PERAN BAHASA DALAM MEMAHAMI MAKNA HADIS
Makalah
Ditujukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Ma’ani al-Hadis
Dosen
Pengampu :
Abdullah
Zaki Mubarak, Lc., M. Th.I .
Oleh:
Joko
Supriyanto
NIM
: 2013.01.01.141
PROGRAM
STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG
REMBANG
2016
PERAN BAHASA DALAM MEMAHAMI MAKNA HADIS
Oleh
: Joko Supriyanto
I. Pendahuluan
Umat
Islam bisa berkembang, atau bahkan manusia secara umum pun, adanya perkembangan
mereka tidaklah mungkin dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa
adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran Islam, seperti halnya hadis yang meliputi
segala unsur yang menuntun munusia pada jalan menuju kebahagiaan. Dan untuk bisa memahami ajaran-ajaran di
dalam hadis, tidaklah cukup dengan kita membaca teksnya tanpa mengetahui makna
yang sebenarnya. Karena dengan
mengetahui makna sebenarnya,
kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam hadis tersebut. Oleh kerena itu, dapat kita sebut bahwa mengetahui makna hadis yang sebenarnya
adalah kunci untuk membuka pintu
kebahagiaan, karena di dalamnya kita bisa menemukan keterangan yang menjelaskan tuntunan untuk
memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan
menyejahterakan alam ini.
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa dalam memahami makna hadis, itu selalu berkembang seiring
dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Berbagai pendekatan banyak
bermunculan dan ikut serta dalam menghiasi khazanah keilmuan Islam dalam bidang
hadis, dan salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk memahami hadis adalah
pendekatan bahasa.
Untuk
memberikan gambaran dan menambah wawasan pembaca mengenai pendekatan bahasa,
dalam makalah ini akan dibahas hal tersebut. Mulai dari pengertiannya,
jenis-jenis matan hadis yang menjadi objeknya, batasan-batasannya, kelebihan
dan kekuranganya serta tidak lupa juga akan diberikan contoh yang bisa membantu
dalam memahaminya.
II. Peran Bahasa Dalam Memahami Makna Hadis
Pemahaman
Hadis dengan pendekatan bahasa memang diperlukan. Karena, Hadis tidak dapat
dipisahkan dari penelitian matannya yang berbahasa Arab. Bahasa yang digunakan
Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām dalam menyampaikan
berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar, beliau juga dikenal
sebagai orang yang paling fasih dalam berbahasa Arab.
Banyaknya
matan hadis yang semakna, dengan sanad yang sama-sama sahihnya dan tersusun
dengan lafaẓ yang berbeda, menurut ulama hadis, perbedaan lafaẓ
tersebut tidak akan mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama
sahih, maka hal itu bisa ditoleransi. Dari sini penelitian makna hadis dengan
menggunakan pendekatan bahasa menjadi penting.
A. Pengertian Bahasa dan Pendekatan Bahasa
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yg
arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.[1]
Secara singkat, bahasa juga bisa dikatakan sebagai alat komunikasi, baik berupa
ucapan ataupun tulisan.
Setelah
kita mengetahui arti kata bahasa, maka bisa diketahuai bahwa makna pendekatan
bahasa adalah pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa untuk memahami suatu
hal. Karena dalam konteks ini yang dibahas adalah hadis, maka pendekatan bahasa
ini diarahkan untuk memahami sebuah makna hadis.
Dalam sebuah
hadis tertentu, mungkin saja suatu lebih tepat dipahami secara tersurat
(tekstual), sedang hadis tertentu lebih tepat dipahami secara yang tersirat
(kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual, ini dilakukan
bila hadis yang bersangkutan, setelah diteliti dan dihubungkan dengan hal-hal
yang berkaitan dengannya, misal latar belakang terjadinya, tetap menuntut
pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan.
Sedangkan pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila di
balik teks suatu hadis ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).[2]
Dengan pendekatan bahasa untuk meneliti hadis
ini, kita bisa menggunakannya dalam banyak hal, selain dapat digunakan untuk
meneliti makna hadis, juga dapat digunakan untuk meneliti nilai sebuah hadis
apabila terdapat perbedaan lafadh dalam matan hadis. Seringkali
pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila sebuah matan hadis
terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghoh) yang memungkinkan mengandung
pengertian majazi sehingga berbeda dengan pengertian hakiki.[3]
Dalam memahami hadis menggunakan pendekatan
bahasa, maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata (mufradat) yang
samar yang terdapat dalam hadis. Setelah kita memahaminya, kita bisa melanjutkan
penelitian dengan melihat unsur-unsur keindahan bahasa. Setelah menguraikan
makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut, baru dapat ditarik kesimpulan
dari makna hadis tersebut.[4]
B. Jenis-Jenis Matan Hadis
Jika
dilihat dari segi matannya, hadis nabi memiliki bentuk matan yang beragam. Ada
yang berupa jawāmi’ al-kalīm, (yaitu ungkapan yang singkat, namun padat
makna), tamthīl (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa
percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyas) dan lain sebagainya. Dengan
adanya ragam bentuk matan tersebut, mengakibatkan pula perbedaan pemahaman
terhadap hadis Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām.
1. Jawāmi’ al-Kalīm
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الكَلِمِ،
وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، فَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ
الأَرْضِ، فَوُضِعَتْ فِي يَدِي»[5]
Dari Abu Hurairah Raḍiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām bersabda: “ Saya diutus (oleh Allah) dengan
(kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan yang singkat, namun padat makna,
dan saya ditolong dari ketakutan, maka ketika saya tidur, saya diberi kunci-kunci
perhiasan dunia, dan (kunci itu) diletakkan di tanganku.
Dari hadis tersebut, jelas
sekali bahwa Rasulullah juga menggunakan jawāmi’
al-kalīm sebagai media penyampaian hadisnya yang
mulia. Adapun contoh dari jawāmi’ al-kalīm dalam matan hadis adalah :
Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alayhi wa al-Salām bersabda : Perang adalah siasat.
Secara
tekstual, hadis itu memberi petunjuk bahwa perang adalah siasat, namun kata
siasat ini mempunyai banyak makna dalam pengaplikasiannya. Dari hadis tersebut
dijelaskan bahwa kita dibolehkan menerapkan siasat atau strategi dalam perang
atas orang-orang kafir. Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan
dengan bunyi teksnya, bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan
yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan
waktu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan
siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa
syarat.
2. Bahasa Tamthīl
Selain
menggunakan jawāmi’ al-kalīm dalam hadis, nabi juga menggunakan bahasa tamthīl,
yaitu mengibaratkan suatu hal dengan hal lainnya agar lebih mudah dipahami
dan dicerna akal. Contoh hadis dengan bahasa tamthīl adalah :
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَةُ الْكَافِرِ»[7]
Rasulullah
Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām bersabda, “Dunia itu penjaranya orang
yang beriman dan surganya orang kafir.
Secara
tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang
yang beriman. Karenanya, selama hidup di dunia orang beriman harus selalu dalam
penderitaan, dalam artian harus selalu berjuang untuk memenangkan akalnya atas
nafsunya. Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala
telah berada dalam surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir, hidup di
dunia ini adalah surga. Di akhirat, orang kafir berada dalam neraka.
3. Ungkapan Simbolik
Sebagaimana
dalam al-Quran, dalam hadis Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk
simbolik. Penetapan bahwa ungkapan suatu ayat ataupun suatu hadis berbentuk
simbolik adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada
pernyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai
bukan simbolik.
Berikut
adalah salah satu matan hadis yang merngandung ungkapan simbolik, hadis tentang
Dajjal yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: ذُكِرَ الدَّجَّالُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْكُمْ، إِنَّ
اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى عَيْنِهِ - وَإِنَّ
المَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ العَيْنِ اليُمْنَى، كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ
طَافِيَةٌ»[8]
Dari Abdullah
beliau berkata,”Dajjal diperbincangkan di sisi Rasulullah Ṣalla Allah
‘Alayhi wa al-Salām. kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah sudah
sangat jelas bagi kalian (tidak ada yang serupa dengan-Nya) dan sesungguhnya
Allah tidak buta sebelah mata, dan beliau menunjuk matanya. Ketahuilah,
sesungguhnya Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, matanya seperti buah anggur
yang timbul.
Pernyataan
bahwa Allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan simbolik. Allah Maha Suci
dari segala sifat yang menyamakan-Nya dengan makhluk. Ungkapan tersebut dapat
diartikan sebagai kekuasaan. Jadi maksud ungkapan tersebut adalah kekuasaan
yang sempurna.
Demikian
pula halnya pernyataan bahwa Dajjal itu buta matanya sebelah kanan merupakan
ungkapan simbolik. Bahkan, dari Dajjal juga merupakan ungkapan simbolik. Yakni,
keadaan yang penuh ketimpangan; para penguasa pada saat itu bersikap lalim,
kaum dhuafa` tidak diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiatan
lainnya telah melanda di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman semacam ini adalah
pemahaman secara kontekstual.
Berbeda
dengan pemahaman tersebut, di dalam berbagai kitab syarah hadis dijelaskan
bahwa Dajjal adalah makhluk yang gambaran fisiknya antara lain sebagaimana
disebutkan oleh berbagai matan hadis Nabi. Buta sebelah mata kanannya dan di
antara dua matanya tertulis kata “kafir”. Pemahaman yang demikian adalah
pemahaman secara tekstual.
4. Bahasa Percakapan
Seperti
halnya dengan manusia lainnya, Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām juga
hidup di tengah-tengah masyarakat. Dan beliau dikenal paling baik dalam
menjalin hubungan dengan sesama. Karenanya, cukup banyak matan hadis Nabi yang
berbentuk percakapan (dialog) dengan anggota masyarakat. Hadis Nabi yang berisi
dialog, antara lain sebagai berikut:
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ
الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى
مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ»[9]
Ada seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?”
Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu
menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.
Memberi
makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran
Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”,
maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa
matan hadis lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun
jawaban Nabi berbeda-beda. Ini dilakukan Nabi karena Nabi selalu memandang
orang yang bertanya kepadanya, dan memberikan jawaban yang sekiranya bisa
dilakukan oleh seseorang yang bertanya tersebut.
5. Ungkapan Analogi
Adakalanya
matan hadis Nabi berbentuk ungkapan analogi. Dalam ungkapan itu terlihat adanya
hubungan yang sangat logis. Berikut ini adalah contoh hadis yang mengandung
ungkapan analogi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلاَمًا أَسْوَدَ،
وَإِنِّي أَنْكَرْتُهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَمَا أَلْوَانُهَا؟»،
قَالَ: حُمْرٌ، قَالَ: «هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ؟»، قَالَ: إِنَّ فِيهَا
لَوُرْقًا، قَالَ: «فَأَنَّى تُرَى ذَلِكَ جَاءَهَا»، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
عِرْقٌ نَزَعَهَا، قَالَ: «وَلَعَلَّ هَذَا عِرْقٌ نَزَعَهُ»، وَلَمْ يُرَخِّصْ
لَهُ فِي الِانْتِفَاءِ مِنْهُ[10]
Dari Abu
Hurairah, bahwasanya ada seorang laki-laki Arab (dari Bani Fazarah) mengadu
kepada Nabi. Dia berkata, “Sesungguhnya isteri saya telah melahirkan seorang
anak laki-laki, kulitnya hitam. Saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda
sekali dengan kulit saya).” Lalu Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai
beberapa unta?” Orang itu menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apa saja
warna-warna kulitnya?” Dia menjawab, “Merah.” Beliau bertanya lagi, “Adakah di
antaranya yang berwarna (berkulit) abu-abu?” Dia menjawab, “Sesungguhnya di
antaranya ada (unta yang) berkulit abu-abu.” Beliau bersabda, “Maka
sesungguhnya saya menduga juga (bahwa unta merah milikmu itu) datang (berasal)
darinya (unta yang berkulit abu-abu tersebut).” Orang itu berkata, “Ya Rasulullah,
keturunan (unta merahku itu) berasal darinya (unta yang berkulit abu-abu
tersebut).” Nabi lalu menyatakan, “(Masalah anakmu yang berkulit hitam itu)
semoga berasal juga dari keturunan (nenek moyang)-nya.” Dan beliau tidak
membiarkan (orang itu) mengingkari anaknya.”
Secara
tekstual, matan hadis dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa
ada kesamaan antara ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadinya
perbedaan warna kulit antara anak dan ayah dapat disebabkan oleh warna kulit
yang berasal dari nenek moyang bagi anak tersebut. Ketentuan demikian itu,
bersifat universal. Ungkapan analogi dalam kasus ini dikuatkan pula oleh
kalangan medis.
C. Batasan Dalam Pendekatan Bahasa
Batasan-batasan
tekstual (normative) meliputi:
1.
Ide moral/ ide dasar/tujuan di balik teks(tersirat). Ide ini ditentukan dari
makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu
dan intersubyektif.
2.
Bersifat absolute (tidak terbatas), prinsipil
(berkaitan dengan asas), universal, fundamental (bersifat pokok).
3.
Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’āsharoh bi al-ma’ruf.
4.
Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala
sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun tanpa terpengaruh
oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi
tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya
(berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya.
Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat ?” sangat
tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai
macam khilafiyah pada tataran praktisnya.
D. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan-kelebihan
menggunakan pendekatan bahasa ialah:
Ø Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah
petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna
bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang
sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui
interpretasi yang tepat.
Ø Dapat mengatahui makna-makna dari lafaẓ-lafaẓ
yang Gharib serta memahami benar kalimat-kalimat yang bermakna haqiqi ataupun
majazi.
Adapun
kekurangannya yaitu:
Ø Implementasi pemahaman terhadap nash
secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru
menjadi alasan kehadiran Islam itu sendiri.
III. Kesimpulan
Pendekatan
bahasa adalah pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa untuk memahami suatu
hal. Karena dalam konteks ini yang dibahas adalah hadis, maka pendekatan bahasa
ini diarahkan untuk memahami sebuah makna hadis.
Jika
dilihat dari segi matannya, hadis nabi memiliki bentuk matan yang beragam. Ada
yang berupa jawāmi’ al-kalīm, (yaitu ungkapan yang singkat, namun padat
makna), tamthīl (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa
percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyas) dan lain sebagainya.
Dengan adanya ragam bentuk matan tersebut, mengakibatkan pula perbedaan
pemahaman terhadap hadis Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām. Penggunaan
bahasa (penyampaian) yang berbeda ini, dilakukan Nabi untuk mempermudah
pemahaman orang yang diajak bicara.
Untuk
batasan-batasan tekstual dalam pendekatan bahasa meliputi: Ide moral/ ide
dasar/tujuan di balik teks(tersirat), bersifat absolute, prinsipil, universal,
fundamental, mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’āsharoh bi
al-ma’ruf dan harus terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat
universal.
Menggunakan
pendekatan bahasa dalam memahami hadis ini juga ada kelebihan dan kekurangannya,
diantara kelebihannya adalah Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk
terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di
dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya,
yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang
tepat dan dapat mengatahui makna-makna dari lafaẓ-lafaẓ yang Gharib
serta memahami benar kalimat-kalimat yang bermakna haqiqi ataupun majazi. Adapun
kekurangannya yaitu: Implementasi pemahaman terhadap nash secara tekstual
seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi alasan
kehadiran Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar, Memahami
Hadis Nabi, Yogyakarta: YPI, 2001.
Bukhari (al) Muhammad bin Isma’il, Ṣahīh Bukhari, Beirut : Dār Ṭauq
al-Najah,1422, juz. 4, no. 2977.
Daud, Abu, Musnad Abu Daud, Mesir: Dār al-Hijr, 1999, juz. 3, no.
1886.
Hajjaj (al) Muslim bin, Ṣahīh Muslim, Beirut : Dār al-Ikhyā’ al-Turāth al-‘Arabi, t.th, juz. 3,
no. 1739.
Ismail, Syuhudi,
Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Tim Redaksi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013. ed. 4, cet. 7.
Zuhri,
Muhammad, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: LESFI, 2003.
[1] Tim Redaksi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013) ed. 4, cet. 7,
116.
[2] Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan
Bintang, t.th) 6.
[3] Nizar Ali, Memahami
Hadis Nabi, (Yogyakarta: YPI, 2001), 57-58.
[4] Muhammad
Zuhri, Telaah Matan Hadis, (Yogyakarta: LESFI, 2003) 54.
[5] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Ṣahīh Bukhari, (Beirut : Dār Ṭauq
al-Najah,1422) juz. 4, no. 2977, 54.
[6] Ibid., juz.4, no. 6060, 64. Hadis serupa juga diriwayatkan dalam banyak
kitab hadis, seperti yang ada dalam : Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, (Beirut
: Dār al-Ikhyā’ al-Turāth al-‘Arabi,
t.th) juz. 3, no. 1739, 1361, dalam bab Jawāzu al-Khidā’i fī al-Harbi.
[9] Ibid., juz. 1, no. 12, 12, hadis tentang amalan dalam Islam banyak sekali,
dengan redaksi matan dan isi yang berbeda pula, seperti yang terdapat dalam :
Abu Daud, Musnad Abu Daud, (Mesir: Dār al-Hijr, 1999) juz. 3, no. 1886,
329.
0 komentar:
Posting Komentar