Tugas Ulumul Qur’an
semester 3
Nama : Joko Supriyanto
SEBAB
SEBAB TURUNNYA AL-QUR’AN
Memahami
asbaabun nuzuul adalah merupakan suatu keharusan untuk memahami isi
kandungan ayat dan terhindar dari kesalahan dan asbaabun
nuzuul sendirti sangat membantu untuk memahami arti dari ayat yang
dimaksud.
Namun
demikian, tidak semua ayat yang diturunkan itu mempunyai asbaabun nuzuul,
terutama ayat yang diturunkan untuk tujuan umum atau sebagai permulaan, tanpa
sebab seperti yang berkaitan dengan aqidah dan iman. Jadi al-Qur’an ditrurunkan
dalam dua kategori yaitu turun tanpa ada sebab dan yang turun karena ada suatu
peristiwa atau pertanyaan yang memerlukan penjelasan.
v Pengertian
Asbab an-Nuzul
Asbaabun nuzuul (Ar. : al-asbab
jama’ dari sabab = sebab ; an-nuzul = turun) Kata sabab (jamak dari
asbab) berarti penalaran, alasan, sebab; dan ma’rifat asbaabun
nuzuul berarti pengetaahuan tentang sebab-seabab diturunkannya
suatu wahyu. Yaitu pengetahuan tentang peristiwa dan lingkungan
tertentu di dalam sejarah yang berkaitan dengan ayat-ayat tertentu di dalam
al-Qur’an.[1]
Asbaabun nuzuul adalah sesuatu yang
melatar belakangi turunnya satu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu
peristiwa atau menceritakan suatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang
terdapat dalam peristiwa tersebut.[2]
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan,
asbaabun nuzuul adalah “ sesuatu hal yang disebabkan Qur’an diturunkan
untuk menerangkan status (hukum)-nya, pada masa itu terjadi, baik berupa
peristiwa maupun pertanyaan”.[3]
Muhammad Abdul Azim az-Zarqani, ahli
ilmu tafsir, mendefinisikan asbaabab an-nuzuul sebagai
suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang setelah itu turun ayat
membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa
tersebut. Peristiwa yang terjadi tersebut bukan secara otomatis menjadi
penyebab turunnya ayat yang membicarakan kasus itu. Oleh sebab itu, para ahli
tafsir mengatakan bahwa hubungan peristiwa yang terjadi dengan turunnya ayat
yang membicarakan peristiwa tersebut bukan dalam hubungan kausalitas (sebab
akibat), tetapi memang Allah SAW ingin menurunkan ayat itu pada saat atau
sedang terjadinya peristiwa tersebut.[4]
Wahidi (Wafat 468/1075), salah seorang
sarjana klasik dalam bidang ini pernah menulis ; “ Pengetahuan tentang tafsir
dan ayat-ayat sangat tidak dimungkinkan, apabila tidak dilengkapi dengan adanya
pengetahuan tentang kisah-kisah dan penjelasan yang berkaitan dengan
diturunkannya suatu wahyu.[5]
v Cara-cara
mengetahui Asbab an-Nuzul
Para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an
(Ulumul Qur’an) menyatakan bahwa karena asbaabun nuzuul, itu adalah
peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah saw, maka untuk
mengetahui asbaabun nuzuul harus melalui periwayatan yang shahih
20 dari para shahabat yang mendengar atau yang menyaksikan langsung
peristiwa yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat tertentu atau melalui para
ahli yang telah melakukan penelitian dengan cermat, baik dari kalangan tabiin
maupun ulama-ulama lainnya yang dapat dipercaya.[6]
Cara mengetahui asbaab an-nuzuul melalui
periwayatan yang shahih tersebut terkadang dapat dilihat dari ungkapan perawi
yang mengatakan, « sebab nuzuul al-ayah kazaa » (sebab turunnya ayat demikian).
Adakalanya asbaab an-nuul tidak diungkapkan dengan kata sabab (sebab),
tetapi diungkapkan dengan kalimat « fa nazalat (lalu turun
ayat) Misalnya, perawi mengatakan « su’ila an-nabiy salaa Allaah ‘alasih
wa sallm ‘an kazaa, fa nazlat….(Nabi saw ditanya tentang suatu hal, lalu turun
ayat….) » .[7]
Oleh karena itu, seseorang tidak
dapat begitu saja menerima pendapat seorang penulis atau orang seperti itu
bahwa suatu ayat diturunkan dalam keadaan yang tertentu. Untuk itu, kita harus
mempunyai kepastian tentang siapa yang meriwayatkan peristiwa tersebut,
apakah waktu itu ia memang sungguh-sungguh meyaksikan, dan kemudian siapa yang
menyampaikannya kepada kita.
v Jenis-jenis
Penyebab asbaabun nuzuul
Ada tiga jenis penyebab yang
berkaitan erat dengan pewahyuan berepa ayat khusus dari al-Qua’an, yaitu:
1. Pewahyuan
seabagai bentuk tanggapan atas suatu peristiwa khusus
ataupun peristiwa umum.
2. Pewahyuan
sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diajukan seseorang.
3. Pewahyuan
atas dasar sebab yang lain, entah kita ketahui atau tidak.
v Fungsi
Penting Asbab an-Nuzul
Adapun fungsi penting Asbabun nuzul
ialah :
1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah Swt.
bukan buatan manusia.
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian
penuh pada Rasulullah Saw. dalam menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya
(khususnya Rasulullah
Muhammad Saw.)
dengan menghilangkan duka cita mereka.
4. Sarana memahami ayat secara tepat, tepat sesuai
peruntukannya, walau harus diketahui bahwa bukan berati ayat tersebut tidak
dijadikan dasar untuk perkara yang lain, yang punya persoalan yang sama.
5. Mengatasi keraguan pada ayat yang diduga mengandung
pengertian umum.
6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
sesuai dengan sebabnya.
7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat
ayat Al-Qur’an.
8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk
memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya.
9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung
dalam ayat Al-Qur’an.
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan
khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
11. Terakhir bahwa harus dipahami juga bahwa tidak semua ayat
dalam Al Qur’an ditemukan asbabun nuzulnya
ARTI
NUZUL AL-QUR’AN ‘ALÂ SA’ATI AHRUF
Orang
Arab mempunyai keberagaman lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan huruf-huruf
sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap
kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak
dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai
faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa arab lainnya,
antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jamaah haji,
memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh
suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi
bahasa-bahasa mereka karena adanya karakteristik tersebut. Dengan demikian,
wajarlah jika Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang
Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan
Al-Qur’an sekaligus kelemahan ketika mereka diminta untuk mendatangkan satu
surat yang seperti Al-Qur’an.
Apabila
orang Arab berbeda dialek dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa
perbedaan tertentu, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya,
menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam
qira’ah di antara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang
memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Teks-teks
hadist secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh
huruf (sab’atu ahruf). Di antaranya :
Ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata; Rasulullah bersabda,
"أَقْرَأَنِيْ جِبْرِيْلُ عَلىَ حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فًلًمْ
أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِيْ حَتَّى اِنْتَهَى إِلىَ سَبْعَةِ
أَحْرُفٍ".
“Jibril
membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku
meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan
tujuh huruf.”
Ubay
bin Ka’ab berkata, “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghifar, ia didatangi
Jibril seraya berkata, “Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan satu huruf.” Beliau berkata, “Aku memohon kepada Allah
ampunannya-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.” Kemudian
Jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata, “Allah memerintahkanmu
agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.” Nabi menjawab, “Aku
memohon ampunan-Nya, umatku tidak kuat melaksana-kannya.” Jibril lalu datang
lagi untuk yang ketiga kalinya dan berkata, “Allah memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.” Nabi tetap menjawab,
“Aku memohon ampunan kepada Allah, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya.”
Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata, “Allah
memerintahkan kepadamu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh
huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.”
Dari
Umar bin Al-Khattab, ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat
Al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia
membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku,
sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan.
Maka, aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan
aku katakan kepadanya, “Siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?”
Ia menjawab, “Rasulullah yang membacakannya kepadaku.” Lalu aku katakan
kepadanya, “Kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku
surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap
Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini
membaca surat Al-Furqan dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau
bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqan
kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “Lepaskan dia, hai Umar. Bacalah surat tadi,
wahai Hisyam!” Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti yang
kudengar tadi. Maka kata Rasulullah, “Begitulah surat itu diturunkan.” Ia
berkata lagi: “Bacalah, wahai Umar!” Lalu aku membacanya dengan bacaan
sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah, “Begitulah
surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf,
maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.”
Hadist-hadist
yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah
diselidiki oleh Ibnu Jarir di dalam pengantar tafsirnya. As-Suyuthi menyebutkan
bahwa hadist-hadist tersebut diriwayatkan dari dua puluh satu orang sahabat.
Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam menetapkan kemutawatiran hadist mengenai turunnya
Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”
Ø
Perbedaan
Pendapat Atas Makna Sab’ati Ahruf
Para ulama berbeda
pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang
bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat
tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun
kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan
mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati
kebenaran.
1.
Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian
jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an
pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut
tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an
hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda
pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh
bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan
Yaman.
Menurut Abu Hatim
As-Sijistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad,
Rabiah, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang
lain.
2.
Yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab
yang ada, yang mana dengannyalah Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa
kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam
bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun
sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa
Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara
keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda
dengan pendapat sebelumnya; karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam
pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat Al-Qur’an,
bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Ø Hikmah Turunnya al-Qur’an ‘Ala
Sab’ati Ahruf
Hikmah diturunkannya
Al-Qur’an dengan tujuh huruf (ahruf sab’ah) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Untuk
memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya
mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syariat, apalagi
mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadist antara lain dalam
ungkapan berikut:
Ubay berkata,
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertemu dengan Jibril di Ahjar Mira’,
lalu berkata, “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Di antara mereka ada
anak-anak, pembantu, kakek-kakek dan nenek-nenek.” Maka kata Jibril, “Hendaklah
mereka membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf.”
Dalam riwayat lain,
“Allah memerintahkan aku untuk membacakan Al-Qur’an bagi umatmu dengan satu
huruf.” Lalu aku memohon keringanan, “Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi
umatku.” Kata Jibril, “Allah memerintahkan engkau untuk membacakan Al-Qur’an
kepada umatmu dengan satu huruf.” Nabi menjawab, “Aku memohon kepada Allah maaf
dan ampunan-Nya. Umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.
Referensi:
Mabahis Fi Ulumul Qur’an Karya Syekh Manna’ Al-Qaththan.
CARA MEMBACA
AL-QUR’AN MENURUT QIRA’AT PARA QURRA’
v Pengertian Ilmu Qiraat
Qiraat adalah bentuk jamak dari kata jamak dari kata qiraah yang secara
bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al- Zarqani mengemukakan definisi qiraah
sebagai berikut:
“ Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan dalam ucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaanya.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat al-quran. Cara membaca al-quran berbeda dari satu imam dengan imam qiraat lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam satu mazhab qiraat didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qiraat-qiraat bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaaan.
“ Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan dalam ucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaanya.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat al-quran. Cara membaca al-quran berbeda dari satu imam dengan imam qiraat lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam satu mazhab qiraat didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qiraat-qiraat bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaaan.
Disamping itu, Ibn al-jazari membuat definisi berikut : “Qiraat adalah
pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan
perbedaannya dengan membangsakan kepada penukilnya”.
Menurut beliau, Al-Muqri’ adalah seorang yang mengetahui qiraah-qiraah
dan meriwayatkan kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab
Al-Taisir (kitab qiaraah) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’) isinya
selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak meenyampaikan
kepadanya secara lisan pula dengan periwatan yang bersambung-sambung
(musalsal). Sebab, dalam masalah qiaraah banyak hal ysng tidak dapat ditetapkan
kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan. Al-Qari’ al-mubtadi’
(qari’ pemula) adalah orang yang mulai melakukan personifikasi qiraah hingga ia
dapat mempersonifikasikan tiga qiraah. Al-muntabi (qari tinggkat akhir) ialah
orang yang mentransfer kebanyakan qiraah atau qiraa-qiraah yang paling masyur.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa Al-Qur’an yang dicetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah qiaraah. Suatu kenyataan bahwa banyak mushaf yang dicetak dibelahan dunia islam sebelah timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika Utara misalnya karena qiraah yang umum diikuti dikedua wilayah ini berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman itu tidak bertitik dan tidak berbaris.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa Al-Qur’an yang dicetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masalah qiaraah. Suatu kenyataan bahwa banyak mushaf yang dicetak dibelahan dunia islam sebelah timur berbeda dengan yang dicetak di Afrika Utara misalnya karena qiraah yang umum diikuti dikedua wilayah ini berbeda. Bahkan mushaf-mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman itu tidak bertitik dan tidak berbaris.
Para sahabat tidak semuanya
mengetahui semua cara membaca Al-Quran. Sebagian mengambil satu cara bacanya dari
Rasul, sebagian mengambil dua, dan yang lainnya mengambil lebih, sesuai dengan
kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat berpencar keberbagai kota
dan daerah membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara
baca menjadi populer dikota atau daerah tempat mereka mengajarkannya.
Terjadilah perbedaan cara baca Al-Quran dari suatu kota kekota lain. Kemudian,
para tabi’ al tabi’in menerimanya dari tabi’in dan meneruskan pula kepada
generasi berikutnya. Dengan demikian tumbuhlah berbagai qiraahyang kesemuanya
berdasarkan riwayat. Hanya saja, sebagian menjadi populer dan yang lain tidak.
Riwayatnya juga sebagian mutawattir dan yang lainnya tidak.
v Macam-macam Tingkatan Qira’at dan Penggunaannya
Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang
mengajarkan Al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai qiiraah.
Perbedaan antara satu qiraah dan lainnyabertambah besar sehingga sebagian
riwayatnyasudah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Para ulama menulisa qiraah-qiraah
ini dan sebagiannya menjadi masyur sehingga lahirlah istilah “qiraat tujuh”,
“qiraat sepuluh”, dan qiraat empat belas”.
Untuk menyangkal penyelewengan qiraat yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraat yang benar dan qiraat yang aneh (syazzab).para ulama membuat tiga syarat ulama membuat tiga syarat bagi yang termasuk qiraat yang benar, yaitu diantaranya :
Untuk menyangkal penyelewengan qiraat yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qiraat yang benar dan qiraat yang aneh (syazzab).para ulama membuat tiga syarat ulama membuat tiga syarat bagi yang termasuk qiraat yang benar, yaitu diantaranya :
1. Qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu
jalan.
2. Qiraat itu sesuai salah satu mushaf-mushaf utsmani sekalipun
secara potensial.
3. Shahih sanadnya, baik diriwayatkn dari imam qiraat yang tujuh
dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qiraat yang berterima selain mereka.
Setiap qiraat yang memenuhi kriteria ini adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya, qiraat yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebgai qiraat yang lemah atau aneh atau batal, baik qiraat tersebut diriwayatkan dari dari imam qiraat yang tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka. Inilah pendapat yang benar menurut imam-imam yang yang meneliti dari kalangan salaf dan khalaf. Demikian ditegaskan oleh Al-Dani, makki, Al-Mahdi dan Abu Syamah. bahkan menurut Al-suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab salaf yang tidak diketahui seorang pun dari mereka menyalahinya.
Setiap qiraat yang memenuhi kriteria ini adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya, qiraat yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebgai qiraat yang lemah atau aneh atau batal, baik qiraat tersebut diriwayatkan dari dari imam qiraat yang tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka. Inilah pendapat yang benar menurut imam-imam yang yang meneliti dari kalangan salaf dan khalaf. Demikian ditegaskan oleh Al-Dani, makki, Al-Mahdi dan Abu Syamah. bahkan menurut Al-suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab salaf yang tidak diketahui seorang pun dari mereka menyalahinya.
v Tujuh Imam Qira’at
Ada tujuh orang imam Qira’at yang disepakati, tetapi di samping itu para
ulama’ memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang shahih
dan Mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qaq Al-Madani, Ya’qub
bin Ishaq Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam. Mereka itulah yang terkenal dengan
qira’at ‘asyrah (qira’at sepuluh) yang diakui. Qira’at di luar yang
sepuluh ini dianggap syadz (cacat), seperti qira’at Al-Yazidi, Al-Hasan,
Al-A’masyi, Ibnu Az-Zubair, dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan bererti
tidak ada satu pun dari qira’at sepuluh dan bahkan qira’at tujuh yang masyhur
itu terlepas dari syadz, sebab di dalam sepuluh qira’at tersebut masih
terdapat juga beberapa yang syadz sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan Qura’ yang tujuh itu dilakukan oleh para pada abad ketiga
Hijrah. Bila todak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat
dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad
kedua, Umat Islam di Bashrah memilih qira’at Ibnu Amr bin Ya’qub. Di Kufah,
orang-orang memilih qira’at Hamzah dan Ashim. Di Syam, mereka memilih qira’at
Ibnu Amr. Sementara di Makkah, mereka memilih qira’at Ibnu Katsir. Sedangkan di
Madinah, memilih qira’at Nafi’. Mereka itulah tujuh orang qari’. Tetapi pada
permulaan abad ketiga, Abu Bakar bin Mujahid (guru qira’at penduduk Irak dan
salah satu orang yang menguasai qira’at) menetapkan nama Al-Kasa’I ddann
membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’ tersebut.
SEJARAH JAM’UL QUR’AN
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya
selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar
dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung berbagai ilmu, hikmah
dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an dibagi dalam tiga fase yaitu:
A.
Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW ditempuh
dengan dua cara:
1.
al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya
setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka
dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast
(peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan
media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
2.
al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah
SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah.
Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya
dimana Rasulullah SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya
kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya
sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir
akan bercampur dengan Al-Qur’an.
Rasulullah telah mengangkat para
penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawwiyah,
‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, Ia memerintahkan mereka
menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga
penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan dalam hati. Disamping itu
sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka
sendiri tanpa diperintah oleh Nabi.
Rasulullah SAW bersabda “Janganlah
kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis
sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya ” (Hadis dikeluarkan
oleh Muslim dan Ahmad).
Biasanya sahabat menuliskan
Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit
binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu (
pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu
mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah
terjadi pada masa Rasulullah SAW adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan)
oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan sanadnya yang bersambung. Zaid bin
Tsabit berkata: “kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang”.
Adapun hal-hal yang lain yang bisa
menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah
Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh. Rasulullah
SAW bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an kewilayah musuh,
karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut
jatuh ke tangan mereka”.
Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal.
Sepanjang hidup Rasulullah SAW,
Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an
diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap. Ibnu Abbas berkata :
“Rasulullah apabila turun ayat, beliau segera memanggil penulis, lalu bersabda
: “Letakkanlah ayat ini dalam susunan yang disebutkan di dalamnya ini …dan
ini…!”.
Penertiban dan susunan ayat-ayat
Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw. Sendiri berdasar bimbingan Jibril a.s
yang menjadi pesuruh Allah. Dalam hal ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa
cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah tauqify, artinya susunan
surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita saksikan di berbagai
mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan
Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada
tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.
Meskipun semua urutan surah dan
ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah, namun Nabi
tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-ayat yang ada pada setiap surah
dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak terhitung, di samping juga tidak
perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran di dalam satu mushaf.
Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya dipertimbangkan mencakup “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran. Persoalan Al-Quran diturunkan dalam “tujuh huruf” akan dibahas pada bahagian tersendiri pula. Bilamana wahyu turun, para qurra segera menghafal dan ditulis oleh para penulis. Pada waktu itu belum dirasa perlu membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu, kalau-kalau ada ayat yang menasakh beberapa ketentuan hukum yang telah turun sebelumnya. Al-Zarkasyi menyebutkan juga bahwa Al-Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi, guna mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pada suatu waktu.
Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya dipertimbangkan mencakup “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran. Persoalan Al-Quran diturunkan dalam “tujuh huruf” akan dibahas pada bahagian tersendiri pula. Bilamana wahyu turun, para qurra segera menghafal dan ditulis oleh para penulis. Pada waktu itu belum dirasa perlu membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu, kalau-kalau ada ayat yang menasakh beberapa ketentuan hukum yang telah turun sebelumnya. Al-Zarkasyi menyebutkan juga bahwa Al-Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi, guna mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pada suatu waktu.
Penulisan Al-Quran secara tertib
dilakukan kemudian sesudah Al-Quran selesai turun semua, yaitu pada saat
wafatnya Rasulullah.
B.
Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya
`Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa
pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan
naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut
riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Sebab utamanya adalah terbunuhnya
sejumlah besar para Qurrâ` pada perang Yamamah, diantaranya Salim, Mawla Abu
Hudzaifah yang merupakan salah seorang dari kalangan mereka yang Nabi
perintahkan agar al-Qur’an diterima darinya.
Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-Qur’an agar tidak lenyap (dengan banyaknya yang meninggal dari kalangan Qurrâ`).
Lalu Abu Bakar memerintahkan pengkodifikasian al-Qur’an agar tidak lenyap (dengan banyaknya yang meninggal dari kalangan Qurrâ`).
Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu
untuk menerima gagasan dan saran dari Umar bin Khattab itu. Sebab ini merupakan
suatu pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Akan tetapi, atas
pandangan dan pertimbanganpertimbangan yang diberikan Umar sehingga terbukalah
hati kahlifah Abu Bakar menerima usulan yang baik itu. Lalu ia memutuskan bahwa
pekerjaan yang monumental itu diserahkannya kepada Zaid bin Tsabit untuk
melaksanakannya, mengingat kedudukannya sebagai pendamping setia Rasulullah,
juru tulis wahyu yang kenamaan, berakal cerdas dan senantiasa mengikuti pembacaan
Al-Quran dari Rasululllah.
Pada mulanya Zaid bin Tsabit merasa
ragu dan menolak melaksanakan tugas berat itu, khawatir kalau-kalau terjerumus
ke dalam perbuatan yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya,
sama halnya dengan Abu Bakar sebelum itu. Akan tetapi, karena terus-menerus
dihimbau, diberi dorongan dan semangat oleh para shahabat besar lainnya,
terbukalah pintu hatinya untuk menerima tugas yang suci itu. Akhirnya Zaid bin
Tsabit memulai tugas yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada
dalam hati para huffaz (penghafal Al-Quran) dan menelusuri catatan ayat-ayat
yang ada pada para penulis lainnya, di samping mengkompromikan antara hafalan
dan catatannya sendiri. Dengan sangat teliti dan penuh kehati-hatian, akhirnya
Zaid berhasil menghimpun catatan-catatan yang berserakan itu ke dalam satu
naskah yang kemudian disebut dengan “Mushaf Al-Quran”. Setelah selesai
mngerjakan pekerjaan berat itu, Zaid menyerahkan mushaf itu kepada khalifah Abu
Bakar, yang kemudian mushaf itu di pegang oleh khalifah sendiri hingga
wafatnya.
C.
Al-Quran pada jaman khalifah Usman bin ‘Affan
Pada masa pemerintahan khalifah
Utsman bin ‘Affan, penyebaran Islam bertambah luas sampai ke berbagai kota dan
daerah. Maka seiring dengan perkembangan umat Islam, gerakan pengajaran
Al-Quran pun semakin berkembang. Para qura’ (para ahli bacaan) pun tersebar di
berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari Al-Quran dari
qari yang dikirim kepada mereka. Misalnya penduduk negeri Syam mendapatakan
pengajaran bacaan Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab r.a, penduduk Kaufah dibimbing
oleh Abdullah bn Mas’ud r.a, dan sebagian penduduk yang lain belajar Al-Quran
kepada Abu Musa al-‘Asy’ary r.a. Mereka mengajarkan Al-Quran dengan bacaan yang
beaneka ragam sesuai dengan tuntutan dialek penduduk masing-masing daerah, dan
sejalan pula dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Al-Quran diturunkan.
Kondisi ini tentunya memiliki dampak
positif dan negatif. Dengan adanya perbedaan bunyi huruf dan bentuk bacaan
tersebut, maka sebahagian mereka ada yang merasa heran, dan sebahagian lagi
merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya
disandarkan kepada Rasulullah. Kondisi yang seperti ini semakin hari semakin
menajam, pada gilirannya menimbulkan pertikaian, mengakibatkan permusuhan dan
perbuatan dosa karena satu sama lainnya saling kufur- mengkufurkan karena soal
bacaan Al-Quran.
Di sisi lain, perbedaan itu juga
disebabkan karena pada masa itu penulisan AlQuran tanpa titik-titik (di atas
atau di bawah huruf) dan tanpa syakl (tanda bunyi, seperti fathah, kasrah,
dhammah, saknah dan lain-lain), dan juga karena cara orang membaca Al-Quran
tidak sama, tergantung cara pencatatan Al-Quran pada masing-masing orang.
Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing tetap
mempertahankan dan berpegang pada bacaannya. Melihat keanekaragaman bacaan
Al-Quran tersebut, akhirnya pada suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan
antara pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela dakwah agama Islam
di Armenia dan Adzerbeidzan, Huzaifah bin al-Yaman datang menghadap khalifah
Utsman mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan Al-Quran yang
semakin menajam dan hampir-hampir menimbulkan pertengkaran fisik di kalangan
kaum muslimin, seraya katanya : “Ya ! Amirul Mukminin….., persatukanlah segera
umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah sebagaimana yang terjadi
di kalangan Yahudi dan Nasrani”. Tampaknya bukan Huzaifah al-Yaman saja yang
memendam rasa kekhawatiran tersebut, bahkan banyak lagi shahabat Nabi yang
turut memprihatinkan kenyataan itu,
karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan, termasuk khalifah Utsman sendiri pun turut merasa cemas.
karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan, termasuk khalifah Utsman sendiri pun turut merasa cemas.
Akhirnya khalifah Utsman melakukan
tindakan preventif untuk mengatasi perbedaan bacaan yang sangat mengkhawatirkan
itu, sehingga umat Islam diharapkan
tetap pada bacaan yang satu huruf. Untuk mengatasi kondisi demikian, khalifah mengumpulkan para shahabat-shahabat terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah guna mengantisipasi perselisihan dan perpecahan sebagai akibat dari perbedaan bacaan tersebut, seraya berkata: “Anda semua dekat denganku malah berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
tetap pada bacaan yang satu huruf. Untuk mengatasi kondisi demikian, khalifah mengumpulkan para shahabat-shahabat terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah guna mengantisipasi perselisihan dan perpecahan sebagai akibat dari perbedaan bacaan tersebut, seraya berkata: “Anda semua dekat denganku malah berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Di dalam musyawarah tersebut, mereka
sependapat agar Amirul Mukminin menyalin dan mereproduksi mushaf kemudian
mengirimkannya ke berbagai kota dan wilayah Islam, dan selanjutnya
menginstruksikan agar orang-orang membakar mushaf-mushaf yang lainnya sehingga
tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal
bacaan Al-Quran. Untuk merealisasikan keputusan tersebut, maka khalifah Utsman
mengirim sepucuk surat kepada Hafsah, berisi permintaan agar Hafsah mengirimkan
mushaf (yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar) yang disimpannya untuk
disalin menjadi beberapa naskah. Selanjutnya khalifah Utsman menugaskan kepada
komisi berempat yang terdiri dari shahabat pilihan yang bacaan dan hafalannya
dapat dihandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubeir, Said bin
al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk bekerjasama menyempurnakan bacaan
Al-Quran yang tertulis dalam mushaf Abu Bakar serta menyalinnya menjadi
beberapa naskah. Mereka itu semuanya berasal dari suku Quraisy Muhajjirin
kecuali Zaid bin Tsabit. Ia berasal dari kaum Anshar Madinah.
Pelaksanaan gagasan yang mulia ini
dilakukan pada tahun ke-25 hijrah. Namun sebelum komisi bekerja, khalifah
Utsman terlebih dahulu memberikan pengarahan antara lain katanya : “Bila anda
sekalian (bertiga, kaum Quraisy) ada perselisihan pendapat tentang bacaan
dengan Zaid bin Tsbait, maka tulislah berdasarkan bacaan (dialek) Quraisy,
karena Al-Quran (pada pokoknya) diturunkan dengan bahasa Quraisy”.
Setelah pekerjaan berat team ini
selesai, lalu khalifah Utsman menyerahkan kembali mushaf yang asli itu kepada
Hafsah. Dan selanjutnya beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan
Islam. Di samping memerintahkan supaya catatan tentang ayat-ayat Al-Quran atau
mushaf-mushaf lainnya yang bertebaran dikalangan kaum muslimin, segera dibakar.
Sebab, jika semua mushaf dengan bermacam-macam cara penulisannya itu
dipertahankan, maka sudah barang tentu akan menambah tajamnya pertengkaran dan
permusuhan. Apalagi kehidupan kaum muslimin ketika itu sudah agak jauh dari
kehidupan semasa Rasulullah masih hidup.
Adapun mengenai jumlah salinan
naskah yang dikirim ke berbagai daerah Islam itu terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Abu ‘Amr ad-Dani mengatakan bahwa khalifah Utsman
mereproduksi mushaf Hafsah menjadi empat naskah. Satu naskah dikirm ke Kaufah,
Basyrah dan Syam, satu naskah lagi disimpan Utsman sendiri. Sementara ada pula
sebahagian ulama mengatakan bahwa naskah salinan berjumlah tujuh buah. Selain
dikirim ke tiga daerah disebut diatas, tiga naskah lainnya dikirim ke Mekkah,
Yaman dan Bahrein. Lain halnya as-Suyuti, ia berpendapat bahwa menurut riwayat
yang masyhur naskah itu berjumlah sebanyak lima naskah.
Terlepas dari perbedaan pendapat
mengenai jumlah mushaf yang disalin, yang jelas dan pasti adalah setiap naskah
itu mencakup seluruh Al-Quran. Ia memuat 114 surat yang ditulis tanpa titik dan
syakl, tanpa nama surat dan tanpa pemisah persis sama dengan penulisan mushaf
pada masa khalifah Abu Bakar r.a. Di samping itu, ia juga bersih dari tambahan
catatan tafsir, atau rincian catatan umum, atau tulisan lain yang berfungsi
untuk melestarikan makna yang dimaksud. Dan juga mushaf Utsman tersebut, tidak
terpengaruh oleh catatan yang dibuat orang-seorang, dan susuan surat serta
ayat-ayatnya sama seperti mushaf-mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini.
Referensi:
Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, teremahan dari kitab Mabahits Fî Ulûm al-Qur’an
Karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan.
RASMUL QUR’AN
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah
tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan.
Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan
Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan
Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus
bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits.
Pada
masa khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai kepenjuru
dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. Pada saat
itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak
mempunyai dialek yang berbeda. Sangat di sayangkan masing-masing pihak merasa
bahwa bacaan yang di gunakannya adalah yang terbaik.
Untuk mengantisipasi
kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi
orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari 12
orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an.
Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama
meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
- Al–Hadzf (membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَا آَ يها النا س ).
- Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
- Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
- Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
- Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
- Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
v Perkembangan
Rasmul Qur’an
Pada mulanya
mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu
Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk
kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi
sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari
penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan
tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti
diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda
baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi
tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf
ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan
mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti
Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non
Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika
Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan
(661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali membuatkan tanda-tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal Al Qur’an. Al-Du’ali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan
suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu :
ان الله برئ من المشركين
ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari
orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
v Pendapat Ulama’ Tentang Rasmul Qur’an
Para ulama
telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi, yang mana mereka merujuk pada sebuah
riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah
seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena),
rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf
“miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan
tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga
kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu
Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang
sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas
dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang
menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita
kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan
rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan
Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an
bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh
ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang
menulis alqur’an. Tidak
yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi
menggunakan rasmul ustmani.
Dengan
demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani
diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan
walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan.
Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis
Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan
kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm
tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak
mempengaruhi makna Al Qur’an.
Referensi:
Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, teremahan dari kitab Mabahits Fî Ulûm al-Qur’an
Karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan.
CARA MENTERJEMAH
AL-QUR’AN DENGAN BAIK
Jika dilihat
secara fisik, Al-Qur’an terlihat gemuk dan padat. Jika dibaca, Al-Qur’an
terkesan elitis artinya sukar untuk dipahami isinya. Namun jika diteliti lebih
jauh, apa yang dikesankan selama ini bahwa Al-Qur’an sulit dipahami ternyata
tidak demikian. Al-Qur’an sendiri mengatakan :
وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِر
Ayat ini
terulang pada surah al-Qomar sebanyak 4 (empat) kali. Pengulangan ini jelas
mempunyai arti bahwa Al-Qur’an memang benar benar dimudahkan Allah bagi
manusia. Kemudahan ini bisa dari segi menghafalkannya atau memahami artinya.
Jika diteliti lebih lanjut, Al-Qur’an seperti kata Imam Sayuti
dalam kita “al-Itqan” mempunyai 77.934.kalimat atau 77.434. atau 77.477
kalimat. sebagian kalangan menyebutnya angka 78.485. Bilangan ini kelihatannya “menakutkan”.
Namun jika diteliti lebih jauh lagi, akan ditemukan banyak kalimat yang
terulang dalam Al-Qur’an. Pengulangan ini karena satu kalimat bisa dirobah
dalam bentuk lain melalui teori “Isytiqaq”. Sebut saja lafazh : ( كان ) mempunyai derivasi yang beragam seperti
: ( سيكون ) ( كن ) ( يكون ) ( تكن ) ( أك ) ( أكن ) (
سوف تكون ) Kalimat kalimat Al-Qur’an yang demikian banyaknya, jika
diperas lebih lanjut, dan dilihat, maka kalimat yang tidak terulang menjadi
sekitar sepersepuluh dari jumlah yang ada diatas. Jika seorang mampu memahami
semua kalimat yang ada dalam surah Al-Baqarah, maka dia sebenarnya telah
mengetahui 80 % dari kalimat kalimat Al-Qur’an. Oleh karena itu bisa kita
pahami sekarang, kenapa Allah menempatkan surah Al-Baqarah di permulaan
Al-Qur’an. yaitu agar jika pembaca telah memahami kandungan surah Al-Baqarah,
maka dia dengan memahami mamahami surah surah berikutnya, karena banyak kalimat
dalam surah Al-Baqarah yang terulang.
Sebuah
penelitian mengatakan bahwa dari 78.485 kalimat Al-Qur’an terdapat 19.390
kalimat yang gharibah atau agak sukar dipahami artinya. Kemudian jika seorang
mampu memahami 1015 kalimat, maka dia akan mampu mengartikan 46.452 kalimat
sampai 78.485 kalimat.
Penelitian
lain menyebutkan bahwa di dalam Al-Qur’an ada sekitar 300 kalimat yang terulang
sebanyak kurang lebih 60.000 kali. Kalimat tersebut mereperentasikan sekitar 75
% kosa kata dalam Al-Qur’an. ada sekitar 100 kosa kata dalam Al-Qur’an yang
terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 40.000 kali. 100 kosa kata tersebut mewakili
sekitar 50 % dari seluruh kosa kata yang ada dalam Al-Qur’an. Dalam surah
al-Baqarah banyak kosa kata yang mewakili sekitar 80 % kosa kata dalam
Al-Qur’an. sementara 20 % terdapat pada surah surah lainnya.
Kunci cepat untuk menerjemahkan Al-Qur’an adalah dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
Kunci cepat untuk menerjemahkan Al-Qur’an adalah dengan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama
: mengetahui huruf-huruf tambahan pada awal dan akhir kalimat seperti huruf
wawu atau Ya’ dan Nun pada jamak mudzakkar salim, atau alif dan Ta’ pada jamak
mu’annats salim. Untuk mengetahui hal tersebut, seorang dituntut untuk
mengetahui bentuk “tsulatsi mujarrad” pada setiap kalimat. sebagai contoh :
kata : ( لأحتنكن ) huruf tambahanyya
adalah : lam, Ta’, Nun tasydid. Dengan demikian akar kata dari kalimat tersebut
adalah : (Ha’-Nun-Kaf). Yang perlu diketahui adalah apa arti huruf huruf
tambahan tersebut, dan apa arti akar kata dari kalimat tersebut.
Kedua
: mengetahui makna kata sambung, apakah huruf ‘athaf, huruf jar, ‘amil
nawashib, jawazim, macam macam bentuk dlamir, dan lain sebagainya. Untuk
mengetahui makna dari huruf atau kalimat penghubung, bisa dilihat pada kitab
kitab nahwu. Kata sambung tersebut diatas harus dihafalkan dan harus diketahui
artinya masing-masing.
Ketiga
: memperhatikan bentuk kalimat apakah fi’il madli, mudlari’, amr, kata jadian
(masdar), isim zaman, isim makan, isim alat, isim maf’ul, isim fa’il atau
lainnya seraya memerhatikan makna masing masing. Untuk mengetahui hal ini juga
bisa dirujuk pada kitab kitab nahwu dan sharaf.
Keempat
: mengetahui arti akar kata pada setiap kalimat. untuk mengetahui hal ini bisa
kembali kepada buku buku kamus arab – Indonesia dan lainnya. Kamus seperti
“al-Munawwir”, Mahmud Yunus dan lain sebagainya bisa membantu menemukan arti
akar kata. Sedangkan akar kata yang perlu dilihat adalah akar kata yang ada
pada surah al-Baqarah. Sebagai contoh : kata yang terdiri dari huruf :
Kaf-Fa’-Ro’ mempunyai arti ketertutupan. Orang kafir dinamakan demikian karena
mereka menutupi diri dari kebenaran. Petani dinamakan “kafir” karena mereka
menutupi biji bijian dengan tanah. Begitu juga dengan kata yang terdiri dari
(Jim-Nun-Nun). Jin dikatan demikian karena mereka tertutup dan terhalang dari
penglihatan manusia. Sorga dikatakan “jannah” karena orang yang ada didalamnya
terhalang dan tertutup oleh rindangnya pepohonan. Hati dikatakan “Janan” karena
tertutup oleh rongga dada. Tameng dikatakan “Mijann” karena bisa menutupi
seseorang dari serangan musuh. Orang gila dikatakan “majnun” karena akalnya
tertutup. Dengan demikian maka arti “tertutup” inilah yang perlu diketahui
terlebih dahulu. Selanjutnya kata kata yang berakar dari akar kata “Jim-Nun-Nun
tidak akan jauh dari pengertian tersebut.
Pembaca bisa
memulai dengan melihat arti setiap kalimat yang ada pada surah al-Baqarah satu
persatu. Kalimat baru yang perlu diketahui dan dihapalkan diberi coret bawah.
Kemudian jika kalimat yang sudah diketahui artinya terulang kembali, tidak
perlu digaris bawah. Dan begitu seterusnya.
Jika ketiga
langkah ini sudah dilakukan, diharapkan seorang mampu menerjemahkan Al-Qur’an
dengan cepat. Untuk mengetahui ketepatan dan kebenaran terjemah yang dilakukan
adalah dengan mencocokkan hasil terjemahannya dengan terjemahan yang sudah ada.
Langkah menerjemahkan Al-Qur’an adalah awal langkah sebelum menafsirkan
Al-Qur’an. Wallahu a’lam bi al-shawab.
[1]
Lihat, Denffer, Ahmad Von, Ilmu Al-Qur’an , Pengendalam Dasar, Diterjemahkan
dari buku aslinya berjudul, Ulum Al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of
the Qur’an, oleh Nasir Budiman, Ed. 1, Cet.1 Jakarta: Rajawali. 1988, h. 102.
[2]
Lihat, Daud Al-Athhar, Perespektip Baru Ilmu Al-Qur’an, Quraish Shihab, Pustaka
Hidayat, Bandung: 1994, h. 127.
[3]
Lihat, Manna Khalil Al-Qathan, Mabaahits Fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Masyurat Al-Ashr
Al-Hadist, (tth), h. 78.
[4]
Lihat, Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid,1, Cet. IV, Ichtiar
Baru Van Hoever, Jakarta: 2000, h. 133.
[5]
Lihat, An-Nisaburi Wahidi, Asbab al-nuzul, Halabi, Kairo: 1387/1968, hal.4.
[6]
Lihat, Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjauan denga pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.I, Bulan Bintang Jakarta
:1988,hal.132
[7]
Lihat, Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjauan denga pendekatan Ilmu Sejarah, hal.132
0 komentar:
Posting Komentar