SEJARAH PERKEMBANGAN ISRĀĪLIYYĀT
PADA MASA NABI
Makalah
Ditujukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Tafsir
Dosen
Pengampu :
Abdullah
Mubarak, Lc.,
M. Th.I .
Oleh:
Joko
Supriyanto
NIM
: 2013.01.01.141
PROGRAM
STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG
REMBANG
2015
SEJARAH PERKEMBANGAN ISRĀĪLIYYĀT
PADA MASA NABI
Oleh
: Joko Supriyanto
I.
Pendahuluan
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa al-Qur’an adalah
sumber utama dalam ajaran Islam. Dapat dikatakan bahwa al-Qur’an adalah aturan-aturan
dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang diturunkan untuk kemaslahatan seluruh
manusia dan telah dijamin akan terjaga dari bentuk pemalsuan dan perubahan. Sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an ;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[1]
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan kami pula yang akan
menjaganya.
Perhatian
dan kecintaan kaum muslimin terhadap al-Qur’an sangatlah besar. Banyak dari
kaum muslimin yang tidak hanya sering membaca al-Qur’an, melainkan juga banyak
yang menghafalnya. Selain itu juga dipelajari mulai dari bagaimana cara membaca
makhraj dan hurufnya, cara penulisannya, cara menafsirkannya, bahkan
sampai kepada hal yang paling kecil, seperti menghitung jumlah surat, ayat,
kata, bahkan huruf-huruf yang ada di dalam al-Qur’an. Bahkan kaum muslimin juga
sudah mulai merambah untuk menggali kemukjizatan al-Qur’an yang kemudian
dihubungkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di
antara usaha lain yang dilakukan kaum muslimin untuk mempelajari al-Qur’an
adalah melalui pemahaman dan penafsiran. Para ulama’ juga banyak mencurahkan
perhatiannya dalam tafsir al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan
tentang apa yang dikehendaki Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dalam suatu ayat
tersebut, sehingga nantinya al-Qur’an bisa dipahami dengan baik dan
diamalkan dengan benar.
Untuk
memahami al-Qur’an, para Ulama’ mengadakan upaya penafsiran dan pena’wilan. Penafsiran
yang paling kuat kualitasnya adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
kemudian penafsiran dengan hadis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam, penafsiran
dari qaul sahabat, dan terkadang juga mengunakan riwayat dari Isrāīliyyāt.
Namun peggunaan israiliyat ini masih menjadi perdebatan Ulama’ untuk dijadikan
penafsiran.
Untuk
memahami permasalahan Isrāīliyyāt ini, langkah pertama yang seharusnya
kita ketahui adalah mengetahui sejarah dan awal perkembangannya. Sehingga
dengan demikian kita akan lebih mudah dalam mempelajarinya di pembahasan
selanjutnya yang masih berkaitan dengannya. Untuk itu dalam makalah ini sebagai
pengenalannya akan dijelaskan mengenai pengertian Isrāīliyyāt,
pembagiannya berikut hukum periwayatannya, sejarah perkembangannya di masa nabi
serta tokoh-tokohnya.
II. Pengertian Isrāīliyyāt
Isrāīliyyāt
merupakan sebuah istilah yang populer di kalangan pengkaji ilmu tafsir dan
hadis belakangan. Ulama’ terdahulu belum mengenal dan memakai istilah Isrāīliyyāt,
meskipun kajian terhadap Isrāīliyyāt sudah ada pada saat itu.[2]
Kehadirannya yang memunculkan berbagai reaksi dari para pemerhati ilmu tafsir
dan hadis, memberikan poin tersendiri bagi kajian Isrāīliyyāt di ranah
keilmuan Islam kontemporer.
Isrāīliyyāt
adalah bentuk jama’ dari kata Isrāīliyyāh, suatu nama yang dinisbatkan
kepada Bani Israil. Kata Isrā memiliki arti hamba dan Īlliyah merupakan
penisbatan ketuhanan. Jadi dengan kata lain, Isrāīliyyāh memiliki arti sebagai hamba
Tuhan. Israil juga merupakan nama lain dari Nabi Ya’qub yang hidup pada
abad ke 19 sebelum masehi.
Tercatat da dua belas nabi yang merupakan keturunan dari nabi Ya’qub.[3]
Dari sini bisa diartikan bahwa bani Israil adalah adalah anak-anak atau
keturunan dari Nabi Ya’qub bin Ishāq bin Ibrahim. Bani Israil juga biasa
disebut dengan nama Yahudi. Meurut salah satu versi, Bani Israil adalah
orang-orang Yahudi yang menjadi umat nabi Musa. Kemudian ketika nabi Isa Alayhi
al-Salām diutus, Bani Israil yang menjadi umat nabi Isa Alayhi al-Salām disebut
sebagai orang Nasrani, dan pada zaman nab Muhammad Ṣallallah Alayhi wa
Sallam, mereka yang beriman disebut muslim sedangkan yang tidak beriman
disebut sebagai Ahlu al-Kitāb.[4]
Ada
beberapa pengertian dari istilah Isrāīliyyāt yang dikemukakan para pakar
al-Qur’an dan tafsir, di antaranya :
2. Kisah-kisah yang dikutib dari sumber
agama Yahudi, Nasrani dan agama-agama lainnya.[6]
3. Cerita-cerita yang dinukil dari Ahlu
al-Kitāb selain yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam.[7]
III. Pembagian Isrāīliyyāt dan Hukum
Periwayatannya
Muhammad
Husain az-Dhahabi membagi Isrāīliyyat menjadi tiga kategori:[8]
1. Ditinjau dari segi kualitasnya, Isrāīliyyat
terbagi menjadi dua bagian.
a. Isrāīliyyat
yang berkualitas bagus (ṣahih). Yang dimaksud di sini adalah riwayat
yang sanadnya dapat di lacak dan tidak terputus. Seperti riwayat yang
menjelaskan tentang sifat Rasulullah yang terdapat dalam kitab Taurat.
Riwayat
yang dikemukakan oleh Ibnu Kathir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir “ Mustani
menceritakan kepada kami dari Usman bin Umar dari Fulaih dan Hilal bin Ali dari
Ata’ bin Yasir, ia berkata: aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr seraya
berkata kepadanya: ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasul yang di terangkan
dalam kitab Taurat! Ia berkata: baik, demi Allah, sesungguhnya sifat rasul di
dalam Taurat sama seperti yang di terangkan di dalam al-Qur’an: “Wahai nabi,
sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi
peringatan,” dan pemelihara orang-orang yang Umi. Engkau adalah hamba-Ku dan
rasul-Ku, namamu dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak
akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan
ucapan: Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah.
Dengannya pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang
tuli, dan membuka mata yang buta.
b. Isrāīliyyat yang
berkualitas lemah (ḍaif). Yang dimaksud disini adalah riwayat yang
sanadnya tidak lengkap ataupun tidak jelas. Seperti kisah yang menjelaskan
tentang gunung Qaf.
Kisah
yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdurrahman dari Abu Hatim ar-Razi yang
dinukil oleh Ibnu Kastir dalam tafsirnya tentang ayat pada surat Qaf, ia
berkata sesungguhnya cerita tersebut tidak ṣahih, dan ia menganggapnya
sebagai cerita khayal Bani Israil.
2. Ditinjau dari segi kesamaan ide dalam
Islam, Isrāīliyyat terbagi menjadi tiga bagian.
a. Kisah-kisah yang sesuai dengan ajaran
Islam.
b.
Kisah-kisah
yang bertolak belakang dengan ajaran Islam.
c.
Ketiga,
kisah-kisah yang tidak terdapat di dalam ajaran Islam.
3. Ditinjau dari segi substansi materinya, Isrāīliyyat
terbagi menjadi tiga bagian.
a.
Yang
berhubungan dengan masalah akidah.
b.
Yang
berhubungan dengan masalah hukum.
c. Yang berhubungan dengan nasihat tanpa
ada keterkaitannya dengan masalah akidah dan hukum.
Setelah
mengetahui berbagai macam pembagian Isrāīliyyat yang ditinjau dari
berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda, maka bisa disimpulkan bahwa
hukum cerita-cerita Isrāīliyyat apabila sesuai dengan ajaran agama Islam
tentunya dapat dibenarkan dan meriwayatkannya tidaklah dilarang. Akan tetapi
yang bertentangan maka serta-merta harus ditolak dan tidak boleh
meriwayatkannya. Sedangkan cerita yang tidak ada dalam ajaran Islam akan tetapi
ide ceritanya tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sikap yang relatif
aman adalah bersikap netral, tidak terlalu meyakininya juga tidak menyalahkannya.
Sedangkan untuk meriwayatkannya tidak menjadi masalah karena menceritakannya
tidak lebih hanya sekedar mengemukakan hikayat atau dongeng belaka.
IV. Sejarah Perkembangan Isrāīliyyāt
Pada Masa Nabi
Sebelum
Islam datang, kaum yang dikenal memiki peradaban tertinggi dibandingkan Bangsa
Arab adalah kaum Yahudi. Mereka yang banyak memiliki cerita-cerita keagamaan
dari kitab suci mereka sendiri. Hanya saja saat itu, hidup mereka bnyak yang
tertindas kemudin lari dan pindah ke jazirah Arab. Maka dari itu terjadi
perkembangan besar-besaran kisah-kisah Isrāīliyyāt. Disadari atau tidak,
hal tersebut merupakan logis proses akulturasi budaya ilmu pengetahuan antara
bangsa Arab dengan kaum Yahudi dan Nasrani.[9]
Pengetahuan
orang Arab tentang Isrāīliyyāt telah lama masuk ke dalam benak
keseharian mereka, sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan
Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah Islam itu.
Selain
itu, bangsa Arab juga sering berpindah-pindah, baik kearah timur maupun barat.
Mereka memiliki dua tujuan dalam bepergian. Ketika
musim panas tiba, mereka
pergi ke Syam dan ketika musim
dingin tiba, mereka pergi ke Yaman.
Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali Ahlu al-Kitāb yang
sebagian besar adalah bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah mengherankan bila
antara orang Arab dengan Yahudi terjalin hubungan. Kontak ini memungkinkan
terserapnya kebudayaan Yahudi kepada bangsa Arab.
Di
saat yang demikian, Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai tinggi dan
mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam mulai disebarkan
keberbagai tempat yang bisa dijangkau nabi dan sahabatnya, dan sebagian besar
tentunya disebarkan di Madinah yang merupakan tempat tujuan Nabi berhijrah. Di
Madinah tersebut, nabi juga tinggal bersama beberapa bangsa Yahudi, di
antaranya yaitu Bani Quraidah, Bani Nadzir, Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak.
Karena
orang Yahudi bertetangga dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan
yang intensif antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu
pengetahuan. Rasulullah menemui orang Yahudi dan Ahlu al-Kitāb lainnya
untuk mendakwahkan Islam. Orang Yahudi sendiri sering datang kepada Rasulullah Ṣallallah
Alayhi wa Sallam untuk menyelesaikan
suatu problem yang ada pada mereka, atau sekedar untuk mengajukan suatu
pertanyaan.
Pada
era Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, informasi dari kaumYahudi yang
sekarang dikenal sebagai Isrāīliyyāt itu tidak berkembang dalam
penafsiran al-Qur'an, sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin)
berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an. Seumpama
apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai pengertian yang berkaitan
dengan sebuah ayat al-Qur'an, baik makna atau kandungannya, merekapun langsung
bertanya kepada Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam dan sahabat
langsung bisa mendapatkan jawabannya.[10]
Kendatipun
demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam green light pada umat
Islam untuk menerima maupun menyebarkan informasi yang berasal dari Bani
Israil, dan hal ini tampak dalam hadis beliau:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بني إسرائيل وَلَا حَرَجَ
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[11]
Sampaikanlah
yang datang dariku walaupun satu ayat, dan ceritakan (apa yang kamu dengar)
dari Bani Israil dan hal itu tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta
atas namaku, maka siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka.
Demikian pula dalam
hadits lain beliau bersabda:
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ[12]
Janganlah kamu benarkan
orang-orang ahli Kitab dan jangan pula kamu dustakan mereka.
Dari
hadits-hadits di atas, Rasulullah sebenarnya memberikan peluang atau kebebasan
pada umatnya untuk mengambil atau menerima riwayat-riwayat dari Ahlu al-Kitāb.
Dua hadis di atas juga memberikan semacam peringatan akan perlunya sikap
selektif dan hati-hati terhadap riwayat Ahlu al-Kitāb.
Uraian
yang telah disebutkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Isrāīliyyāt
sebenarnya sudah lama muncul dan berkembang di kalangan bangsa Arab jauh
sebelum masanya Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, yang kemudian
terus bertahan pada era Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Hanya
saja ia belum menjadi khazanah yang diserap dalam penafsiran al-Qur'an.
Setelah
Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam wafat, tidak seorangpun yang
berhak menjadi penjelas wahyu Allah. Dalam kondisi ini para sahabat mencari
sumber dari hadis Rasul. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad.
Riwayat dan ahli Kitab menjadi salah satu rujukan. Hal ini terjadi karena ada
persamaan antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Hanya saja al-Qur'an berbicara
secara padat, sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.
Pada
era sahabat inilah Isrāīliyyāt mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya
saja dalam menerima riwayat dari kaum Yahudi dan Nasrani, pada umumnya para
sahabat sangat selektif. Mereka hanya membatasi kisah-kisah dalam al-Qur'an
secara global yang Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka kisah-kisah
tersebut. Disampng itu mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan
konsesten pada ajaran yang diterima dari Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa
Sallam, sehingga jika mereka menjumpai kisah-kisah Isrāīliyyāt yang
bertentangan dengan syari'at Islam, mereka menentangnya. Dan apabila
kisah-kisah itu diperselisihan mereka menangguhkannya.
V. Tokoh-Tokoh Isrāīliyyāt
Adapun tokoh-tokoh Isrāīliyyāt
yang banyak diambil riwayatnya ialah:[13]
1.
Abdullah
bin Salam
Nama lengkapnya adalah
Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Harith al-Israil al-Anshari. Abdullah bin
Salam mempunyai ilmu pengetahuan yang paling alim dikalangan bangsa Yahudi pada
masa sebelum masuk Islam maupun sesudah masuk Islam. Kitab-kitab tafsir banyak
memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Abdullah bin Salam, diantaranya
yaitu Tafsir al-Ṭabari.
2.
Ka’ab
al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah
Abu Ishaq Ka’ab bin Mani al-Hindiari. Ka’ab al-Akhbar berasal dari Yahudi Yaman
dari keluarga Ziraim.
3.
Wahab
bin Munabbih
Nama lengkapnya adalah
Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij Zinas al-Yamani al-Sha’ni, lahir pada
tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman dan
meninggal pada tahun 110 H.
4.
Abdul
Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
Abdul Malik adalah
orang Nasrani. Ia merupakan orang pertama yang mengarang kitab di Hijaz. Abdul
Malik adalah tokoh israiliyat pada masa tabi’in. Apabila kita melihat dalam
kitab Tafsir al-Ṭabari, yaitu ayat-ayat tentang Nasrani, maka riwayat
israiliyat tersebut banyak diriwayatkan oleh Ibnu Juraij.
VI. Kesimpulan
Isrāīliyyat
merupakan
suatu periwayatan mengenai orang-orang Yahudi atau Nasrani, atau bisa juga
diartikan sebagai periwayatan yang diambil dari orang-orang Yahudi ataupun
Nasrani.
Ada
berbagai macam pembagian Isrāīliyyat yang ditinjau dari berbagai aspek
dan sudut pandang yang berbeda, namun pada intinya menjelaskan bahwa hukum
cerita-cerita Isrāīliyyat apabila sesuai dengan ajaran agama Islam, itu dapat
dibenarkan dan meriwayatkannya tidaklah dilarang. Akan tetapi yang bertentangan,
maka harus ditolak dan tidak boleh meriwayatkannya. Sedangkan cerita yang tidak
ada dalam ajaran Islam akan tetapi ide ceritanya tidak bertentangan dengan
syariat Islam, maka kita tidak perlu terlalu meyakininya juga tidak terlalu
menyalahkannya, dan untuk meriwayatkannya tidak menjadi masalah karena hanya
sekedar mengemukakan hikayat atau cerita saja.
Peran
Isrāīliyyat pada masa nabi belum begitu berpengaruh. Karena pada masa
itu semua penjelasan terhadap apa yanng belum diketahui langsug bisa ditanyakan
kepada nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.
Adapun
tokoh-tokoh Isrāīliyyat yang banyak diambil periwayatannya adalah
Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin
Abdul Aziz bin Juraij.
DAFTAR
PUSTAKA
abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, al-Isrāīliyyat wa al-Mawḍū’at fī Kutūb al-Tafsir, Kairo: Maktabah
al-Sunnah, 1408 H.
al-Bukhari, Muhamad bin Isma’il, Ṣahīh al-Bukhari, t.tp: Dār Ṭauq al-Najah,1422.
al-Dhahabi, Muhammad Husain, al-Isrāīliyyat fī Tafsir wa al-Hadish, Kairo: Maktabah Wahbah,
t.th.
al-Dhahabi, Muhammad Husain,Tafsīr wa al-Mufassirūn, Mesir: Dar al-Kutub wa
Al-Hadits,1976.
al-Juda’i, Abdullah bin Yusuf, al-Muqaddimah
al-Asāsiyyah fī Ulūm al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Rayyān, 2001.
al-Khulli, Amin, Minhaj Tajdīd fī al-Tafsīr, Kairo: Dār al-Fikr, 1961.
al-Tirmidhi, Muhammad bin ‘Isa, Sunan
al-Tirmidhi, Mesir, Syirkah Maktabah, 1975.
Khalil, Sayyid Ahmad, Nasy’ah al-Tafsīr fī al-Kutūb al-Muqaddasah wa al-Qur’an,
t.tp: t.np, 1954.
Na’nā’ah, Ramzi, al-Isrāīliyyat wa Atharuhā fī Kutūb al-Hadith, Damaskus : Dār al-Qalam, 1970.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah
Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta: Lentera
Basitama, 1992.
Wajdi, Muhammad Farid, Dāirah Ma’ārif al-Qarn al-Isyrūn, Beirut: Dār al-Ma’rifah 1971.
[1]
Al-Qur’an., 15 : 9.
[2]
Ramzi Na’nā’ah, al-Isrāīliyyat wa Atharuhā fī Kutūb
al-Hadith, (Damaskus : Dār al-Qalam,
1970) 72.
[4]
Muhammad bin Muhammad abu Syahbah, al-Isrāīliyyat wa
al-Mawḍū’at fī Kutūb al-Tafsir, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H.) 12.
[5]
Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Isrāīliyyat fī
Tafsir wa al-Hadish, (Kairo: Maktabah Wahbah,
t.th) 13.
[6]
Sayyid Ahmad Khalil, Nasy’ah al-Tafsīr fī al-Kutūb
al-Muqaddasah wa al-Qur’an, (t.tp: t.np, 1954) 37.
[7] Abdullah
bin Yusuf al-Juda’i, al-Muqaddimah al-Asāsiyyah fī Ulūm
al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Rayyān,
2001) 343.
[10]
Zainal Hasan Rifai, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar
Ulumul Qur'an, (Jakarta: Lentera Basitama, 1992)
278.
[11]
Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Mesir, Syirkah
Maktabah, 1975), juz 5, 40.
Imam Tirmidhi memberikan keterangan bahwa hadis yang diriwayatkannya ini
statusnya Hasan Ṣahīh.
[13]
Muhammad Husain al-Dhahabi,Tafsīr wa al-Mufassirūn (Mesir: Dar al-Kutub wa Al-Hadits,1976) jilid 1, 178.
Ok
BalasHapus