Minggu, 15 Mei 2016

PERAN BAHASA DALAM MEMAHAMI MAKNA HADIS

PERAN BAHASA DALAM MEMAHAMI MAKNA HADIS

Makalah
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Ma’ani al-Hadis

Dosen Pengampu :
Abdullah Zaki Mubarak, Lc., M. Th.I .

 










Oleh:
Joko Supriyanto
NIM : 2013.01.01.141

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2016

PERAN BAHASA DALAM MEMAHAMI MAKNA HADIS
Oleh : Joko Supriyanto
I.     Pendahuluan
Umat Islam bisa berkembang, atau bahkan manusia secara umum pun, adanya perkembangan mereka tidaklah mungkin dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran Islam, seperti halnya hadis yang meliputi segala unsur yang menuntun munusia pada jalan menuju kebahagiaan.  Dan untuk bisa memahami ajaran-ajaran di dalam hadis, tidaklah cukup dengan kita membaca teksnya tanpa mengetahui makna yang sebenarnya. Karena dengan mengetahui makna sebenarnya, kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam hadis tersebut. Oleh kerena itu, dapat kita sebut bahwa mengetahui makna hadis yang sebenarnya adalah kunci untuk membuka pintu kebahagiaan, karena di dalamnya kita bisa menemukan keterangan yang menjelaskan tuntunan untuk memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa dalam memahami makna hadis, itu selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Berbagai pendekatan banyak bermunculan dan ikut serta dalam menghiasi khazanah keilmuan Islam dalam bidang hadis, dan salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk memahami hadis adalah pendekatan bahasa.
Untuk memberikan gambaran dan menambah wawasan pembaca mengenai pendekatan bahasa, dalam makalah ini akan dibahas hal tersebut. Mulai dari pengertiannya, jenis-jenis matan hadis yang menjadi objeknya, batasan-batasannya, kelebihan dan kekuranganya serta tidak lupa juga akan diberikan contoh yang bisa membantu dalam memahaminya.




II.  Peran Bahasa Dalam Memahami Makna Hadis
Pemahaman Hadis dengan pendekatan bahasa memang diperlukan. Karena, Hadis tidak dapat dipisahkan dari penelitian matannya yang berbahasa Arab. Bahasa yang digunakan Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar, beliau juga dikenal sebagai orang yang paling fasih dalam berbahasa Arab.
Banyaknya matan hadis yang semakna, dengan sanad yang sama-sama sahihnya dan tersusun dengan lafaẓ yang berbeda, menurut ulama hadis, perbedaan lafaẓ tersebut tidak akan mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu bisa ditoleransi. Dari sini penelitian makna hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa menjadi penting.
A.    Pengertian Bahasa dan Pendekatan Bahasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.[1] Secara singkat, bahasa juga bisa dikatakan sebagai alat komunikasi, baik berupa ucapan ataupun tulisan.
Setelah kita mengetahui arti kata bahasa, maka bisa diketahuai bahwa makna pendekatan bahasa adalah pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa untuk memahami suatu hal. Karena dalam konteks ini yang dibahas adalah hadis, maka pendekatan bahasa ini diarahkan untuk memahami sebuah makna hadis.
Dalam sebuah hadis tertentu, mungkin saja suatu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lebih tepat dipahami secara yang tersirat (kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual, ini dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah diteliti dan dihubungkan dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, misal latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Sedangkan pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila di balik teks suatu hadis ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).[2]
Dengan pendekatan bahasa untuk meneliti hadis ini, kita bisa menggunakannya dalam banyak hal, selain dapat digunakan untuk meneliti makna hadis, juga dapat digunakan untuk meneliti nilai sebuah hadis apabila terdapat perbedaan lafadh dalam matan hadis. Seringkali pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghoh) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi sehingga berbeda dengan pengertian hakiki.[3]
Dalam memahami hadis menggunakan pendekatan bahasa, maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata (mufradat) yang samar yang terdapat dalam hadis. Setelah kita memahaminya, kita bisa melanjutkan penelitian dengan melihat unsur-unsur keindahan bahasa. Setelah menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut, baru dapat ditarik kesimpulan dari makna hadis tersebut.[4]
B.     Jenis-Jenis Matan Hadis
Jika dilihat dari segi matannya, hadis nabi memiliki bentuk matan yang beragam. Ada yang berupa jawāmi’ al-kalīm, (yaitu ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamthīl (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyas) dan lain sebagainya. Dengan adanya ragam bentuk matan tersebut, mengakibatkan pula perbedaan pemahaman terhadap hadis Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām.
1.      Jawāmi’ al-Kalīm
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، فَبَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ الأَرْضِ، فَوُضِعَتْ فِي يَدِي»[5]
Dari Abu Hurairah Raḍiyallahu ‘Anhu, sesungguhnya Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām bersabda: “ Saya diutus (oleh Allah) dengan (kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan yang singkat, namun padat makna, dan saya ditolong dari ketakutan, maka ketika saya tidur, saya diberi kunci-kunci perhiasan dunia, dan (kunci itu) diletakkan di tanganku.
Dari hadis tersebut, jelas sekali bahwa Rasulullah juga menggunakan jawāmi’ al-kalīm sebagai media penyampaian hadisnya yang mulia. Adapun contoh dari jawāmi’ al-kalīm dalam matan hadis adalah :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الحَرْبُ خَدْعَةٌ»[6]
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām bersabda : Perang adalah siasat.
Secara tekstual, hadis itu memberi petunjuk bahwa perang adalah siasat, namun kata siasat ini mempunyai banyak makna dalam pengaplikasiannya. Dari hadis tersebut dijelaskan bahwa kita dibolehkan menerapkan siasat atau strategi dalam perang atas orang-orang kafir. Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.
2.      Bahasa Tamthīl
Selain menggunakan jawāmi’ al-kalīm dalam hadis, nabi juga menggunakan bahasa tamthīl, yaitu mengibaratkan suatu hal dengan hal lainnya agar lebih mudah dipahami dan dicerna akal. Contoh hadis dengan bahasa tamthīl adalah :
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَةُ الْكَافِرِ»[7]
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām bersabda, “Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir.
Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya, selama hidup di dunia orang beriman harus selalu dalam penderitaan, dalam artian harus selalu berjuang untuk memenangkan akalnya atas nafsunya. Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala telah berada dalam surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir, hidup di dunia ini adalah surga. Di akhirat, orang kafir berada dalam neraka.
3.      Ungkapan Simbolik
Sebagaimana dalam al-Quran, dalam hadis Nabi juga dikenal adanya ungkapan yang berbentuk simbolik. Penetapan bahwa ungkapan suatu ayat ataupun suatu hadis berbentuk simbolik adakalanya mengundang perbedaan pendapat. Bagi yang berpegang pada pernyataan secara tekstual, maka ungkapan yang bersangkutan dinyatakan sebagai bukan simbolik.
Berikut adalah salah satu matan hadis yang merngandung ungkapan simbolik, hadis tentang Dajjal yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: ذُكِرَ الدَّجَّالُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْكُمْ، إِنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى عَيْنِهِ - وَإِنَّ المَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ العَيْنِ اليُمْنَى، كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ»[8]
Dari Abdullah beliau berkata,”Dajjal diperbincangkan di sisi Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām. kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah sudah sangat jelas bagi kalian (tidak ada yang serupa dengan-Nya) dan sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata, dan beliau menunjuk matanya. Ketahuilah, sesungguhnya Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, matanya seperti buah anggur yang timbul.

Pernyataan bahwa Allah tidak buta sebelah mata adalah ungkapan simbolik. Allah Maha Suci dari segala sifat yang menyamakan-Nya dengan makhluk. Ungkapan tersebut dapat diartikan sebagai kekuasaan. Jadi maksud ungkapan tersebut adalah kekuasaan yang sempurna.
Demikian pula halnya pernyataan bahwa Dajjal itu buta matanya sebelah kanan merupakan ungkapan simbolik. Bahkan, dari Dajjal juga merupakan ungkapan simbolik. Yakni, keadaan yang penuh ketimpangan; para penguasa pada saat itu bersikap lalim, kaum dhuafa` tidak diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya telah melanda di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman semacam ini adalah pemahaman secara kontekstual.
Berbeda dengan pemahaman tersebut, di dalam berbagai kitab syarah hadis dijelaskan bahwa Dajjal adalah makhluk yang gambaran fisiknya antara lain sebagaimana disebutkan oleh berbagai matan hadis Nabi. Buta sebelah mata kanannya dan di antara dua matanya tertulis kata “kafir”. Pemahaman yang demikian adalah pemahaman secara tekstual.
4.      Bahasa Percakapan
Seperti halnya dengan manusia lainnya, Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām juga hidup di tengah-tengah masyarakat. Dan beliau dikenal paling baik dalam menjalin hubungan dengan sesama. Karenanya, cukup banyak matan hadis Nabi yang berbentuk percakapan (dialog) dengan anggota masyarakat. Hadis Nabi yang berisi dialog, antara lain sebagai berikut:
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ»[9]
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam yang manakah yang lebih baik?” Nabi menjawab: “Kamu memberi makan orang yang menghajatkannya dan kamu menyebarkan salam kepada orang yangkamu kenal dan yang tidak kamu kenal.
Memberi makan orang yang menghajatkannya dan menyebarkan salam memang salah satu ajaran Islam yang bersifat universal. Namun dalam hal sebagai “amal yang lebih baik”, maka hadis tersebut dapat berkedudukan sebagai temporal sebab ada beberapa matan hadis lainnya yang memebri petunjuk tentang amal yang lebih baik, namun jawaban Nabi berbeda-beda. Ini dilakukan Nabi karena Nabi selalu memandang orang yang bertanya kepadanya, dan memberikan jawaban yang sekiranya bisa dilakukan oleh seseorang yang bertanya tersebut.
5.      Ungkapan Analogi
Adakalanya matan hadis Nabi berbentuk ungkapan analogi. Dalam ungkapan itu terlihat adanya hubungan yang sangat logis. Berikut ini adalah contoh hadis yang mengandung ungkapan analogi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلاَمًا أَسْوَدَ، وَإِنِّي أَنْكَرْتُهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَمَا أَلْوَانُهَا؟»، قَالَ: حُمْرٌ، قَالَ: «هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ؟»، قَالَ: إِنَّ فِيهَا لَوُرْقًا، قَالَ: «فَأَنَّى تُرَى ذَلِكَ جَاءَهَا»، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِرْقٌ نَزَعَهَا، قَالَ: «وَلَعَلَّ هَذَا عِرْقٌ نَزَعَهُ»، وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُ فِي الِانْتِفَاءِ مِنْهُ[10]
Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang laki-laki Arab (dari Bani Fazarah) mengadu kepada Nabi. Dia berkata, “Sesungguhnya isteri saya telah melahirkan seorang anak laki-laki, kulitnya hitam. Saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda sekali dengan kulit saya).” Lalu Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai beberapa unta?” Orang itu menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apa saja warna-warna kulitnya?” Dia menjawab, “Merah.” Beliau bertanya lagi, “Adakah di antaranya yang berwarna (berkulit) abu-abu?” Dia menjawab, “Sesungguhnya di antaranya ada (unta yang) berkulit abu-abu.” Beliau bersabda, “Maka sesungguhnya saya menduga juga (bahwa unta merah milikmu itu) datang (berasal) darinya (unta yang berkulit abu-abu tersebut).” Orang itu berkata, “Ya Rasulullah, keturunan (unta merahku itu) berasal darinya (unta yang berkulit abu-abu tersebut).” Nabi lalu menyatakan, “(Masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga berasal juga dari keturunan (nenek moyang)-nya.” Dan beliau tidak membiarkan (orang itu) mengingkari anaknya.”
Secara tekstual, matan hadis dalam bentuk ungkapan analogi tersebut menyatakan bahwa ada kesamaan antara ras yang diturunkan oleh manusia dan unta. Terjadinya perbedaan warna kulit antara anak dan ayah dapat disebabkan oleh warna kulit yang berasal dari nenek moyang bagi anak tersebut. Ketentuan demikian itu, bersifat universal. Ungkapan analogi dalam kasus ini dikuatkan pula oleh kalangan medis.
C.    Batasan Dalam Pendekatan Bahasa
Batasan-batasan tekstual (normative) meliputi:
1. Ide moral/ ide dasar/tujuan di balik teks(tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubyektif.
2. Bersifat absolute (tidak terbatas),  prinsipil (berkaitan dengan asas), universal, fundamental (bersifat pokok).
3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’āsharoh bi al-ma’ruf.
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat ?” sangat tergantung pada konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyah pada tataran praktisnya.
D.    Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan-kelebihan menggunakan pendekatan bahasa ialah:
Ø  Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat.
Ø  Dapat mengatahui makna-makna dari lafaẓ-lafaẓ yang Gharib serta memahami benar kalimat-kalimat yang bermakna haqiqi ataupun majazi.
Adapun kekurangannya yaitu:
Ø  Implementasi pemahaman terhadap nash secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi alasan kehadiran Islam itu sendiri.
III. Kesimpulan
Pendekatan bahasa adalah pendekatan yang cenderung mengandalkan bahasa untuk memahami suatu hal. Karena dalam konteks ini yang dibahas adalah hadis, maka pendekatan bahasa ini diarahkan untuk memahami sebuah makna hadis.
Jika dilihat dari segi matannya, hadis nabi memiliki bentuk matan yang beragam. Ada yang berupa jawāmi’ al-kalīm, (yaitu ungkapan yang singkat, namun padat makna), tamthīl (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyas) dan lain sebagainya. Dengan adanya ragam bentuk matan tersebut, mengakibatkan pula perbedaan pemahaman terhadap hadis Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa al-Salām. Penggunaan bahasa (penyampaian) yang berbeda ini, dilakukan Nabi untuk mempermudah pemahaman orang yang diajak bicara.
Untuk batasan-batasan tekstual dalam pendekatan bahasa meliputi: Ide moral/ ide dasar/tujuan di balik teks(tersirat), bersifat absolute, prinsipil, universal, fundamental, mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’āsharoh bi al-ma’ruf dan harus terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal.
Menggunakan pendekatan bahasa dalam memahami hadis ini juga ada kelebihan dan kekurangannya, diantara kelebihannya adalah Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi yang tepat dan dapat mengatahui makna-makna dari lafaẓ-lafaẓ yang Gharib serta memahami benar kalimat-kalimat yang bermakna haqiqi ataupun majazi. Adapun kekurangannya yaitu: Implementasi pemahaman terhadap nash secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi alasan kehadiran Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nizar, Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: YPI, 2001.
Bukhari (al) Muhammad bin Isma’il, Ṣahīh Bukhari, Beirut : Dār Ṭauq al-Najah,1422, juz. 4, no. 2977.
Daud, Abu, Musnad Abu Daud, Mesir: Dār al-Hijr, 1999, juz. 3, no. 1886.
Hajjaj (al) Muslim bin, Ṣahīh Muslim, Beirut : Dār  al-Ikhyā’ al-Turāth al-‘Arabi, t.th, juz. 3, no. 1739.
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013. ed. 4, cet. 7.
Zuhri, Muhammad, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: LESFI, 2003.



[1] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013) ed. 4, cet. 7, 116.
[2] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th) 6.
[3] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: YPI, 2001), 57-58.
[4] Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis, (Yogyakarta: LESFI, 2003) 54.
[5] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Ṣahīh Bukhari, (Beirut : Dār Ṭauq al-Najah,1422) juz. 4, no. 2977, 54.
[6] Ibid., juz.4, no. 6060, 64. Hadis serupa juga diriwayatkan dalam banyak kitab hadis, seperti yang ada dalam : Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, (Beirut : Dār  al-Ikhyā’ al-Turāth al-‘Arabi, t.th) juz. 3, no. 1739, 1361, dalam bab Jawāzu al-Khidā’i fī al-Harbi.
[7] Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz 4, no. 2956, 2272.
[8] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Ṣahīh Bukhari, juz 9, no. 7407, 121.
[9] Ibid., juz. 1, no. 12, 12, hadis tentang amalan dalam Islam banyak sekali, dengan redaksi matan dan isi yang berbeda pula, seperti yang terdapat dalam : Abu Daud, Musnad Abu Daud, (Mesir: Dār al-Hijr, 1999) juz. 3, no. 1886, 329.
[10] Ibid., juz. 9, no. 7314, 101.

0 komentar:

Posting Komentar