SEJARAH PEREMBANGAN TAFSIR
PADA MASA NABI DAN SAHABAT
Makalah
Ditujukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perkembangan Tafsir
Dosen
Pengampu :
Abdullah
Mubarak, Lc.,
M. Th.I .
Oleh:
Joko
Supriyanto
NIM
: 2013.01.01.141
PROGRAM
STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG
REMBANG
2015
SEJARAH PEREMBANGAN TAFSIR
PADA MASA NABI DAN SAHABAT
Oleh
: Joko Supriyanto
I. Pendahuluan
Umat
Islam bisa berkembang, atau bahkan manusia secara umum pun, adanya perkembangan
mereka tidaklah mungkin dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa
adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran Al Qur’an yang meliputi segala unsur yang
menuntun munusia pada jalan menuju kebahagiaan.
Dan untuk bisa memahami ajaran-ajaran Al Qur’an, tidaklah cukup dengan
kita membaca teksnya tanpa mengetahui penafsirannya. Karena dengan mengetahui
penafsiran, kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam al-Qur’an
tersebut. Oleh kerena itu,
dapat kita sebut
bahwa mengetahui tafsir adalah anak
kunci perbendaharaan isi Al Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan tuntunan dan
memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan
menyejahterakan alam ini.
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban dan budaya manusia. Hal
ini dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan yang
terus berkembang, yang pada masa Nabi belum pernah ada. Jadi untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa keluar dari aturan al-Qur’an, para ulama’
akhirnya membuat penafsiran al-Qur’an yang nantinya bisa dijadikan hujjah
untuk menyelesaikan problem masyarakat. Maka dari itu, mau tidak mau, tafsir
harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan pada setiap perkembangan
zaman, guna memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi.
Hal
itulah yang membuat para peminat studi
al-Qur’an khususnya dan umat Islam pada umumnya dituntut untuk selalu cerdas
mengembangkan penafsiran al-Qur’an. Sebab setiap zaman memiliki kekhasannya
sendiri-sendiri. Tiap-tiap generasi melahirkan tafsir-tafsir al-Qur’an yang
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dengan tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan agama Islam sendiri. Maka dari itu perlunya untuk
mengetahui tentang sejarah dari pertumbuhan dan perkembangan tafsir Al Qur’an
adalah lantaran sangat berhajatnya kita kepada tafsir al-Qur’an ini.
Untuk
memberikan gambaran dan menambah wawasan pembaca mengenai perkembangan tafsir,
dalam makalah ini akan dibahas sejarah awal mulai adanya penafsiran al-Qur’an,
bentuk-bentuk dan karakteristik penyampaian tafsir pada awal mula perkembangan
tafsir, serta akan ditambahkan metode-metode yang dipakai pada masa itu.
II. Sejarah Awal Perkembangan Tafsir
Perkembangan
tafsir pada periode ini sering disebut perekembangan tafsir pada era klasik,
yaitu pada zaman Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam dan sahabatnya. Pada periode
ini termasuk dalam periode mutaqaddimin atau pada era awal pertumbuhan
Islam. Ciri utama penafsiran pada masa ini adalah :
1. Para penafsir adalah orang-orang yang
menjadi saksi hidup pada masa pewahyuan
Nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam.
2. Penafsiran umumnya disampaikan melalui
lisan (oral tradition) kecuali pada masa akhir periode ini yang telah
menggunakan catatan-catatan sederhana.
3. Selain riwayat, penafsiran disandarkan
pada bahasa dan budaya Arab yang masih digunakan dan disaksikan pada zamannya.
A. Tafsir Pada Masa Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam.
Bisa dikatakan bahwa tafsir pertama
kali ada mulai sejak ayat-ayat al-Qur’an itu mulai di turunkan. Dalam
praktiknya, ketika Rasulullah menerima wahyu berupa ayat al-Qur’an, kemudian
Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada sahabat dan menjelaskannya
berdasarkan apa yang beliau terima dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.[1] Sebagai
mana riwayat dari Siti ‘Aisyah Raḍiyallahu ‘Anha yang mengatakan bahwa
Rasulullah tidak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an kecuali beberapa ayat yang
telah diajarkan oleh Jibril Alayhi al-Salam.[2]
Menurut al-Suyuṭi, pada masanya, Nabi
merupakan penafsir tunggal dari al-Qur’an yang memiliki otoritas spiritual,
intelektual, dan sosial.[3]
Akan tetapi kebutuhan terhadap penafsiran pada masa itu tidak sebesar pada
masa-masa berikutnya.
Dalam penyampaiannya, tidak semua ayat
dalam Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Beliau
hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para
sahabat, karena memang hanya beliau yang dianugerahi Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā tentang tafsiran al-Qur’an. Begitupun dengan ayat-ayat yang
menerangkan tentang hal-hal gaib, yang tidak ada seorang pun tahu kecuali Allah
Subḥānahu wa Ta’ālā, seperti terjadinya hari kiamat, dan hakikat ruh, semua
itu tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa
Sallam.[4]
Selain itu, dalam menafsirkan al-Qur’an,
Nabi juga menggunakan bahasa yang tidak panjang lebar, beliau hanya menjelaskan
hal-hal yang masih samar dan global, memerinci sesuatu yang masih umum, dan
menjelaskan lafadz dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Ø Bentuk-bentuk tafsir yang dilakukan Nabi
Dalam
menafsirkan al-Qur’an, Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam juga
memiliki bentuk-bentuk tersendiri. Bentuk-bentuk penafsiran yang dilakukan oleh
Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam diantaranya adalah menafsirkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, hal ini sesuai dengan riwayat
yang disampaikan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Ibnu Mas’ud yang
mengatakan bahwa tatkala turun ayat;
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ[5]
Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman, mereka
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.
Banyak para sahabat yang merasa resah
karena mereka menganggap tidak akan bisa manusia hidup tanpa pernah melakukan
keḍaliman. Melihat hal tersebut, Rasulullah menjelaslaskan bahwa hakikat makna
lafaẓ ظلم
di ayat tersebut adalah sebagaimana lafaẓ ظلم pada ayat :[6]
لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ[7]
Janganlah kalian
menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah keḍaliman yang
besar.
Penafsiran
dengan bentuk menafsirkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an merupakan cara yang tepat dan paling baik. Ibnu Taimiyah berkata bahwa, apabila seseorang bertanya tentang cara penafsiran yang baik, maka jawabannya adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
itu sendiri.[8]
Selain
menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan suatu
ayat Al-Qur’an, Rasulullah
Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam juga menggunakan hadis dalam menafsirkan suatu
ayat. Misalnya dalam menafsirkan ayat;
هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَة[9]
Dia
(Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi
ampun.
Rasulullah
menggunakan hadis qudsi yang diriwayatkan oleh sahabat Anas Raḍiyallahu
‘Anhu, bahwa Allah Subḥānahu wa Ta’āla telah berfirman;
انااهل
ان اتقي فمن اتقانى فلم يجعل معى الها فانا اهل ان اغفرله[10]
“Aku (Allah) adalah Dhat yang patut
disembah. Barang siapa yang bertakwa dan tidak menjadikan sekutu bagi-Ku, maka
Aku akan mengampuninya.”
Bentuk dan karakteristik penafsiran yang
dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam tersebut
sekarang kita kenal dengan nama tafsir bi al-Ma’thur yang kehujjahannya
tidak perlu dipertanyakan lagi.
B. Tafsir Pada Masa Sahabat
Tafsir
pada masa ini mulai muncul setelah Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa
Sallam wafat. Sebelumnya pada waktu Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam
masih hidup, tak ada seorangpun dari sahabat yang berani menafsirkan Al Qur’an,
hal ini karena Nabi masih berada di tengah-tengah mereka, sehingga ketika
ditemukan suatu permasalahan, para sahabat cukup menayakannya kepada Nabi dan
permasalahan tersebut akan selesai.
Abdullah
ibn Abbas yang wafat pada tahun 68 H, adalah tokoh yang biasa dikenal senagai
orang pertama dari sahabat nabi yang menafsirkan al-Qur’an setelah nabi
Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Ia dikenal dengan julukan “Bahrul
Ulūm” (Lautan Ilmu), Habrul Ummah (Ulama’ Umat), dan Turjamanul
Qur’an (Penerjemah Al-Qur’an) sebagaimana telah diriwayatkan di atas, bahwa
nabi pernah berdo’a kepada Allah agar Ibnu Abbas diberi ilmu pengetahuan
tentang ta’wil al-Qur’an (lafadz-lafadz yang bersifat ta’wil dalam al-Qur’an).[11]
Ø Bentuk dan karakteristik tafsir Sahabat
Sahabat
dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada penekanan arti lafadz yang sesuai
serta menambahkan qawl (perkataan atau pendapat) supaya ayat al-Qur’an
mudah dipahami.
Sifat
tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar menerangkan makna dari segi bahasa
dengan keterangan-keteranagan ringkas dan belum lagi dilakukan istimbaṭ
hukum-hukum fiqih.[12]
Seperti
halnya Ibnu Abbas, dalam menafsirkan al-Qur’an ia mempergunakan Syawāhidu
as- Syair Arabi (Syair-syair kuno) guna untuk membuktikan kebenaran
al-Qur’an. Selain itu pula ia juga bertanya kepada golongan ahli kitab yang
telah masuk Islam, seperti Ka’ab al-Akhbar dan Abdullah ibn Salam. Menurut ibnu
Abbas, “Apabila terdapat dalam al-Qur’an sesuatu yang sulit dimengerti
maknanya, maka hendaklah kamu melakukan penelitian (melihat) pada syair-syair,
karena syair-syair itu adalah sastra Arab kuno. Dan di dalam al-Qur’an telah
ditetapkan adanya sebagian kalimat-kalimat mu’arabah (kata-kata asing yang diarabkan).[13]
Firman
Allah yang berbunyi :
وَفَاكِهَةً
وَأَبًّا[14]
dan buah-buahan serta rerumputan.
Abu ‘Ubaidah
memuatkan dalam buku al-Faḍāil dari Anas, bahwa Umar bin Khattab pernah
membaca ayat tersebut di atas mimbar. Dari ayat itu kemudian Umar mengatakan “
Kalau Fāqihah sudah umum kita ketahuai, tapi apakah ‘Abba itu?,
sesudah itu dia melihat dirinya sendiri. Lalu Abu ‘Ubaidah mengatakan : إن هذا لهو التكلف يا عمر . (ini sesuatu yang diberat-beratkan wahai
umar.)[15]
Juga firman Allah yang berbunyi :
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى[16]
Peliharalah semua shalat dan shalat wushtha
Siti
Aisyah menyandarkan ayat tersebut dengan menambahkan penafsirannya yaitu :
“shalat Ashar”.[17]
Dalam
berpendapat tentang tafsir dari suatu ayat, para sahabat juga tidak menggunakan
kehendak nafsunya sendiri atau dengan pemikiran tercela, melainkan menggunakan
pemikiran yang terpuji.
Tafsir
dengan pikiran yang tercela ialah apabila mufassir dalam memahami
pengertian kalimat yang khas dan mengistimbaṭkan hukum hanya dengan
menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at.[18]
Sedangkan
tafsir yang menggunakan pikiran yang terpuji ialah apabila mufassir dalam
menafsirkan ayat tidak bertentangan dengan tafsir ma’thūr. Selain itu
penafsirannya harus berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan
satu kaitan berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang
mulia.
Maka
dari itu, ulama’ mensyaratkan agar mufassir mempunyai ilmu yang memadai tentang
ilmu fiqih, ilmu al-Qur’an; ilmu Islam dan ilmu sosial. Ditambah dengan sifat wara’
atau mawas diri dan takut kepada Allah serta mempunyai daya nalar akal yang
tinggi.[19]
Ø Metode Sahabat dalam menafsirkan ayat
al-Qur’an
Dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an, para shahabat juga memiliki metode dan materi
tafsir tersendiri. Adapun metode dan materi tafsir menurut mereka adalah :[20]
1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Inilah yang paling baik.
2. Mengambil dari tafsir Nabi yang dihafal
sahabat beliau.
3. Menafsirkan dari apa yang mereka
sanggupi dari ayat-ayat yang bergantung pada kekuatan pemahaman mereka,
keluasan daya mendapatkannya, kedalaman mereka mengenai bahasa al-Qur’an dan
rahasianya, keadaan manusia pada waktu itu, dan adat istiadat mereka di tanah
arab.
4. Mengambil masukan dari apa yang mereka
dengar dari tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah masuk Islam dan baik Islam
mereka.
Ø Tokoh-tokoh tafsir pada masa sahabat
As-Suyuthy
dalam al-Itqan mengatakan bahwa sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu
tafsir ada sepuluh orang, yaitu:[21]
1. Abu Bakar ash-Shiddiq
2. Umar al-Faruq
3. Utsman Dzun Nurain
4. Ali bin Abi Thalib
5. Abdullah ibn Mas’ud
6. Abdullah ibn Abbas
7. Ubay ibn Ka’ab
8. Zaid ibn Tsabit
9. Abu Musa al-Asy’ary, dan
10. Abdullah ibn zubair
Yang
paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan khulafa’ ialah Ali ibn
Abi Thalib. Sedangkan yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan bukan
khulafa’ adalah Ibnu abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay ibn ka’ab.
Keempat
mufassir Ṣahabi ini mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas dalam
bahasa Arab. Mereka selalu menemani RasulullahSalla Allah ‘Alayhi wa Sallam
yang memungkinkan mereka mengetahui kejadian dan peristiwa-peristiwa nuzul
al-qur’an dan tidak pula merasa ragu menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad.
Ibnu
Abbas banyak pengetahuannya dalam hal tafsir, karena dapat bergaul lama dengan
sahabat-sahabt besar, walaupun beliau tidak lama dapat bergaul dengan
Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
Demikian
pula sahabat Ali, beliau hidup lebih lama daripada khalifah-khalifah
lainnya, saat umat Islam membutuhkan sekali kepada para ahli yang dapat
menafsirkan al-qur’an.
Demukian
pula banyak diterima riwayat dari Ibnu Mas’ud. Dan demikian pula banyak
diterima riwayat dari Ubay ibn Ka’ab al-Anshary salah seorang penulis wahyu.[22]
C. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara kongrit dapat dikatakan
bahwa tafsir al-Qur’an pada masa Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam dan
pada awal pertumbuhan Islam sifatnya pendek-pendek dan ringkas. Hal ini
dikarenakan penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk
memahami gaya bahasa al-Qur’an (Ushlub Kalam Al-Qur’an).
Dalam
penyampaiannya, tidak semua ayat dalam Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam. Beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan
maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat. Begitupun dengan ayat-ayat yang
menerangkan tentang hal-hal gaib seperti terjadinya hari kiamat dan hakikat
ruh, semua itu juga tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah Ṣallallah
Alayhi wa Sallam.
Selain
itu, dalam menafsirkan al-Qur’an, Nabi juga menggunakan bahasa yang tidak
panjang lebar, beliau hanya menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global,
memerinci sesuatu yang masih umum, dan menjelaskan lafadz dan hal-hal yang
berkaitan dengannya.
Adapun
Bentuk-bentuk penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi
wa Sallam adalah menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain
dan juga menggunakan hadis dalam menafsirkan suatu ayat.
Kemudian
untuk tafsir Shahabi itu muncul setelah adanya tafsir Rasulullah Salla
Allah ‘Alayhi wa Sallam. Bentuk dan karakteristik tafsir Sahabat itu
cenderung pada penekanan arti lafadz yang sesuai serta menambahkan qawl supaya
ayat al-Qur’an mudah difahami.
Dan
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, para sahabat juga memiliki metode dan materi
tafsir tersendiri, yaitu : Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, mengambil
dari tafsir Nabi yang dihafal sahabat beliau, menafsirkan dari apa yang mereka
sanggupi dari ayat-ayat yang bergantung pada kekuatan pemahaman mereka,
keluasan daya mendapatkannya, kedalaman mereka mengenai bahasa al-Qur’an dan
rahasianya, keadaan manusia pada waktu itu, dan adat istiadat mereka di tanah
arab dan mengambil masukan dari apa yang mereka dengar dari tokoh-tokoh Ahli
Kitab yang telah masuk Islam dan baik Islam mereka.
Kemudian
untuk tokoh-tokoh tafsir pada masa sahabat, yang masyhur yaitu: Abu Bakar
ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, Utsman Dzun Nurain, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa
al-Asy’ary, dan Abdullah ibn Zubair.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
Dzahabi (al), Muhammad Husain. Tafsir
wa al-Mufassirūn. Kairo : Maktabah wahbah, t.th. juz 1.
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok
Ulumul Qur’an. Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
Muhammad, Muhammad Abdurrahman. Penafsiran
Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad SAW, terj. Rosihon Anwar. Bandung:
CV Pustaka Setia, 1999.
Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad
Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir. Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Syurbasyi, Ahmad. Studi tentang
sejarah perkembangan tafsir al-qur’an al-karim. Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Suyuṭi (as), Imam
Jalaluddin. Al-Itqan fî Ulūm al-Qur’an. Bairut : DKI, 2012.
Tim Forum Karya Ilmiah
RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press,
2011.
Rahtikawati,Yayan, Dadan
Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 2013.
[1]
Yayan Rahtikawati, Dadan
Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2013)
31.
[2]
Ibid., 31.
[4] Tim
Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press, 2011). h. 201-202
[5] Al-Qur’an, 6:82.
[6] Muhammad
Abdurrahman Muhammad, Penafsiran Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad
SAW, terj. Rosihon Anwar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 99.
[7] Al-Qur’an, 31:13.
[8] Muhammad Abdurrahman Muhammad, Penafsiran
Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad SAW, terj. Rosihon Anwar, 101.
[9] Al-Qur’an, 74:56.
[10] H.R. At-Turmudhi.
[11] Ahmad Syurbasyi, Studi
tentang sejarah perkembangan tafsir al-qur’an al-karim,(Jakarta
: Kalam Mulia, 1999)
87.
[12] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, (Semarang
: Pustaka Rizki Putra, 2009) 183.
[13] Ibid., 88.
[15] Al-Dzahabi,
Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirūn, (Kairo : Maktabah wahbah, t.th) juz 1, 29.
[16] Al-Qur’an, 2 : 238
[18] Kahar Masyhur, Pokok-Pokok
Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992) 173.
[19] Ibid., 174.
[20] Ibid., 166.
[21] Imam Jalaluddin as-Suyuṭi, Al-Itqan
fî Ulûm al-Qur’an, (Bairut : DKI, 2012) 587.
[22] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 182-183.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^