This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 15 Mei 2016

DIMENSI SOSIAL DALAM IBADAH QURBAN

DIMENSI SOSIAL DALAM IBADAH QURBAN

Makalah
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Ibadah
Dosen Pengampu :
Agus Salim, Lc., M. Th.I.

 








Oleh:
Joko Supriyanto
NIM : 2013.01.01.141

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2015

DIMENSI SOSIAL DALAM IBADAH QURBAN
Oleh : Joko Supriyanto

I.       Pendahuluan
Selain ibadah haji, pada bulan Dzulhijjah umat Islam merayakan hari raya Idul Aḍḥa. Lantunan takbir beriringan menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung dan tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang Qurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim `Alayhi al-Salām kepada putra terkasihnya yaitu Nabi Ismail `Alayhi al-Salām.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji oleh Allah untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah Subḥanahu wa Ta'ala  atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Allah tetap dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dan digantikan seekor domba gemuk oleh Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Kisah  mengharukan ini juga diabadikan dalam al Quran yang nantinya akan kami jelaskan.
Bila untuk Nabi Ibrahim Allah Subḥanahu wa Ta'ala mengujinya dengan meminta anaknya. Dari kita Allah Subhanahu wata’ala hanya meminta agar untuk mengorbankan kambing, sapi, unta dan hewan ternak lainnya. Alangkah malunya kita kepada bapak para nabi yang bersedia mengorbankan anaknya untuk mentaati Allah, sedangkan kita enggan sekedar menyisihkan sedikit rezeki sebagai bukti ketaatan kita kepadaNya. Padahal segala karunia yang kita miliki adalah pemberian dariNya, milikNya dan pasti akan dikembalikan kepadaNya juga. Hanya saja pilihan ada ditangan kita, apakah segala nikmat berupa rezeki ini akan kita kembalikan kepada Allah dengan suka rela dalam wujud ketaatan, atau kita menunggu diambil paksa olehNya.
Semoga kita diberi kemudahan untuk melaksanakan syariat yang mulia ini, yaitu berkurban, untuk mendekat diri kepada Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Karena memang dalam ibadah ini banyak manfaat dan hikmahnya serta dimensi yang ada di dalamnya juga tidak dalam dimensi ketuhanan saja namun juga terdapat dimensi sosialnya.
Oleh karena itu dalam makalah yang sederhana ini, kami akan mencoba menjelaskan tentang hakikat berqurban, manfaat dan hikmahnya serta dimensi ketuhanan dan sosial yang ada di dalamnya dengan diserti dalil hadis dan al-Qur’an sebagai penguat.
II.    Surat al-Kauthar Ayat 1-3 Tentang Perintah Berqurban
A.    Pengertian Qurban
Qurban secara bahasa adalah pendekatan diri. Sedangkan secara istilah ialah penyembelihan hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subḥanahu wa Ta’ala serta sebagai tanda kepatuhan kita terhadapNya. Penyembelihan qurban itu biasanya dilakukan pada waktu dhuha setelah shalat ‘Id, sehingga disebut Uḍḥiyyah. Atau biasa disebut Ḍoḥḥiyyah yang berarti hewan-hewan yang diqurbankan.[1]
B.     Lafal Surat al-Kauthar Ayat 1-3
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3) [2]
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.


C.    Asbāb al-Nuzūl dan Penjelasan Lafal
Al-Mukhtar meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam mengantuk sejenak, lalu beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum, baik beliau yang berkata kepada mereka atau maupun mereka yang bertanya kepada beliau, Mengapa engkau tertawa ya Rasulullah? Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya baru saja turun surat kepadaku, ‘Kemudian beliau membaca :     بسم الله الرحمن الرحيم انّا اعطيناك الكوثرsampai akhir ayat. Lalu beliau bertanya, ‘Tahukah kalian, apakah al-Kauthar itu? Mereka menjawab, Allah dan RasulNya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Ia adalah sungai yang diberikan Rabbku kepadaku di Surga, padanya terdapat banyak kebaikan, dimana pada hari kiamat kelak umatku akan hilir mudik ke sungai itu. Bejananya sebanyak jumlah bintang di Langit, lalu ada seorang hamba dari mereka yang gemetarn, maka aku katakan, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya dia termasuk umatku.’ Kemudian dikatakan kepadaku,‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu.’ Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Mukhtar. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.[3]
Firman Allah Ta’ala, فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ maksudnya adalah setelah Kami memberimu kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat, di antaranya adalah telaga al-Kauthar, maka tulus ikhlaslah dalam menjalankan shalat wajib dan sunnahmu serta dalam berqurban hanya untuk Rabbmu. Beribadahlah hanya kepadaNya dan berqurbanlah dengan menyebut namaNya.[4] Hal ini untuk membedakan apa yang terjadi di kalangan orang-orang musyrik yan berupa sujud kepada selain Allah dan berqurban dengan menyebut selain nama Allah.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa berqurban tidak hanya bisa dilakukan dengan harta, namun bisa juga dilakukan dengan tenaga dan semisalnya.[5] Namun menurut kami berqurban itu ada tingkatannya. Berqurban yang lebih baik adalah dengan menggunakan harta, jika tidak bisa baru menggunakan tenaga dan jika tidak bisa maka boleh menggunakan yang laiannya seperti doa.
Kemudian firman Allah Ta’ala, إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ maksudnya adalah pemberitahuan kepada Rasulullah alla Allah ‘Alayhi wa Sallam bahwa sesunguhnya orang-orang yang membencinya dan membenci apa yang dibawanya dari Rabbnya, mereka adalah orang yang terputus, yang paling sedikit jumlahnya, dan paling hina. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan Qatadah.[6]
D.    Penjelasan Global Ayat
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kita diperintahkan untuk bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada kita. Kita bisa bersyukur dengan cara melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita dan melengkapinya dengan kesunahan-kesunahan yang ada. Di samping itu kita juga tidak boleh menyekutukannya dengan apapun.
Kedua, kita diperintahkan untuk berqurban dengan apa yang kita miliki. Jika kita memiliki harta, maka kita berqurban dengan harta kita dan jika kita memiliki tenaga maka kita berqurban dengan tenaga kita. Akan tetapi jika kita tidak mempunyai keduanya maka kita bisa  berqurban dengan cara yang lain seperti mendoakan.
Ketiga, surat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang mengingkari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan apa yang dibawa dari Rabbnya, maka orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok orang yang terputus, tidak memiliki keturunan atau penerus, tergolong dalam kelompok orang yang sedikit dan hina.
III. Surat al-Hajj Ayat 37 Tentang Qurban Yang Diterima
A.    Lafal Surat al-Hajj ayat 37
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ[7]
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
B.     Penjelasan Lafal
Lafal لن ينال الله لحومها ولا دماؤها artinya adalah tidak akan sampai kepada Allah sedikitpun daging dan darah dari hewan yang diqurbankan, ولكن يناله التقوى منكم akan tetapi yang akan sampai pada Allah adalah amal saleh yang ikhlas dengan disertai iman. Jadi jika seseorang beramal tanpa adanya iman walaupun ia ikhlas, ia tidak akan mendapatkan balasannya diakhirat kelak, ia hanya akan mendapatkan balasan dari kebaikannya saat ia masih di dunia. Kemudian lafal على ما هداكم yang diartikan atas hidayahNya, maksudnya yaitu atas petunjukNya yang telah membimbing kita sehingga kita dapat mengetahui tanda-tanda agama dan manasik haji.[8]
C.    Asbāb al-Nuzūl dan Penjelasan Makna Ayat
Allah Subḥanahu wa Ta’ala berfirman bahwa Dia mensyariatkan penyembelihan unta-unta ini adalah agar mereka mengingatNya ketika menyembelih (ingat akan nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah kemudian mensyukurinya dengan berqurban dengan menyebut nama Yang Maha Memberi Kenikmatan).[9]
Dalam berqurban itu tidak ada sedikit pun daging dan darah yang sampai kepadaNya, karena Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan dari selainNya. Akan tetapi yang sampai adalah bentuk amal dan ketakwaan kita.
Sebagaimana keterangan dalam hadis:
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم[10]
Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh kalian dan harta kalian, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amal kalian.
Sesungguhnya dahulu di Masa Jahiliyah jika mereka menyembelih binatang untuk ilah-ilah mereka, mereka meletakkan daging-daging binatang qurban dan melumurkan darahnya ke berhala-berhala tersebut. Kemudian salah satu sahabat menyatakan bahwa golongannyalah yang pantas melakukan itu. Untuk menyikapi hal demikian, kemudian turunlah ayat ini.[11]
IV. Hukum Berqurban
Jumhur Ulama’ dan Fuqaha’ sepakat kalau hukum berqurban itu sunnah muakkad.[12] Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi juga dari Ibnu Abbas berikut ini :
عن ابن عبّاس انّه قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ثلاث هنّ عليّ فرائض ولكم تطوع النحر والوتر وركعتا الضحى[13]
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam bersabda : ada tiga perkara yang diwajibkan bagi saya tetapi hanya sunnah bagi kamu sekalian: berqurban, shalat witir dan shalat Ḍuha dua rakaat.
Al-Baihaqy juga meriwayatkan dari sanad lain dengan dengan susunan matan sebagai berikut :
كتب علي النحر ولم يكتب عليكم وأمرت بصلاة الضحى ولم تؤمروا بها[14]
Diwajibkan atas saya dan tidak diwajibkan atas kalian, diwajibkan atasku shalat Ḍuha dan tidak diwajibkan atasmu.
Selain ibadah zakat, berqurban yang terjadi bertepatan dengan Idul Adha ini adalah momentum amat penting dalam kehidupan beragama yang tidak hanya menarik garis lurus secara vertikal, tetapi juga horizontal. Artinya, ibadah yang tidak hanya mampu menjalin hubungan dengan Allah Subḥanahu wa Ta’ala tetapi juga mengandung implikasi sosial. Penyembelihan hewan qurban yang bertitik tolak pada kisah nabi Ibrahim dan putranya nabi Ismail tersebut, menyimpan makna yang bernilai agung, terutama bagi kaum muslimin yang memiliki kekayaan dan pendapatan yang melebihi keperluan hidup keluarganya, agar dapat menyumbangkan sebagian hartanya berupa hewan qurban sebagai manifestasi untuk mendekatkan diri kepada Allah Subḥanahu wa Ta’ala sekaligus menjalin keharmonisan dengan sesamanya, terutama mereka yang selalu dihimpit dengan kesengsaraan dan kekurangan.
Peristiwa penyembelihan kambing oleh nabi Ibrahim telah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Peristiwa tersebut terus diabadikan dan dilestarikan oleh umat Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dengan motif sebagaimana tersebut dalam surat al-Kauthar ayat 1-3 sebagai mana yang telah dijelaskan.
Ibadah qurban tidak hanya dikenal dalam Islam. Artinya, agama yang lain pun  menuntut umatnya untuk mengorbankan hartanya untuk Tuhan. Namun di dalam Islam, bukan daging atau darahnya yang diserahkan kepada Tuhan tapi keikhlasan berkorbanlah yang dinilai oleh Tuhan. Sementara dagingnya dibagikan kepada sesama guna dimanfaatkannya.
Tradisi qurban di luar Islam biasanya dibudayakan pada saat-saat tertentu sebagai persembahan kepada Tuhan mereka dengan harapan Tuhan akan mengabulkan doa dan harapan mereka. Cara yang dilakukan pun tidak menggambarkan etika penghormatan terhadap Tuhan. Misalnya dengan menyiramkan darah binatang yang disembelih ke dinding tempat peribadatan dan dagingnya dilemparkan ke depan pintunya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan menghendaki darah dan daging tersebut. Bahkan tradisi qurban mereka ada yang merugikan diri mereka, seperti tradisi pengorbanan anak-anak mereka.
Dengan demikian, maka qurban disamping mengandung dimensi keTuhanan juga mengandung dimensi kemanusiaaan. Dimensi kemanusiaan terlihat dengan distribusi hewan qurban pada yang berhak. Dimensi ini pun tidak akan mempunyai nilai apa-apa di hadapan Allah Subḥanahu wa Ta’ala manakala tidak disertai refleksi takwa kepadaNya. Artinya, bentuk solidaritas sosial yang diwujudkan melalui qurban itu ditunaikan dalam rangka menunaikan anjuran Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan diniatkan hanya mencari keridhaan Allah Subḥanahu wa Ta'ala dengan penuh keikhlasan dan keimanan.
Lebih dari itu, nilai pembagian daging qurban kepada manusia yang berhak jika diambil makna yang lebih dalam lagi, adalah merupakan upaya terapi psikologis atas kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin, serta antara orang yang tercukupi dan orang yang kekurangan. Ibadah qurban sebagai wahana hubungan yang dilandasi oleh rasa memiliki kemanusiaan, sehingga menumbuhkan kasih antar sesama. Inilah ibadah yang mencerminkan pesan Islam, dimana manusia dapat dekat dengan Tuhannya bila ia mendekati saudara-saudaranya yang berkekurangan.[15]
VI. Manfaat dan Hikmah Berqurban
A.    Manfaat Qurban
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ[16]
Engkau tidak akan mendapatkan kebajikan yg sempurna sebelum menafkahkan harta yg engkau cintai.
Adapun sebagian kecil manfaat qurban adalah :
1.      Orang yang berqurban akan mendapat limpahan keriḍaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ[17]
Daging-daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
2.      Merupakan pencerah jiwa karena dengan berqurban berarti jiwa kita terhubung dengan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا[18]
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan.
Jadi, seseorang tidak akan pernah sampai kepada ketaqwaan dan tidak akan memperoleh keimanan yang sejati, bila kecintaannya kepada dunia mengalahkan kecintaannya kepada Allah Subḥanahu wa Ta'ala  dan RasulNya.
3.      Dapat memupuk keikhlasan, kejujuran dan kesabaran yang membimbing kita mencintai Allah dan akhirnya juga mencintai makhluk ciptaanNya.
4.      Mempererat tali persaudaraan kepada sesama manusia serta sikap solidaritas yang tinggi, dan
5.      Memperkuat keteguhan hati dan jiwa dalam diri kita.
B.     Hikmah Berqurban
1.      Mendapat kebaikan dari setiap helai bulu hewan yang diqurbankan.
عن زيد بن أرقم قال قلت أو قالوا يا رسول الله ما هذه الأضاحي قال سنة أبيكم إبراهيم قالوا ما لنا منها قال بكل شعرة حسنة قالوا يا رسول الله فالصوف قال بكل شعرة من الصوف حسنة[19]
Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata: “Wahai Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.”
2.      Berqurban adalah ciri keislaman seseorang.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا[20]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.”


3.      Ibadah qurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah.
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها وأن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا[21]
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah (sebagai qurban, bukan ẓahirnya) di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.”
4.      Berqurban membawa misi kepedulian pada sesama, terutama untuk menggembirakan kaum ḍuafa.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ[22]
Maka makanlah sebagiannya (daging kurban) dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
5.      Berqurban termasuk ibadah yang paling utama.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ[23]
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.
6.      Berqurban adalah sebagian dari syiar agama Islam.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ[24]
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepadaNya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).


7.      Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim `Alayhi al-Salām.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)[25]
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

VII.          Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, bisa diketahui bahwa qurban ialah penyembelihan hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subḥanahu wa Ta’ala serta sebagai tanda kepatuhan dan rasa syukur kita terhadapNya. Allah telah memerintahkan kita dengan jelas untuk berqurban sebagai mana yang ada dalam surat al-Kauthar ayat 2.
Dalam berqurban tidak hanya bisa dilakukan dengan harta, namun bisa juga dilakukan dengan tenaga dan semisalnya. Berqurban itu ada tingkatannya. Berqurban yang lebih baik adalah dengan menggunakan harta, jika tidak bisa baru menggunakan tenaga dan jika tidak bisa maka boleh menggunakan yang laiannya seperti doa.
Selain itu itu kita juga tahu bahwa orang-orang yang mengingkari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan apa yang dibawa dari Rabbnya termasuk berqurban, maka orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok orang yang terputus, tidak memiliki keturunan atau penerus, tergolong dalam kelompok orang yang sedikit dan hina.
Dalam berqurban tidak sedikit pun daging dan darah yang akan sampai kepada Allah Yang Maha Kaya, akan tetapi yang sampai adalah bentuk amal dan ketakwaan kita. Hukum berqurban adalah sunnah muakkad.
Ibadah qurban merupakan ibadah yang dalam pengaplikasiannya, selain terdapat dimensi ketuhanan, juga terdapat dimensi sosialnya, karena ibadah qurban ini banyak manfaatnya terhadap orang lain terutama kaum ḍuafa’ serta bisa menimbulkan solidaritas yang tinggi antara sesama muslim, dan untuk orang yang berqurban tentunya banyak pahala yang ikan ia dapatkan. Kemudian, selain itu tentunya juga masih banyak lagi manfaat dan hikmah yang ada dalam berqurban, yang dalam hal ini tentunya juga harus bersamaan dengan rasa ikhlas dan penuh dengan keimanan.


Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
al-Baihaqy, Ahmad bin al-Ḥusain, Sunan al-Baihaqy al-Kubra. Makkah : Dār al-Bāzz, 1994.  juz 9.
al-Damasyqy, Ibnu Kathir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm. t.np, Dār al-Ṭayyibah, 1999, cet.II, juz 8.
al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim, Shāhih Muslim. Bairut : Dār al-Afāq al-Jadīdah, t.th. juz 2.
al-Suyūṭy, Abdul Rahman bin Abu Bakar, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl. Beirut : Dār al-Ikhya’ al-`Ulūm,t.th. juz1.
al-Tamimy, Muhammad Ibnu Ḥibban, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibban. Beirut: Muassasah al-Risālah,1993. juz2.
al-Qazūwainy, Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah. t.tp:t.np,t.th. juz 9.
bin Hanbal, Ahmad, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal. t.tp: Muassasah al-Risālah,1999. juz 32.
http//Dimensi Sosial Dalam Ibadah Qurban - Ma'haduna.htm, diakses tanggal 20 April 2015.
Jalalain, Tafsīr Jalālain. Surabaya : al-Hidayah, t.th. juz2.
Muhammad, Abu Bakar, Hadits Tarbiyah.Surabaya : AL-IKHLAS,1995. cet.1.



[1] Abu Bakar Muhammad, Hadits Tarbiyah, (Surabaya : AL-IKHLAS,1995) cet.1,75.
[2] Al-Qur’an., 108 : 1-3.
[3] Abu al-Husain Muslim al-Naisaburi, Shāhih Muslim, (Bairut : Dār al-Afāq al-Jadīdah, t.th) juz 2, 12.
[4] Ibnu Kathir al-Damasyqy, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, (t.np, Dār al-Ṭayyibah, 1999), cet.II, juz 8, 498.
[5] Ibid., 499.
[6] Ibid., 500.
[7] Al-Qur’an., 22:37.
[8] Jalalain, Tafsīr Jalālain, (Surabaya : al-Hidayah, t.th) juz2,278.
[9] Ibnu Kathir al-Damasyqy, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, cet.II, juz 5, 431.
[10] Muhammad Ibnu Ḥibban al-Tamimy, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibban, (Beirut: Muassasah al-Risālah,1993) juz2,119.
[11] Abdul Rahman bin Abu Bakar al-Suyūṭy, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut : Dār al-Ikhya’ al-`Ulūm,t.th)juz1,148.
[12] Abu Bakar Muhammad, Hadits Tarbiyah, 93.
[13] Ahmad bin al-Ḥusain al-Baihaqy, Sunan al-Baihaqy al-Kubra, (Makkah : Dār al-Bāzz, 1994) juz 9, 264.
[14] Ibid., 264.
[15] http//Dimensi Sosial Dalam Ibadah Qurban - Ma'haduna.htm, diakses tanggal 20 April 2015.
[16] Al-Qur’an., 3:92.
[17] Al-Qur’an., 22 : 37.
[18] Al-Qur’an., 91 : 8.
[19] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasah al-Risālah,1999) juz 32,34.
[20] Ibnu Majjah al-Qazūwainy, Sunan Ibnu Majjah, (t.tp:t.np,t.th) juz 9, 276.
[21] Ibid., 280.
[22] Al-Qur’an,. 22 : 36.
[23] Al-Qur’an., 108 : 2.
[24] Al-Qur’an., 22 : 34.
[25] Al-Qur’an., 37 : 102-107.

KONSEP KETENANGAN JIWA MENURUT AL-QUR’AN

KONSEP KETENANGAN JIWA MENURUT AL-QUR’AN
Oleh : Joko Supriyanto
I.         Pendahuluan
II.  Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat sampai akhir zaman. Di samping al-Qur’an mempunyai banyak keistimewaan, ia juga merupakan mukjizat yang luar biasa yang memiliki kekuatan di luar kemampuan apapun. Bahkan dalam ayatNya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberi perumpamaan seandainya al-Qur’an diturunkan ke sebuah gunung, niscaya ia akan hancur tidak tersisa.
III.              لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[1]
IV.                  Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.
V.  Bukti lain yang menunjukkan kehebatan al-Qur’an ialah hingga saat ini ia masih murni dan tidak ada perubahan sedikitpun semenjak al-Qur’an itu diturunkan. Selain itu kandungan pesan yang disampaikan sejak abad ke-7 itu telah mampu menjawab persoalan-persoalan kaum muslimin sampai sekarang. Oleh karena itu seseorang yang menjaganya dan orang yang hidup dekat dengan al-Qur’an, ia akan banyak mendapatkan ketenangan.
VI.                       Jika berbicara mengenai ketenangan, kedamaian ataupun ketentraman, pastinya semua orang menginginkannya. Namun tidak jarang hal ini juga membawa problem dalam kehidupan semua manusia. Hal ini dikarenakan banyak juga manusia yang mencari ketentraman dan kedamaian dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at.
VII.                    Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengkaji lebih jauh mengenai pemahaman dan makna muṭmainnah yang dalam al-Qur’an biasa diartikan dengan jiwa yang tenang. Apakah muṭmainnah di sini merupakan ketenangan yang cenderung hanya menerima keadaan begitu saja tanpa berbuat sesuatu ataukah ketenangan yang senantiasa membuat manusia proaktif. Serta bagaimanakah pemahaman makna muṭmainnah dalam al-Qur’an jika dipahami untuk menghadapi kerasnya zaman yang terus bergerak. Dari berbagai pokok permasalahan yang ada, maka fokus pembahasan pada pada makalah ini adalah bagaimana konsep ketenangan jiwa menurut al-Qur’an.
VIII.                  
IX.   Penjelasan Tentang Muṭmainnah
X.  Secara bahasa, menurut JS Badudu dan Sutan Mohammad Zein dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata muṭmainnah bias diartikan sebagai bentuk ketenangan, lawan dari gelisah, resah, tidak berteriak, tidak ada keributan atau kerusuhan.[2]
XI. Sedangkan secara istilah, menurut al-Maraghi muṭmainnah adalah ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.[3] Dalam al-Qur’an biasanya lafaẓ muṭmainnah ini disebutkan dengan redaksi nafsu al- muṭmainnah.
XII.         يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[4]
XIII.            Wahai jiwa yang tenang.
XIV.                 Fakhrur Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jiwa atau hati manusia itu satu, akan tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam. Apabila hati itu condong dengan nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti petunjuk kebenaran, maka ia dinamakan nafsu al-muṭmainnah (jiwa yang tenang dan tentram). Jika ia condong pada hawa nafsu dan amarah, maka ia dinamakan nafsu al-amarah. Selain itu juga terdapat nafsu al-lawwāmah, yaitu nafsu yang selalu mengajak untuk menjaga eksistensinya sebagai manusia atau jiwa yang amat menyesali dirinya.[5]
XV.        وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ[6]
XVI.            Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
XVII.                        وَلا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ[7]
XVIII.      dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
XIX.                 Dari ayat al-Qur’an tentang nafsu al-muṭmainnah di atas, serta adanya penjelasan, maka bisa diketahui bahwa jiwa yang tenang atau nafsu al-muṭmainnah itu merupakan jiwa yang beriman yang tidak ada takut dan duka di dalamnya. Nafsu al-muṭmainnah bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yakin dan beriman. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai nafsu al-muṭmainnah sekiranya ia mendapat nikmat, ia tidak melonjak-lonjak karena kegirangan, dan saat mendapat musibah ia juga tidak berdukacita, apalagi sampai membuatnya utus asa. Orang yang mempunyai nafsu al-muṭmainnah ialah orang yang mampu mengompromikan akal dengan hatinya untuk mengendalikan nafsunya, dan orang seperti inilah yang akan senantiasa mendapat keriḍaan dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Contoh dalam Islam dari uraian di atas adalah dalam setiap perjuangan, bahkan peperangan diperlukan ketenangan jiwa. Ketenteraman hati dalam menghadapi puncak-puncak perjuangan dapat dicapai dengan selalu ingat kepada Allah (ẓikrullah). Dengan ẓikrullah itu, pada dasarnya akan meningkatkan semangat juang. Ia mampu menghalau semangat putus asa yang menjadi musuh dalam selimut bagi diri manusia serta meningkatkan daya tahan, sehingga pantang mundur atau menghindar menjadi pembelot dalam pertempuran.
Sebagaimana peperangan Badar, di mana kekuatan pasukan kaum Musyrikin tiga kali lebih banyak dari padakaum Muslimin, dengan persenjataan yang lebih lengkap, maka dengan mengingat kepada Allah itulah yang melahirkan ketenangan dan kekuatan jiwa pasukan Islam.[8] Pada saat itu Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam berdo’a, yang bermaksud: " Ya Allah, bala tentera Quraisy yang lengkap dan teguh datang menyerbu untuk mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah! Berikanlah pertolongan yang telah Engkau janjikan. Ya Allah! Kalau tidak Engkau hancurkan kekuatan musuh itu, maka sesudah ini tidak ada orang lagi yang akan menyembah Engkau".
Doa Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam yang berlandaskan ẓikrullah itu diperkenankan Allah, sehingga akhirnya pasukan musuh yang kuat itu mengalami porak-peranda dan kemenangan berpihak kepada kaum Muslimin. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  mengirimkan bala bantuan 1000 malaikat yang menghancurkan barisan musuh sebagaimana yang tergambar di dalam al-Qur’an,
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[9]
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dengan mengingat Allah dalam setiap detik ketika mengarungi perjuangan hidup yang serba berkemungkinan ini, bisa berupaya menjadikan kita sebagai Muslim yang teguh jati diri dan mulia di sisi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Dengan memperoleh ketenangan jiwa dalam menjalani liku-liku kehidupan, insyaAllah segala nikmat dan cobaan yang datang akan dapat kita terima dengan rasa riḍa serta mengakui akan kebesaran Allah Sang Maha Pencipta.
Ketenangan yang dirasakan oleh individu, disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat kemunngkaran. Sulit bisa diterima jika individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat menyenangkan atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.
Untuk melatih diri agar mempunyai nafsu al-muṭminnah maka tugas terberat yang harus dilewati adalah membebaskan perbuatab kita dari campur tangan setan dan nafsu al-ammarah. Namun demikian, untuk melawan pengaruh nafsu Ammarah atas hati orang Mukmin, adalah dengan menyiasati dan tidak memperturutkan kemauan-kemauannya, sebagaimana sabda Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam  berikut:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ.[10]
Orang yang pandai ialah orang yang mau menyiasati nafsunya dan beramal untuk bekal kehidupan sesudah mati. Dan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah (dengan angan-angan kosong).

XX.Ayat Tentang Muṭmainnah Dalam al-Qur’an
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ[11]
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[12]
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا[13]
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
قَالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ[14]
Mereka berkata; "kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
إِنَّ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ[15]
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ[16]
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
قُلْ لَوْ كَانَ فِي الأرْضِ مَلائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَسُولا[17]
Katakanlah: "Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka malaikat menjadi rasul".
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[18]
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[19]
Wahai jiwa yang tenang.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[20]
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ[21]
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.
XXI.        
XXII.    Asbāb al-Nuzūl Ayat-Ayat Muṭmainnah Dalam al-Qur’an.
XXIII.           Telah diketahui bahwa tidak semua ayat al-Qur’an itu mempunyai asbāb al-Nuzūl termasuk ayat tentang muṭmainnah ini. Adapun beberapa ayat al-Qur’an terkait kata muṭmainnah yang ada asbāb al-Nuzūlnya adalah :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[22]
Menurut riwayat Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Muaḥid, asbāb al-nuzūl dari ayat ini adalah terkait tentang adanya orang-orang Makkah yang beriman dikirimi surat oleh para sahabat dari Madinah agar mereka berhirjah. Lalu mereka berangkat pergi ke Madinah akan tetapi dapat disusul oleh orang-orang kafir Qurays. Kemudian orang-orang kafir Qurays itu menganiaya mereka sehingga mereka terpaksa mengucapkan kata-kata kufur. Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa orang-orang yang terpaksa mengucapkan kata-kata kufur akan diampuni oleh Allah asalkan hatinya tetap beriman.[23]
Sedangkan asbāb al-nuzūl dari Surat al-Hajj ayat 11,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[24]
Menurut riwayat al-Bukhari yang bersumberkan dari Ibnu Abbas, adalah ketika ada seorang laki-laki datang ke Madinah, kemudian memeluk agama Islam. Ia memuji agamanya apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya berkembang biak. Namun ia mencaci maki agamanya apabila istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya tiada berkembang biak. Karena peristiwa itulah, kemudian ayat ini diturunkan.[25]
Kemudian mengenai asbāb al-Nuzūl Surat al-Fajr ayat 27,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[26]
Menurut Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Buraidah, diceritakan bahwa asbāb al-Nuzūlnya berkaitan dengan Hamzah yang meninggal secara syahid dalam medan peperangan, kemudian dari peristiwa itu diturunkan ayat ini sampai akhir surat. Namun dalam riwayat lain, yaitu riwayat Ibnu Abi Hatim dari Juwaibir dari al-Ḍahak yang bersumberkan dari Ibn Abbas, bahwa ayat tersebut diturunkan adalah terkait dengan sabda Nabi yang berbunyi "siapa yang akan membeli sumur Rumat untuk melepaskan dahaga?, mudah-mudahan Allah mengampuni dosanya. Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam  bersabda; Apakah engkau rela sumur itu dijadikan sumber air minum bagi semua orang?" lalu Usman mengiakannya. Maka Allah menurunkan ayat ini yang berkenaan dengan Usman.[27]


XXIV. Analisis Makna Muṭmainnah Dalam al-Qur’an
Salah satu dari tuntunan al-Qur’an adalah membentuk manusia yang paripurna dengan kepribadian yang saleh yang disebut dengan nafsu al-muṭmainnah. Dari ayat-ayat tentang nafsu al-muṭmainnah yang telah disebutkan di atas, maka bisa dianalisa beberapa ayat antara lain:
1.         QS. al-Baqarah(2): 260, ayat ini berbicara tentang bagaimana Nabi Ibrahim berusaha untuk memantapkan keimanan atau keyakinannya dengan menyampaikan pertanyaan kepada Allah bagaimana menghidupkan yang mati. Pada saat Nabi Ibrahim menyampaikan permohonannya beliau beliau belum sampai pada tingkat keimanan yang meyakinkan sehingga masih ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak beliau.
Kondisi seseorang pada tahap-tahap pertama akan selalu diliputi oleh aneka tanda tanya, ibaratnya seorang yang mendayung di lautan lepas yang sedang dilanda ombak dan gelombang, namun di jauh sana terbentang pulau harapan. Ombak dan gelombang inilah sebagi aneka pertanyaan yang muncul dalam benak seseorang baik karena keterbatasan pengetahuan maupun godaan setan. Kata لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي dalam ayat ini menurut kami adalah kemantapan iman akan kekuasaan dan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Kemudian QS. ar-Ra’d(13): 28, ayat ini membicarakan ketentraman hati disebabkan dengan ẓikrullah. Ulama berbeda pendapat tentang ẓikrullah dalam ayat ini. Ada yang memahami ẓikir dalam arti al-Qur’an, dikarenakan hal ini lebih sesuai sebagai jawaban terhadap keraguan kaum musyrikin. Ada juga ulama yang memahami arti ẓikir secara umum baik berupa ayat al-Qur’an atau selainnya. Ẓikir akan mengantarkan pada ketentraman jiwa apabila ẓikir itu dimaksudkan untuk mendorong hati menuju kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā bukan sekedar ucapan dengan lidah.
Oleh karena itu, kata muṭmainnah di sini bisa diartikan ketenangan atau ketentraman yang akan muncul apabila kita sering mengingat rahmat dan kasih sayang Allah serta adanya pengetahuan yang dilandasi dengan kesadaran akan kebesaran Allah.
Selanjutnya QS. Ali Imron (3): 126 dan QS. al-Anfal (8): 10, kedua ayat ini membicarakan kabar gembira berupa pertolongan Allah yang akan diberikan pada kaum muslimin. QS. al-Anfal (8): 10 turun dalam konteks perang badar, dimana kaum muslimin merasa sangat khawatir karena mereka lemah dari segi jumlah pasukan dan perlengkapan.
Sedangkan QS. Ali Imron (3): 126 turun dalam konteks perang Uhud dimana semangat kaum muslimin menggebu karena secara materi -jumlah pasukan dan perlengkapan sudah mencukupi- dan juga mereka yakin akan turunnya malaikat seperti waktu perang badar membuat banyak kaum muslimin yang tidak memenuhi persyaratan kesabaran dan ketakwaan yang telah ditetapkan Allah, akhirnya Allah tidak jadi menurunkan malaikat untuk membantu. Ini sebagai peringatan agar kaum muslimin tidak menganggap kehadiran malaikat yang membantu merupakan sebab kemenangan melainkan kemenangan itu bersumber dariNya. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan agar tidak memandang secara material tetapi hendaknya mengarah pada harapan kepada Allah. Sehingga kaum muslimin tidak sombong dalam meraih kemenangan dan juga tidak berputus asa dan lari dari medan juang.
Dari kedua ayat di atas kata وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ menurut penulis ketentraman yang muncul karena keyakinan akan pertolongan Allah untuk menghadapi segala masalah namun harus memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang telah ditentukan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Dari analisa di atas, bias dimengerti bahwa penulis beranggapan bahwa muṭmainnah atau ketentraman atau ketenangan akan dirasakan oleh seseorang apabila memiliki keyakinan yang mantap akan kekuasaan Tuhan, akan selalu mengingat rahmat dan kasih sayang Allah serta memiliki pengetahuan yang dilandasi kesadaran akan kebesaran Allah, dan memiliki keyakinan akan pertolongan Allah jika senantiasa dalam kesabaran dan ketakwaan.
Muṭmainnah adalah kepribadian yang telah diberi cahaya dalam hati, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi pada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan tentram.[28]


Kepribadian muṭmainnah dapat dicapai ketika jiwa diambang pintu ma’rifat Allah disertai dengan adanya ketundukan dan kepasrahan. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā :
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[29]
 Hai jiwa yang tenang.
XXV.     
XXVI. Kesimpilan
XXVII.                      Muṭmainnah adalah ketenangan jiwa yang condong kepada nilai-nilai Ketuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi. Muṭmainnah adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Dan cirri-ciri jiwa yang mencapai muṭmainnah berdasar QS. al-Fajr (89): 27-28 yaitu jiwa yang kembali pada tuhannya, yang riḍa dan di riḍai, jiwa yang termasuk dalam hamba Allah, dan akan masuk surga. Muṭmainnah bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yang yakin, yang beriman dan juga jiwa yang riḍa dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya.
XXVIII.                   Jiwa yang tenang itu tumbuh karena kemampuan menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya, dan senantiasa meletakkannya di atas dasar iman. Dengan dasar iman, maka manusia akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik menang maupun kalah dan lain-lain dengan perasaan riḍa dan iman bahkan selalu bersyukur dengan apa yang diterimanya. Sekiranya seseorang manusia itu mendapat nikmat, berhasil, dan mencapai kejayaan, dia tidak melonjak-lonjak karena kegirangan. Sebaliknya, jika mengalami bencana, muflis, kalah dalam perjuangan dan lain-lain, dia tidak berdukacita, apalagi berputus asa.
XXIX. Dalam situasi lain, mereka yang bersifat muṭmainnah ini, dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikir rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa yang tenang itu sentiasa merasa riḍa menghadapi apapun keadaannya, juga senantiasa mendapat keriḍaan Ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
al-Kalasyani, Abdul Razzaq, Mu’jam al-Istilahat al-Sufiyyah,Kairo: Dar al-Ma’arif, 1984.
al-Marāghī, Ahmad bin Musafa, Tafsir al-Marāghī, Mesir : Syirkah Maktabah, 1946.
al-Razi, Abu Abdillah Muhammad, Mafātihul Ghaib, Beirut : Dār al-Iḥya’, 1999. cet.3.
Badudu, JS dan Sutan Mohammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994.
bin Hanbal, Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal,t.tp: Muassasah al-Risālah, 2001. juz 28.
Dahlan, Ahmad, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001.
Hassan, Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.



[1] Al-Qur’an., 59:21.
[2] JS Badudu dan Sutan Mohammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) 1474.
[3] Ahmad bin Musafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī, (Mesir : Syirkah Maktabah, 1946) 260.
[4] Al-Qur’an., 89 : 27.
[5] Abu Abdillah Muhammad al-Razi, Mafātihul Ghaib, (Beirut : Dār al-Iḥya’, 1999) cet.3, 23-24.
[6] Al-Qur’an., 12:53.
[7] Al-Qur’an., 75:2.
[8] Ibrahim Hassan Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989) 49.
[9] Al-Qur’an., 8:10.
[10] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasah al-Risālah, 2001) juz 28, 350.
[11] Al-Qur’an., 3: 126.
[12] Al-Qur’an., 2:260.
[13] Al-Qur’an., 4:103.
[14] Al-Qur’an., 5:113.
[15] Al-Qur’an., 10:7.
[16] Al-Qur’an., 13:28.
[17] Al-Qur’an., 17:95.
[18] Al-Qur’an., 22:11.
[19] Al-Qur’an., 89:27.
[20] Al-Qur’an., 16:106.
[21] Al-Qur’an., 16: 112.
[22] Al-Qur’an., 16:106.
[23] Ahmad Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001) 315-316.
[24] Al-Qur’an., 22:11.
[25] Ibid., 356.
[26] Al-Qur’an., 89:27.
[27] Ibid., 643.
[28] Abdul Razzaq al-Kalasyani, Mu’jam al-Istilahat al-Sufiyyah,(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1984) 116.

[29] Al-Qur’an., 89:27.