Minggu, 15 Mei 2016

SEJARAH PERKEMBANGAN ISRĀĪLIYYĀT PADA MASA NABI

SEJARAH PERKEMBANGAN ISRĀĪLIYYĀT
PADA MASA NABI

Makalah
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Tafsir

Dosen Pengampu :
Abdullah Mubarak, Lc., M. Th.I .

 








Oleh:
Joko Supriyanto
NIM : 2013.01.01.141

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2015

SEJARAH PERKEMBANGAN ISRĀĪLIYYĀT
PADA MASA NABI
Oleh : Joko Supriyanto
I.         Pendahuluan
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dalam ajaran Islam. Dapat dikatakan bahwa al-Qur’an adalah aturan-aturan dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang diturunkan untuk kemaslahatan seluruh manusia dan telah dijamin akan terjaga dari bentuk pemalsuan dan perubahan. Sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an ;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[1]
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan kami pula yang akan menjaganya.
Perhatian dan kecintaan kaum muslimin terhadap al-Qur’an sangatlah besar. Banyak dari kaum muslimin yang tidak hanya sering membaca al-Qur’an, melainkan juga banyak yang menghafalnya. Selain itu juga dipelajari mulai dari bagaimana cara membaca makhraj dan hurufnya, cara penulisannya, cara menafsirkannya, bahkan sampai kepada hal yang paling kecil, seperti menghitung jumlah surat, ayat, kata, bahkan huruf-huruf yang ada di dalam al-Qur’an. Bahkan kaum muslimin juga sudah mulai merambah untuk menggali kemukjizatan al-Qur’an yang kemudian dihubungkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di antara usaha lain yang dilakukan kaum muslimin untuk mempelajari al-Qur’an adalah melalui pemahaman dan penafsiran. Para ulama’ juga banyak mencurahkan perhatiannya dalam tafsir al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah Subḥānahu wa Ta’ālā dalam suatu ayat tersebut, sehingga nantinya al-Qur’an bisa dipahami dengan baik dan diamalkan dengan benar.
Untuk memahami al-Qur’an, para Ulama’ mengadakan upaya penafsiran dan pena’wilan. Penafsiran yang paling kuat kualitasnya adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, kemudian penafsiran dengan hadis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam, penafsiran dari qaul sahabat, dan terkadang juga mengunakan riwayat dari Isrāīliyyāt. Namun peggunaan israiliyat ini masih menjadi perdebatan Ulama’ untuk dijadikan penafsiran.
Untuk memahami permasalahan Isrāīliyyāt ini, langkah pertama yang seharusnya kita ketahui adalah mengetahui sejarah dan awal perkembangannya. Sehingga dengan demikian kita akan lebih mudah dalam mempelajarinya di pembahasan selanjutnya yang masih berkaitan dengannya. Untuk itu dalam makalah ini sebagai pengenalannya akan dijelaskan mengenai pengertian Isrāīliyyāt, pembagiannya berikut hukum periwayatannya, sejarah perkembangannya di masa nabi serta tokoh-tokohnya.
II.      Pengertian Isrāīliyyāt
Isrāīliyyāt merupakan sebuah istilah yang populer di kalangan pengkaji ilmu tafsir dan hadis belakangan. Ulama’ terdahulu belum mengenal dan memakai istilah Isrāīliyyāt, meskipun kajian terhadap Isrāīliyyāt sudah ada pada saat itu.[2] Kehadirannya yang memunculkan berbagai reaksi dari para pemerhati ilmu tafsir dan hadis, memberikan poin tersendiri bagi kajian Isrāīliyyāt di ranah keilmuan Islam kontemporer.
Isrāīliyyāt adalah bentuk jama’ dari kata Isrāīliyyāh, suatu nama yang dinisbatkan kepada Bani Israil. Kata Isrā memiliki arti hamba dan Īlliyah merupakan penisbatan ketuhanan. Jadi dengan kata lain,  Isrāīliyyāh memiliki arti sebagai hamba Tuhan. Israil juga merupakan nama lain dari Nabi Ya’qub yang hidup pada abad ke 19 sebelum masehi. Tercatat da dua belas nabi yang merupakan keturunan dari nabi Ya’qub.[3] Dari sini bisa diartikan bahwa bani Israil adalah adalah anak-anak atau keturunan dari Nabi Ya’qub bin Ishāq bin Ibrahim. Bani Israil juga biasa disebut dengan nama Yahudi. Meurut salah satu versi, Bani Israil adalah orang-orang Yahudi yang menjadi umat nabi Musa. Kemudian ketika nabi Isa Alayhi al-Salām diutus, Bani Israil yang menjadi umat nabi Isa Alayhi al-Salām disebut sebagai orang Nasrani, dan pada zaman nab Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam, mereka yang beriman disebut muslim sedangkan yang tidak beriman disebut sebagai Ahlu al-Kitāb.[4]
Ada beberapa pengertian dari istilah Isrāīliyyāt yang dikemukakan para pakar al-Qur’an dan tafsir, di antaranya :
1.      Kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari Bani Israil.[5]
2.      Kisah-kisah yang dikutib dari sumber agama Yahudi, Nasrani dan agama-agama lainnya.[6]
3.      Cerita-cerita yang dinukil dari Ahlu al-Kitāb selain yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[7]

III.   Pembagian Isrāīliyyāt dan Hukum Periwayatannya
Muhammad Husain az-Dhahabi membagi Isrāīliyyat menjadi tiga kategori:[8]
1.      Ditinjau dari segi kualitasnya, Isrāīliyyat terbagi menjadi dua bagian.
a.       Isrāīliyyat yang berkualitas bagus (ṣahih). Yang dimaksud di sini adalah riwayat yang sanadnya dapat di lacak dan tidak terputus. Seperti riwayat yang menjelaskan tentang sifat Rasulullah yang terdapat dalam kitab Taurat.
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Kathir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir “ Mustani menceritakan kepada kami dari Usman bin Umar dari Fulaih dan Hilal bin Ali dari Ata’ bin Yasir, ia berkata: aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr seraya berkata kepadanya: ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasul yang di terangkan dalam kitab Taurat! Ia berkata: baik, demi Allah, sesungguhnya sifat rasul di dalam Taurat sama seperti yang di terangkan di dalam al-Qur’an: “Wahai nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan,” dan pemelihara orang-orang yang Umi. Engkau adalah hamba-Ku dan rasul-Ku, namamu dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan: Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah. Dengannya pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, dan membuka mata yang buta.
b.      Isrāīliyyat yang berkualitas lemah (ḍaif). Yang dimaksud disini adalah riwayat yang sanadnya tidak lengkap ataupun tidak jelas. Seperti kisah yang menjelaskan tentang gunung Qaf.
Kisah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdurrahman dari Abu Hatim ar-Razi yang dinukil oleh Ibnu Kastir dalam tafsirnya tentang ayat pada surat Qaf, ia berkata sesungguhnya cerita tersebut tidak ṣahih, dan ia menganggapnya sebagai cerita khayal Bani Israil.
2.      Ditinjau dari segi kesamaan ide dalam Islam, Isrāīliyyat terbagi menjadi tiga bagian.
a.       Kisah-kisah yang sesuai dengan ajaran Islam.
b.      Kisah-kisah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam.
c.       Ketiga, kisah-kisah yang tidak terdapat di dalam ajaran Islam.
3.      Ditinjau dari segi substansi materinya, Isrāīliyyat terbagi menjadi tiga bagian.
a.       Yang berhubungan dengan masalah akidah.
b.      Yang berhubungan dengan masalah hukum.
c.       Yang berhubungan dengan nasihat tanpa ada keterkaitannya dengan masalah akidah dan hukum.
Setelah mengetahui berbagai macam pembagian Isrāīliyyat yang ditinjau dari berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda, maka bisa disimpulkan bahwa hukum cerita-cerita Isrāīliyyat apabila sesuai dengan ajaran agama Islam tentunya dapat dibenarkan dan meriwayatkannya tidaklah dilarang. Akan tetapi yang bertentangan maka serta-merta harus ditolak dan tidak boleh meriwayatkannya. Sedangkan cerita yang tidak ada dalam ajaran Islam akan tetapi ide ceritanya tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sikap yang relatif aman adalah bersikap netral, tidak terlalu meyakininya juga tidak menyalahkannya. Sedangkan untuk meriwayatkannya tidak menjadi masalah karena menceritakannya tidak lebih hanya sekedar mengemukakan hikayat atau dongeng belaka.
IV.   Sejarah Perkembangan Isrāīliyyāt Pada Masa Nabi
Sebelum Islam datang, kaum yang dikenal memiki peradaban tertinggi dibandingkan Bangsa Arab adalah kaum Yahudi. Mereka yang banyak memiliki cerita-cerita keagamaan dari kitab suci mereka sendiri. Hanya saja saat itu, hidup mereka bnyak yang tertindas kemudin lari dan pindah ke jazirah Arab. Maka dari itu terjadi perkembangan besar-besaran kisah-kisah Isrāīliyyāt. Disadari atau tidak, hal tersebut merupakan logis proses akulturasi budaya ilmu pengetahuan antara bangsa Arab dengan kaum Yahudi dan Nasrani.[9]
Pengetahuan orang Arab tentang Isrāīliyyāt telah lama masuk ke dalam benak keseharian mereka, sehingga tidak dapat dihindari adanya interaksi kebudayaan Yahudi dan Nasrani dengan kebudayaan Arab yang kemudian menjadi jazirah Islam itu.
Selain itu, bangsa Arab juga sering berpindah-pindah, baik kearah timur maupun barat. Mereka memiliki dua tujuan dalam bepergian. Ketika musim panas tiba, mereka pergi ke Syam dan ketika musim dingin tiba, mereka pergi ke Yaman. Pada waktu itu di Yaman dan Syam banyak sekali Ahlu al-Kitāb yang sebagian besar adalah bangsa Yahudi. Karena itu tidaklah mengherankan bila antara orang Arab dengan Yahudi terjalin hubungan. Kontak ini memungkinkan terserapnya kebudayaan Yahudi kepada bangsa Arab.
Di saat yang demikian, Islam hadir dengan kitabnya yang bernilai tinggi dan mempunyai ajaran yang bernilai tinggi pula. Dakwah Islam mulai disebarkan keberbagai tempat yang bisa dijangkau nabi dan sahabatnya, dan sebagian besar tentunya disebarkan di Madinah yang merupakan tempat tujuan Nabi berhijrah. Di Madinah tersebut, nabi juga tinggal bersama beberapa bangsa Yahudi, di antaranya yaitu Bani Quraidah, Bani Nadzir, Yahudi Haibar, Tayma dan Fadak.
Karena orang Yahudi bertetangga dengan kaum muslimin, lama kelamaan terjadi pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan. Rasulullah menemui orang Yahudi dan Ahlu al-Kitāb lainnya untuk mendakwahkan Islam. Orang Yahudi sendiri sering datang kepada Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam  untuk menyelesaikan suatu problem yang ada pada mereka, atau sekedar untuk mengajukan suatu pertanyaan.
Pada era Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, informasi dari kaumYahudi yang sekarang dikenal sebagai Isrāīliyyāt itu tidak berkembang dalam penafsiran al-Qur'an, sebab hanya beliau satu-satunya penjelas (mubayyin) berbagai masalah atau pengertian yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an. Seumpama apabila para sahabat mengalami kesulitan mengenai pengertian yang berkaitan dengan sebuah ayat al-Qur'an, baik makna atau kandungannya, merekapun langsung bertanya kepada Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam dan sahabat langsung bisa mendapatkan jawabannya.[10]
Kendatipun demikian, Rasulullah juga telah memberikan semacam green light pada umat Islam untuk menerima maupun menyebarkan informasi yang berasal dari Bani Israil, dan hal ini tampak dalam hadis beliau:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بني إسرائيل وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[11]
Sampaikanlah yang datang dariku walaupun satu ayat, dan ceritakan (apa yang kamu dengar) dari Bani Israil dan hal itu tidak ada salahnya. Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka siap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka.


Demikian pula dalam hadits lain beliau bersabda:
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ[12]
Janganlah kamu benarkan orang-orang ahli Kitab dan jangan pula kamu dustakan mereka.
Dari hadits-hadits di atas, Rasulullah sebenarnya memberikan peluang atau kebebasan pada umatnya untuk mengambil atau menerima riwayat-riwayat dari Ahlu al-Kitāb. Dua hadis di atas juga memberikan semacam peringatan akan perlunya sikap selektif dan hati-hati terhadap riwayat Ahlu al-Kitāb.
Uraian yang telah disebutkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Isrāīliyyāt sebenarnya sudah lama muncul dan berkembang di kalangan bangsa Arab jauh sebelum masanya Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, yang kemudian terus bertahan pada era Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Hanya saja ia belum menjadi khazanah yang diserap dalam penafsiran al-Qur'an.
Setelah Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam wafat, tidak seorangpun yang berhak menjadi penjelas wahyu Allah. Dalam kondisi ini para sahabat mencari sumber dari hadis Rasul. Apabila mereka tidak menjumpai, mereka berijtihad. Riwayat dan ahli Kitab menjadi salah satu rujukan. Hal ini terjadi karena ada persamaan antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Hanya saja al-Qur'an berbicara secara padat, sementara Taurat dan Injil berbicara panjang lebar.
Pada era sahabat inilah Isrāīliyyāt mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dari kaum Yahudi dan Nasrani, pada umumnya para sahabat sangat selektif. Mereka hanya membatasi kisah-kisah dalam al-Qur'an secara global yang Nabi sendiri tidak menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Disampng itu mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsesten pada ajaran yang diterima dari Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, sehingga jika mereka menjumpai kisah-kisah Isrāīliyyāt yang bertentangan dengan syari'at Islam, mereka menentangnya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihan mereka menangguhkannya.

V.      Tokoh-Tokoh  Isrāīliyyāt
Adapun tokoh-tokoh Isrāīliyyāt yang banyak diambil riwayatnya ialah:[13]
1.            Abdullah bin Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Harith al-Israil al-Anshari. Abdullah bin Salam mempunyai ilmu pengetahuan yang paling alim dikalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam maupun sesudah masuk Islam. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Abdullah bin Salam, diantaranya yaitu Tafsir al-Ṭabari.
2.            Ka’ab al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani al-Hindiari. Ka’ab al-Akhbar berasal dari Yahudi Yaman dari keluarga Ziraim.
3.            Wahab bin Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij Zinas al-Yamani al-Sha’ni, lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman dan meninggal pada tahun 110 H.
4.            Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
Abdul Malik adalah orang Nasrani. Ia merupakan orang pertama yang mengarang kitab di Hijaz. Abdul Malik adalah tokoh israiliyat pada masa tabi’in. Apabila kita melihat dalam kitab Tafsir al-Ṭabari, yaitu ayat-ayat tentang Nasrani, maka riwayat israiliyat tersebut banyak diriwayatkan oleh Ibnu Juraij.

VI.   Kesimpulan
Isrāīliyyat  merupakan suatu periwayatan mengenai orang-orang Yahudi atau Nasrani, atau bisa juga diartikan sebagai periwayatan yang diambil dari orang-orang Yahudi ataupun Nasrani.
Ada berbagai macam pembagian Isrāīliyyat yang ditinjau dari berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda, namun pada intinya menjelaskan bahwa hukum cerita-cerita Isrāīliyyat apabila sesuai dengan ajaran agama Islam, itu dapat dibenarkan dan meriwayatkannya tidaklah dilarang. Akan tetapi yang bertentangan, maka harus ditolak dan tidak boleh meriwayatkannya. Sedangkan cerita yang tidak ada dalam ajaran Islam akan tetapi ide ceritanya tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka kita tidak perlu terlalu meyakininya juga tidak terlalu menyalahkannya, dan untuk meriwayatkannya tidak menjadi masalah karena hanya sekedar mengemukakan hikayat atau cerita saja.
Peran Isrāīliyyat pada masa nabi belum begitu berpengaruh. Karena pada masa itu semua penjelasan terhadap apa yanng belum diketahui langsug bisa ditanyakan kepada nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.
Adapun tokoh-tokoh Isrāīliyyat yang banyak diambil periwayatannya adalah Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.

DAFTAR PUSTAKA
abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, al-Isrāīliyyat wa al-Mawḍū’at fī Kutūb al-Tafsir, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H.
al-Bukhari, Muhamad bin Isma’il, ahīh al-Bukhari, t.tp: Dār auq al-Najah,1422.
al-Dhahabi, Muhammad Husain, al-Isrāīliyyat fī Tafsir wa al-Hadish, Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.
al-Dhahabi, Muhammad Husain,Tafsīr wa al-Mufassirūn, Mesir: Dar al-Kutub wa Al-Hadits,1976.
al-Juda’i, Abdullah bin Yusuf, al-Muqaddimah al-Asāsiyyah fī Ulūm al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Rayyān, 2001.
al-Khulli, Amin, Minhaj Tajdīd fī al-Tafsīr, Kairo: Dār al-Fikr, 1961.
al-Tirmidhi, Muhammad bin ‘Isa, Sunan al-Tirmidhi, Mesir, Syirkah Maktabah, 1975.
Khalil, Sayyid Ahmad, Nasy’ah al-Tafsīr fī al-Kutūb al-Muqaddasah wa al-Qur’an, t.tp: t.np, 1954.
Na’nā’ah, Ramzi, al-Isrāīliyyat wa Atharuhā fī Kutūb al-Hadith, Damaskus : Dār al-Qalam, 1970.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta: Lentera Basitama, 1992.
Wajdi, Muhammad Farid, Dāirah Ma’ārif al-Qarn al-Isyrūn, Beirut: Dār al-Ma’rifah 1971.


[1] Al-Qur’an., 15 : 9.
[2] Ramzi Na’nā’ah, al-Isrāīliyyat wa Atharuhā fī Kutūb al-Hadith, (Damaskus : Dār al-Qalam, 1970) 72.
[3] Muhammad Farid Wajdi, Dāirah Ma’ārif al-Qarn al-Isyrūn, (Beirut: Dār al-Ma’rifah 1971) 280.
[4] Muhammad bin Muhammad abu Syahbah, al-Isrāīliyyat wa al-Mawḍū’at fī Kutūb al-Tafsir, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408 H.) 12.
[5] Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Isrāīliyyat fī Tafsir wa al-Hadish, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th) 13.
[6] Sayyid Ahmad Khalil, Nasy’ah al-Tafsīr fī al-Kutūb al-Muqaddasah wa al-Qur’an, (t.tp: t.np, 1954) 37.
[7] Abdullah bin Yusuf al-Juda’i, al-Muqaddimah al-Asāsiyyah fī Ulūm al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Rayyān, 2001) 343.
[8] Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Isrāīliyyat fī Tafsir wa al-Hadish, 35.
[9] Amin al-Khulli, Minhaj Tajdīd fī al-Tafsīr, (Kairo: Dār al-Fikr, 1961) 227.
[10] Zainal Hasan Rifai, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, (Jakarta: Lentera Basitama, 1992) 278.
[11] Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Mesir, Syirkah Maktabah, 1975), juz 5, 40. Imam Tirmidhi memberikan keterangan bahwa hadis yang diriwayatkannya ini statusnya Hasan Ṣahīh.
[12] Muhamad bin Isma’il al-Bukhari, ahīh al-Bukhari, (t.tp: Dār auq al-Najah,1422) juz 3, 181.
[13] Muhammad Husain al-Dhahabi,Tafsīr wa al-Mufassirūn (Mesir: Dar al-Kutub wa Al-Hadits,1976) jilid 1, 178.

1 komentar: