
3.      Shahih sanadnya, baik diriwayatkn dari imam qiraat yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qiraat yang berterima selain mereka.
Setiap qiraat yang memenuhi kriteria ini adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya, qiraat yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebgai qiraat yang lemah atau aneh atau batal, baik qiraat tersebut diriwayatkan dari dari imam qiraat yang tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka. Inilah pendapat yang benar menurut imam-imam yang yang meneliti dari kalangan salaf dan khalaf. Demikian ditegaskan oleh Al-Dani, makki, Al-Mahdi dan Abu Syamah. bahkan menurut Al-suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab salaf yang tidak diketahui seorang pun dari mereka menyalahinya.
v  Tujuh Imam Qira’at
Ada tujuh orang imam Qira’at yang disepakati, tetapi di samping itu para ulama’ memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang shahih dan Mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qaq Al-Madani, Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. Mereka itulah yang terkenal dengan qira’at ‘asyrah (qira’at sepuluh) yang diakui. Qira’at di luar yang sepuluh ini dianggap syadz (cacat), seperti qira’at Al-Yazidi, Al-Hasan, Al-A’masyi, Ibnu Az-Zubair, dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan bererti tidak ada satu pun dari qira’at sepuluh dan bahkan qira’at tujuh yang masyhur itu terlepas dari syadz, sebab di dalam sepuluh qira’at tersebut masih terdapat juga beberapa yang syadz sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan Qura’ yang tujuh itu dilakukan oleh para pada abad ketiga Hijrah. Bila todak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad kedua, Umat Islam di Bashrah memilih qira’at Ibnu Amr bin Ya’qub. Di Kufah, orang-­orang memilih qira’at Hamzah dan Ashim. Di Syam, mereka memilih qira’at Ibnu Amr. Sementara di Makkah, mereka memilih qira’at Ibnu Katsir. Sedangkan di Madinah, memilih qira’at Nafi’. Mereka itulah tujuh orang qari’. Tetapi pada permulaan abad ketiga, Abu Bakar bin Mujahid (guru qira’at penduduk Irak dan salah satu orang yang menguasai qira’at) menetapkan nama Al-Kasa’I ddann membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’ tersebut.


SEJARAH JAM’UL QUR’AN
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung berbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an dibagi dalam tiga fase yaitu:
A.    Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
1.      al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
2.      al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an.
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawwiyah, ‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, Ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan dalam hati. Disamping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri tanpa diperintah oleh Nabi.
Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadis dikeluarkan oleh Muslim dan Ahmad).
Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah SAW adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan sanadnya yang bersambung. Zaid bin Tsabit berkata: “kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang”.
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
Sepanjang hidup Rasulullah SAW, Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap. Ibnu Abbas berkata : “Rasulullah apabila turun ayat, beliau segera memanggil penulis, lalu bersabda : “Letakkanlah ayat ini dalam susunan yang disebutkan di dalamnya ini …dan ini…!”.
Penertiban dan susunan ayat-ayat Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw. Sendiri berdasar bimbingan Jibril a.s yang menjadi pesuruh Allah. Dalam hal ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah tauqify, artinya susunan surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita saksikan di berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.
Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah, namun Nabi tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-ayat yang ada pada setiap surah dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak terhitung, di samping juga tidak perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran di dalam satu mushaf.
Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya dipertimbangkan mencakup “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran. Persoalan Al-Quran diturunkan dalam “tujuh huruf” akan dibahas pada bahagian tersendiri pula. Bilamana wahyu turun, para qurra segera menghafal dan ditulis oleh para penulis. Pada waktu itu belum dirasa perlu membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu, kalau-kalau ada ayat yang menasakh beberapa ketentuan hukum yang telah turun sebelumnya. Al-Zarkasyi menyebutkan juga bahwa Al-Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi, guna mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pada suatu waktu.
Penulisan Al-Quran secara tertib dilakukan kemudian sesudah Al-Quran selesai turun semua, yaitu pada saat wafatnya Rasulullah.
B.     Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Sebab utamanya adalah terbunuhnya sejumlah besar para Qurrâ` pada perang Yamamah, diantaranya Salim, Mawla Abu Hudzaifah yang merupakan salah seorang dari kalangan mereka yang Nabi perintahkan agar al-Qur’an diterima darinya.
Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-Qur’an agar tidak lenyap (dengan banyaknya yang meninggal dari kalangan Qurrâ`).
Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan dan saran dari Umar bin Khattab itu. Sebab ini merupakan suatu pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Akan tetapi, atas pandangan dan pertimbanganpertimbangan yang diberikan Umar sehingga terbukalah hati kahlifah Abu Bakar menerima usulan yang baik itu. Lalu ia memutuskan bahwa pekerjaan yang monumental itu diserahkannya kepada Zaid bin Tsabit untuk melaksanakannya, mengingat kedudukannya sebagai pendamping setia Rasulullah, juru tulis wahyu yang kenamaan, berakal cerdas dan senantiasa mengikuti pembacaan Al-Quran dari Rasululllah.
Pada mulanya Zaid bin Tsabit merasa ragu dan menolak melaksanakan tugas berat itu, khawatir kalau-kalau terjerumus ke dalam perbuatan yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya, sama halnya dengan Abu Bakar sebelum itu. Akan tetapi, karena terus-menerus dihimbau, diberi dorongan dan semangat oleh para shahabat besar lainnya, terbukalah pintu hatinya untuk menerima tugas yang suci itu. Akhirnya Zaid bin Tsabit memulai tugas yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para huffaz (penghafal Al-Quran) dan menelusuri catatan ayat-ayat yang ada pada para penulis lainnya, di samping mengkompromikan antara hafalan dan catatannya sendiri. Dengan sangat teliti dan penuh kehati-hatian, akhirnya Zaid berhasil menghimpun catatan-catatan yang berserakan itu ke dalam satu naskah yang kemudian disebut dengan “Mushaf Al-Quran”. Setelah selesai mngerjakan pekerjaan berat itu, Zaid menyerahkan mushaf itu kepada khalifah Abu Bakar, yang kemudian mushaf itu di pegang oleh khalifah sendiri hingga wafatnya.
C.     Al-Quran pada jaman khalifah Usman bin ‘Affan
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan, penyebaran Islam bertambah luas sampai ke berbagai kota dan daerah. Maka seiring dengan perkembangan umat Islam, gerakan pengajaran Al-Quran pun semakin berkembang. Para qura’ (para ahli bacaan) pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari Al-Quran dari qari yang dikirim kepada mereka. Misalnya penduduk negeri Syam mendapatakan pengajaran bacaan Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab r.a, penduduk Kaufah dibimbing oleh Abdullah bn Mas’ud r.a, dan sebagian penduduk yang lain belajar Al-Quran kepada Abu Musa al-‘Asy’ary r.a. Mereka mengajarkan Al-Quran dengan bacaan yang beaneka ragam sesuai dengan tuntutan dialek penduduk masing-masing daerah, dan sejalan pula dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Al-Quran diturunkan.
Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Dengan adanya perbedaan bunyi huruf dan bentuk bacaan tersebut, maka sebahagian mereka ada yang merasa heran, dan sebahagian lagi merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Kondisi yang seperti ini semakin hari semakin menajam, pada gilirannya menimbulkan pertikaian, mengakibatkan permusuhan dan perbuatan dosa karena satu sama lainnya saling kufur- mengkufurkan karena soal bacaan Al-Quran.
Di sisi lain, perbedaan itu juga disebabkan karena pada masa itu penulisan AlQuran tanpa titik-titik (di atas atau di bawah huruf) dan tanpa syakl (tanda bunyi, seperti fathah, kasrah, dhammah, saknah dan lain-lain), dan juga karena cara orang membaca Al-Quran tidak sama, tergantung cara pencatatan Al-Quran pada masing-masing orang. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing tetap mempertahankan dan berpegang pada bacaannya. Melihat keanekaragaman bacaan Al-Quran tersebut, akhirnya pada suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan antara pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela dakwah agama Islam di Armenia dan Adzerbeidzan, Huzaifah bin al-Yaman datang menghadap khalifah Utsman mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan Al-Quran yang semakin menajam dan hampir-hampir menimbulkan pertengkaran fisik di kalangan kaum muslimin, seraya katanya : “Ya ! Amirul Mukminin….., persatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan Nasrani”. Tampaknya bukan Huzaifah al-Yaman saja yang memendam rasa kekhawatiran tersebut, bahkan banyak lagi shahabat Nabi yang turut memprihatinkan kenyataan itu,
karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan, termasuk khalifah Utsman sendiri pun turut merasa cemas.
Akhirnya khalifah Utsman melakukan tindakan preventif untuk mengatasi perbedaan bacaan yang sangat mengkhawatirkan itu, sehingga umat Islam diharapkan
tetap pada bacaan yang satu huruf. Untuk mengatasi kondisi demikian, khalifah mengumpulkan para shahabat-shahabat terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah guna mengantisipasi perselisihan dan perpecahan sebagai akibat dari perbedaan bacaan tersebut, seraya berkata: “Anda semua dekat denganku malah berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Di dalam musyawarah tersebut, mereka sependapat agar Amirul Mukminin menyalin dan mereproduksi mushaf kemudian mengirimkannya ke berbagai kota dan wilayah Islam, dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushaf-mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Quran. Untuk merealisasikan keputusan tersebut, maka khalifah Utsman mengirim sepucuk surat kepada Hafsah, berisi permintaan agar Hafsah mengirimkan mushaf (yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar) yang disimpannya untuk disalin menjadi beberapa naskah. Selanjutnya khalifah Utsman menugaskan kepada komisi berempat yang terdiri dari shahabat pilihan yang bacaan dan hafalannya dapat dihandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubeir, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk bekerjasama menyempurnakan bacaan Al-Quran yang tertulis dalam mushaf Abu Bakar serta menyalinnya menjadi beberapa naskah. Mereka itu semuanya berasal dari suku Quraisy Muhajjirin kecuali Zaid bin Tsabit. Ia berasal dari kaum Anshar Madinah.
Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun ke-25 hijrah. Namun sebelum komisi bekerja, khalifah Utsman terlebih dahulu memberikan pengarahan antara lain katanya : “Bila anda sekalian (bertiga, kaum Quraisy) ada perselisihan pendapat tentang bacaan dengan Zaid bin Tsbait, maka tulislah berdasarkan bacaan (dialek) Quraisy, karena Al-Quran (pada pokoknya) diturunkan dengan bahasa Quraisy”.
Setelah pekerjaan berat team ini selesai, lalu khalifah Utsman menyerahkan kembali mushaf yang asli itu kepada Hafsah. Dan selanjutnya beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan Islam. Di samping memerintahkan supaya catatan tentang ayat-ayat Al-Quran atau mushaf-mushaf lainnya yang bertebaran dikalangan kaum muslimin, segera dibakar. Sebab, jika semua mushaf dengan bermacam-macam cara penulisannya itu dipertahankan, maka sudah barang tentu akan menambah tajamnya pertengkaran dan permusuhan. Apalagi kehidupan kaum muslimin ketika itu sudah agak jauh dari kehidupan semasa Rasulullah masih hidup.
Adapun mengenai jumlah salinan naskah yang dikirim ke berbagai daerah Islam itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Abu ‘Amr ad-Dani mengatakan bahwa khalifah Utsman mereproduksi mushaf Hafsah menjadi empat naskah. Satu naskah dikirm ke Kaufah, Basyrah dan Syam, satu naskah lagi disimpan Utsman sendiri. Sementara ada pula sebahagian ulama mengatakan bahwa naskah salinan berjumlah tujuh buah. Selain dikirim ke tiga daerah disebut diatas, tiga naskah lainnya dikirim ke Mekkah, Yaman dan Bahrein. Lain halnya as-Suyuti, ia berpendapat bahwa menurut riwayat yang masyhur naskah itu berjumlah sebanyak lima naskah.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai jumlah mushaf yang disalin, yang jelas dan pasti adalah setiap naskah itu mencakup seluruh Al-Quran. Ia memuat 114 surat yang ditulis tanpa titik dan syakl, tanpa nama surat dan tanpa pemisah persis sama dengan penulisan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar r.a. Di samping itu, ia juga bersih dari tambahan catatan tafsir, atau rincian catatan umum, atau tulisan lain yang berfungsi untuk melestarikan makna yang dimaksud. Dan juga mushaf Utsman tersebut, tidak terpengaruh oleh catatan yang dibuat orang-seorang, dan susuan surat serta ayat-ayatnya sama seperti mushaf-mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini.











Referensi: Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, teremahan dari kitab Mabahits Fî Ulûm al-Qur’an Karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan.


RASMUL QUR’AN
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai kepenjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat di sayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang di gunakannya adalah yang terbaik.
Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an.
Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
  1. Al–Hadzf (membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif  pada ya’ nida’ (يَا آَ يها النا س ).
  2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
  3. Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
  4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
  5. Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
  6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
v  Perkembangan Rasmul Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an. Al-Du’ali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu :
ان الله برئ من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
v  Pendapat Ulama’ Tentang Rasmul Qur’an
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi, yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.





















Referensi: Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, teremahan dari kitab Mabahits Fî Ulûm al-Qur’an Karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan.



CARA MENTERJEMAH AL-QUR’AN DENGAN BAIK
Jika dilihat secara fisik, Al-Qur’an terlihat gemuk dan padat. Jika dibaca, Al-Qur’an terkesan elitis artinya sukar untuk dipahami isinya. Namun jika diteliti lebih jauh, apa yang dikesankan selama ini bahwa Al-Qur’an sulit dipahami ternyata tidak demikian. Al-Qur’an sendiri mengatakan :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِر
Ayat ini terulang pada surah al-Qomar sebanyak 4 (empat) kali. Pengulangan ini jelas mempunyai arti bahwa Al-Qur’an memang benar benar dimudahkan Allah bagi manusia. Kemudahan ini bisa dari segi menghafalkannya atau memahami artinya.
Jika diteliti lebih lanjut, Al-Qur’an seperti kata Imam Sayuti dalam kita “al-Itqan” mempunyai 77.934.kalimat atau 77.434. atau 77.477 kalimat. sebagian kalangan menyebutnya angka 78.485. Bilangan ini kelihatannya “menakutkan”. Namun jika diteliti lebih jauh lagi, akan ditemukan banyak kalimat yang terulang dalam Al-Qur’an. Pengulangan ini karena satu kalimat bisa dirobah dalam bentuk lain melalui teori “Isytiqaq”. Sebut saja lafazh : ( كان ) mempunyai derivasi yang beragam seperti : ( سيكون ) ( كن ) ( يكون ) ( تكن ) ( أك ) ( أكن ) ( سوف تكون ) Kalimat kalimat Al-Qur’an yang demikian banyaknya, jika diperas lebih lanjut, dan dilihat, maka kalimat yang tidak terulang menjadi sekitar sepersepuluh dari jumlah yang ada diatas. Jika seorang mampu memahami semua kalimat yang ada dalam surah Al-Baqarah, maka dia sebenarnya telah mengetahui 80 % dari kalimat kalimat Al-Qur’an. Oleh karena itu bisa kita pahami sekarang, kenapa Allah menempatkan surah Al-Baqarah di permulaan Al-Qur’an. yaitu agar jika pembaca telah memahami kandungan surah Al-Baqarah, maka dia dengan memahami mamahami surah surah berikutnya, karena banyak kalimat dalam surah Al-Baqarah yang terulang.
Sebuah penelitian mengatakan bahwa dari 78.485 kalimat Al-Qur’an terdapat 19.390 kalimat yang gharibah atau agak sukar dipahami artinya. Kemudian jika seorang mampu memahami 1015 kalimat, maka dia akan mampu mengartikan 46.452 kalimat sampai 78.485 kalimat.
Penelitian lain menyebutkan bahwa di dalam Al-Qur’an ada sekitar 300 kalimat yang terulang sebanyak kurang lebih 60.000 kali. Kalimat tersebut mereperentasikan sekitar 75 % kosa kata dalam Al-Qur’an. ada sekitar 100 kosa kata dalam Al-Qur’an yang terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 40.000 kali. 100 kosa kata tersebut mewakili sekitar 50 % dari seluruh kosa kata yang ada dalam Al-Qur’an. Dalam surah al-Baqarah banyak kosa kata yang mewakili sekitar 80 % kosa kata dalam Al-Qur’an. sementara 20 % terdapat pada surah surah lainnya.
Kunci cepat untuk menerjemahkan Al-Qur’an adalah dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama : mengetahui huruf-huruf tambahan pada awal dan akhir kalimat seperti huruf wawu atau Ya’ dan Nun pada jamak mudzakkar salim, atau alif dan Ta’ pada jamak mu’annats salim. Untuk mengetahui hal tersebut, seorang dituntut untuk mengetahui bentuk “tsulatsi mujarrad” pada setiap kalimat. sebagai contoh : kata : ( لأحتنكن ) huruf tambahanyya adalah : lam, Ta’, Nun tasydid. Dengan demikian akar kata dari kalimat tersebut adalah : (Ha’-Nun-Kaf). Yang perlu diketahui adalah apa arti huruf huruf tambahan tersebut, dan apa arti akar kata dari kalimat tersebut.
Kedua : mengetahui makna kata sambung, apakah huruf ‘athaf, huruf jar, ‘amil nawashib, jawazim, macam macam bentuk dlamir, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui makna dari huruf atau kalimat penghubung, bisa dilihat pada kitab kitab nahwu. Kata sambung tersebut diatas harus dihafalkan dan harus diketahui artinya masing-masing.
Ketiga : memperhatikan bentuk kalimat apakah fi’il madli, mudlari’, amr, kata jadian (masdar), isim zaman, isim makan, isim alat, isim maf’ul, isim fa’il atau lainnya seraya memerhatikan makna masing masing. Untuk mengetahui hal ini juga bisa dirujuk pada kitab kitab nahwu dan sharaf.
Keempat : mengetahui arti akar kata pada setiap kalimat. untuk mengetahui hal ini bisa kembali kepada buku buku kamus arab – Indonesia dan lainnya. Kamus seperti “al-Munawwir”, Mahmud Yunus dan lain sebagainya bisa membantu menemukan arti akar kata. Sedangkan akar kata yang perlu dilihat adalah akar kata yang ada pada surah al-Baqarah. Sebagai contoh : kata yang terdiri dari huruf : Kaf-Fa’-Ro’ mempunyai arti ketertutupan. Orang kafir dinamakan demikian karena mereka menutupi diri dari kebenaran. Petani dinamakan “kafir” karena mereka menutupi biji bijian dengan tanah. Begitu juga dengan kata yang terdiri dari (Jim-Nun-Nun). Jin dikatan demikian karena mereka tertutup dan terhalang dari penglihatan manusia. Sorga dikatakan “jannah” karena orang yang ada didalamnya terhalang dan tertutup oleh rindangnya pepohonan. Hati dikatakan “Janan” karena tertutup oleh rongga dada. Tameng dikatakan “Mijann” karena bisa menutupi seseorang dari serangan musuh. Orang gila dikatakan “majnun” karena akalnya tertutup. Dengan demikian maka arti “tertutup” inilah yang perlu diketahui terlebih dahulu. Selanjutnya kata kata yang berakar dari akar kata “Jim-Nun-Nun tidak akan jauh dari pengertian tersebut.
Pembaca bisa memulai dengan melihat arti setiap kalimat yang ada pada surah al-Baqarah satu persatu. Kalimat baru yang perlu diketahui dan dihapalkan diberi coret bawah. Kemudian jika kalimat yang sudah diketahui artinya terulang kembali, tidak perlu digaris bawah. Dan begitu seterusnya.
Jika ketiga langkah ini sudah dilakukan, diharapkan seorang mampu menerjemahkan Al-Qur’an dengan cepat. Untuk mengetahui ketepatan dan kebenaran terjemah yang dilakukan adalah dengan mencocokkan hasil terjemahannya dengan terjemahan yang sudah ada. Langkah menerjemahkan Al-Qur’an adalah awal langkah sebelum menafsirkan Al-Qur’an. Wallahu a’lam bi al-shawab.



[1] Lihat, Denffer, Ahmad Von, Ilmu Al-Qur’an , Pengendalam Dasar, Diterjemahkan dari buku aslinya berjudul, Ulum Al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of the Qur’an, oleh Nasir Budiman, Ed. 1, Cet.1 Jakarta: Rajawali. 1988, h. 102.
[2] Lihat, Daud Al-Athhar, Perespektip Baru Ilmu Al-Qur’an, Quraish Shihab, Pustaka Hidayat, Bandung: 1994, h. 127.
[3] Lihat, Manna Khalil Al-Qathan, Mabaahits Fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Masyurat Al-Ashr Al-Hadist, (tth), h. 78.

[4] Lihat, Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid,1, Cet. IV, Ichtiar Baru Van Hoever, Jakarta: 2000, h. 133.
[5] Lihat, An-Nisaburi Wahidi, Asbab al-nuzul, Halabi, Kairo: 1387/1968, hal.4.
[6] Lihat, Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan denga pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.I, Bulan Bintang  Jakarta :1988,hal.132
[7] Lihat, Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan denga pendekatan Ilmu Sejarah, hal.132

0 komentar:

Posting Komentar