KONSEP KETENANGAN JIWA MENURUT AL-QUR’AN
Oleh : Joko Supriyanto
I.
Pendahuluan
II. Tidak diragukan lagi
bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat sampai akhir zaman. Di samping al-Qur’an
mempunyai banyak keistimewaan, ia juga merupakan mukjizat yang luar biasa yang
memiliki kekuatan di luar kemampuan apapun. Bahkan dalam ayatNya Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā memberi perumpamaan seandainya al-Qur’an diturunkan ke sebuah
gunung, niscaya ia akan hancur tidak tersisa.
III.
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا
مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[1]
IV.
Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur'an ini kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
supaya mereka berpikir.
V. Bukti lain yang
menunjukkan kehebatan al-Qur’an ialah hingga saat ini ia masih murni dan tidak
ada perubahan sedikitpun semenjak al-Qur’an itu diturunkan. Selain itu
kandungan pesan yang disampaikan sejak abad ke-7 itu telah mampu menjawab
persoalan-persoalan kaum muslimin sampai sekarang. Oleh karena itu seseorang
yang menjaganya dan orang yang hidup dekat dengan al-Qur’an, ia akan banyak
mendapatkan ketenangan.
VI.
Jika berbicara mengenai ketenangan, kedamaian
ataupun ketentraman, pastinya semua orang menginginkannya. Namun tidak jarang
hal ini juga membawa problem dalam kehidupan semua manusia. Hal ini dikarenakan
banyak juga manusia yang mencari ketentraman dan kedamaian dengan cara yang
tidak dibenarkan syari’at.
VII.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengkaji
lebih jauh mengenai pemahaman dan makna muṭmainnah yang dalam al-Qur’an
biasa diartikan dengan jiwa yang tenang. Apakah muṭmainnah di sini merupakan
ketenangan yang cenderung hanya menerima keadaan begitu saja tanpa berbuat
sesuatu ataukah ketenangan yang senantiasa membuat manusia proaktif. Serta
bagaimanakah pemahaman makna muṭmainnah dalam al-Qur’an jika dipahami
untuk menghadapi kerasnya zaman yang terus bergerak. Dari berbagai pokok
permasalahan yang ada, maka fokus pembahasan pada pada makalah ini adalah bagaimana
konsep ketenangan jiwa menurut al-Qur’an.
VIII.
IX.
Penjelasan
Tentang Muṭmainnah
X. Secara bahasa, menurut JS
Badudu dan Sutan Mohammad Zein dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata muṭmainnah
bias diartikan sebagai bentuk ketenangan, lawan dari gelisah, resah, tidak
berteriak, tidak ada keributan atau kerusuhan.[2]
XI.
Sedangkan secara istilah, menurut al-Maraghi muṭmainnah adalah ketenangan jiwa
setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah
dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.[3]
Dalam al-Qur’an biasanya lafaẓ muṭmainnah ini disebutkan dengan redaksi nafsu al- muṭmainnah.
XIII.
Wahai jiwa yang tenang.
XIV.
Fakhrur Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jiwa
atau hati manusia itu satu, akan tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam.
Apabila hati itu condong dengan nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti petunjuk
kebenaran, maka ia dinamakan nafsu al-muṭmainnah (jiwa yang tenang dan
tentram). Jika ia condong pada hawa nafsu dan amarah, maka ia dinamakan nafsu
al-amarah. Selain itu juga terdapat nafsu al-lawwāmah, yaitu nafsu
yang selalu mengajak untuk menjaga eksistensinya sebagai manusia atau jiwa yang
amat menyesali dirinya.[5]
XV.
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا
رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ[6]
XVI.
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
XVIII.
dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
(dirinya sendiri).
XIX.
Dari ayat al-Qur’an tentang nafsu al-muṭmainnah di
atas, serta adanya penjelasan, maka bisa
diketahui bahwa jiwa yang tenang atau nafsu al-muṭmainnah itu merupakan jiwa yang beriman yang tidak
ada takut dan duka di dalamnya. Nafsu al-muṭmainnah bisa
diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yakin dan beriman. Oleh karena itu
seseorang yang mempunyai nafsu al-muṭmainnah sekiranya ia mendapat
nikmat, ia tidak melonjak-lonjak karena kegirangan, dan saat mendapat musibah
ia juga tidak berdukacita, apalagi sampai membuatnya utus asa. Orang yang
mempunyai nafsu al-muṭmainnah ialah orang yang mampu mengompromikan akal
dengan hatinya untuk mengendalikan nafsunya, dan orang seperti inilah yang akan
senantiasa mendapat keriḍaan dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Contoh dalam Islam dari uraian di atas adalah
dalam setiap perjuangan, bahkan peperangan diperlukan ketenangan jiwa. Ketenteraman hati
dalam menghadapi puncak-puncak perjuangan
dapat dicapai dengan selalu ingat kepada Allah (ẓikrullah). Dengan ẓikrullah
itu, pada dasarnya akan meningkatkan semangat juang. Ia mampu menghalau
semangat putus asa yang menjadi musuh dalam selimut bagi diri manusia serta
meningkatkan daya tahan, sehingga pantang mundur atau menghindar menjadi
pembelot dalam pertempuran.
Sebagaimana peperangan
Badar, di mana kekuatan pasukan kaum Musyrikin tiga kali lebih banyak dari
padakaum Muslimin, dengan persenjataan yang lebih lengkap, maka dengan
mengingat kepada Allah itulah yang melahirkan ketenangan dan kekuatan jiwa
pasukan Islam.[8]
Pada saat itu Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam berdo’a, yang
bermaksud: " Ya Allah, bala tentera Quraisy yang lengkap dan teguh datang
menyerbu untuk mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah! Berikanlah pertolongan yang telah Engkau janjikan.
Ya Allah! Kalau tidak Engkau hancurkan kekuatan musuh itu, maka sesudah ini
tidak ada orang lagi yang akan menyembah Engkau".
Doa Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa
Sallam yang berlandaskan ẓikrullah itu diperkenankan Allah, sehingga
akhirnya pasukan musuh yang kuat itu mengalami porak-peranda dan kemenangan
berpihak kepada kaum Muslimin. Allah
Subḥānahu wa Ta’ālā mengirimkan bala bantuan 1000 malaikat yang menghancurkan barisan musuh
sebagaimana yang tergambar di dalam al-Qur’an,
وَمَا
جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ
إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[9]
Dan
Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar
gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dengan mengingat Allah dalam setiap
detik ketika mengarungi perjuangan hidup yang serba berkemungkinan ini, bisa
berupaya menjadikan kita sebagai Muslim yang teguh jati diri dan mulia di sisi
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Dengan memperoleh ketenangan jiwa dalam
menjalani liku-liku kehidupan, insyaAllah segala nikmat dan cobaan yang datang
akan dapat kita terima dengan rasa riḍa serta mengakui akan kebesaran
Allah Sang Maha Pencipta.
Ketenangan yang dirasakan oleh individu, disebabkan karena aktifitas yang
dilakukan tetap dalam
prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi
berbuat kemunngkaran. Sulit bisa diterima jika individu beraktifitas dengan
tenang sementara aktifitas yang
dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat menyenangkan atau bahkan menenangkan
individu maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.
Untuk melatih diri agar mempunyai nafsu
al-muṭminnah maka tugas terberat yang harus dilewati adalah membebaskan
perbuatab kita dari campur tangan setan dan nafsu al-ammarah. Namun
demikian, untuk melawan pengaruh nafsu Ammarah atas hati orang Mukmin, adalah
dengan menyiasati dan tidak memperturutkan kemauan-kemauannya, sebagaimana
sabda Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam berikut:
الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ
أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ.[10]
Orang yang pandai ialah orang yang
mau menyiasati nafsunya dan beramal untuk bekal kehidupan sesudah mati. Dan orang
yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan
terhadap Allah (dengan angan-angan kosong).
XX.Ayat Tentang Muṭmainnah Dalam al-Qur’an
وَمَا
جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا
النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ[11]
Dan
Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar
gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَإِذْ قَالَ
إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ
قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ
الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ
جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ[12]
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,
perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman:
"Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
فَإِذَا
قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ
كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا[13]
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah
Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila
kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.
قَالُوا
نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ
صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ[14]
Mereka berkata; "kami ingin memakan hidangan itu dan
supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar
kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
إِنَّ
الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ[15]
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak
percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia
serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan
ayat-ayat Kami.
الَّذِينَ
آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ[16]
(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
قُلْ لَوْ
كَانَ فِي الأرْضِ مَلائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ
مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَسُولا[17]
Katakanlah: "Kalau seandainya ada malaikat-malaikat
yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit
kepada mereka malaikat menjadi rasul".
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ
بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا
وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[18]
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah
dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam
keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke
belakang. Rugilah
ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[19]
Wahai jiwa yang tenang.
مَنْ كَفَرَ
بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[20]
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar.
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا
رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ
لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ[21]
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah
ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat
Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.
XXI.
XXII.
Asbāb
al-Nuzūl Ayat-Ayat Muṭmainnah Dalam al-Qur’an.
XXIII.
Telah diketahui bahwa tidak semua ayat al-Qur’an itu
mempunyai asbāb al-Nuzūl termasuk ayat tentang muṭmainnah ini.
Adapun beberapa ayat al-Qur’an terkait kata muṭmainnah yang ada asbāb
al-Nuzūlnya adalah :
مَنْ كَفَرَ
بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[22]
Menurut riwayat Ibn Abi Hatim yang
bersumber dari Muaḥid, asbāb al-nuzūl dari ayat ini adalah terkait
tentang adanya orang-orang Makkah yang beriman dikirimi surat oleh para sahabat
dari Madinah agar mereka berhirjah. Lalu mereka berangkat pergi ke Madinah akan tetapi dapat disusul oleh orang-orang kafir Qurays. Kemudian orang-orang kafir Qurays itu menganiaya mereka
sehingga mereka terpaksa mengucapkan kata-kata kufur. Ayat tersebut turun
berkenaan dengan peristiwa tersebut yang
menegaskan bahwa orang-orang yang terpaksa mengucapkan kata-kata kufur akan
diampuni oleh Allah asalkan hatinya tetap beriman.[23]
Sedangkan asbāb al-nuzūl dari
Surat al-Hajj ayat 11,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ
بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا
وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[24]
Menurut riwayat al-Bukhari yang
bersumberkan dari Ibnu Abbas, adalah ketika ada seorang laki-laki datang ke
Madinah, kemudian memeluk agama Islam. Ia memuji agamanya apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya
berkembang biak. Namun ia mencaci maki agamanya apabila istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya
tiada berkembang biak. Karena peristiwa itulah, kemudian ayat
ini diturunkan.[25]
Kemudian mengenai asbāb al-Nuzūl Surat
al-Fajr ayat 27,
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[26]
Menurut Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Buraidah, diceritakan bahwa asbāb al-Nuzūlnya berkaitan dengan
Hamzah yang meninggal secara syahid dalam medan peperangan, kemudian dari
peristiwa itu diturunkan ayat ini sampai akhir surat. Namun dalam riwayat lain,
yaitu riwayat Ibnu Abi Hatim dari Juwaibir dari al-Ḍahak yang bersumberkan dari
Ibn Abbas, bahwa ayat tersebut diturunkan adalah terkait dengan sabda Nabi yang
berbunyi "siapa yang akan membeli sumur Rumat untuk melepaskan dahaga?,
mudah-mudahan Allah mengampuni dosanya. Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam bersabda; Apakah engkau rela sumur itu
dijadikan sumber air minum bagi semua orang?" lalu Usman mengiakannya. Maka Allah
menurunkan ayat ini yang berkenaan dengan Usman.[27]
XXIV.
Analisis
Makna Muṭmainnah Dalam al-Qur’an
Salah satu dari tuntunan al-Qur’an adalah membentuk manusia yang
paripurna dengan kepribadian
yang saleh yang disebut dengan nafsu al-muṭmainnah. Dari ayat-ayat
tentang nafsu al-muṭmainnah yang telah disebutkan di atas, maka bisa
dianalisa beberapa ayat antara lain:
1.
QS.
al-Baqarah(2): 260, ayat ini berbicara tentang bagaimana Nabi Ibrahim berusaha
untuk memantapkan keimanan atau keyakinannya dengan menyampaikan pertanyaan
kepada Allah bagaimana menghidupkan yang mati. Pada saat Nabi Ibrahim
menyampaikan permohonannya beliau beliau belum sampai pada tingkat keimanan
yang meyakinkan sehingga masih ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
benak beliau.
Kondisi
seseorang pada tahap-tahap pertama akan selalu diliputi oleh aneka tanda tanya,
ibaratnya seorang yang mendayung di lautan lepas yang sedang dilanda ombak dan
gelombang, namun di jauh sana terbentang pulau harapan. Ombak dan gelombang inilah sebagi aneka pertanyaan
yang muncul dalam benak seseorang baik karena keterbatasan pengetahuan maupun
godaan setan. Kata لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي dalam ayat ini menurut
kami adalah kemantapan iman akan kekuasaan dan kebesaran
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Kemudian QS. ar-Ra’d(13): 28, ayat ini membicarakan ketentraman hati
disebabkan dengan ẓikrullah. Ulama berbeda pendapat tentang ẓikrullah
dalam ayat ini. Ada yang memahami ẓikir dalam arti al-Qur’an, dikarenakan hal
ini lebih sesuai sebagai jawaban terhadap keraguan kaum musyrikin. Ada
juga ulama yang memahami arti ẓikir secara umum baik berupa ayat
al-Qur’an atau selainnya. Ẓikir akan mengantarkan pada ketentraman jiwa
apabila ẓikir itu dimaksudkan untuk mendorong hati menuju kesadaran akan
kebesaran dan kekuasaan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā bukan
sekedar ucapan dengan lidah.
Oleh karena
itu, kata muṭmainnah di sini bisa diartikan ketenangan atau ketentraman
yang akan muncul apabila kita sering mengingat rahmat dan kasih sayang Allah
serta adanya pengetahuan yang dilandasi dengan kesadaran akan kebesaran Allah.
Selanjutnya QS. Ali Imron (3): 126 dan QS. al-Anfal (8): 10, kedua ayat
ini membicarakan kabar gembira berupa pertolongan Allah yang akan
diberikan pada kaum muslimin. QS. al-Anfal (8): 10 turun dalam
konteks perang badar, dimana kaum muslimin merasa sangat
khawatir karena mereka lemah dari segi jumlah pasukan dan perlengkapan.
Sedangkan QS.
Ali Imron (3): 126 turun dalam konteks perang Uhud dimana semangat kaum
muslimin menggebu karena secara materi -jumlah pasukan dan perlengkapan sudah
mencukupi- dan juga mereka yakin akan turunnya malaikat seperti waktu perang
badar membuat banyak kaum muslimin yang tidak memenuhi persyaratan kesabaran
dan ketakwaan yang telah ditetapkan Allah, akhirnya Allah tidak jadi menurunkan
malaikat untuk membantu. Ini sebagai peringatan agar kaum
muslimin tidak menganggap kehadiran malaikat yang membantu merupakan sebab
kemenangan melainkan kemenangan itu bersumber dariNya. Hal ini bertujuan untuk
mengarahkan agar tidak memandang secara material tetapi hendaknya mengarah pada harapan
kepada Allah. Sehingga kaum muslimin tidak sombong dalam meraih kemenangan dan juga
tidak berputus asa dan lari dari medan juang.
Dari kedua ayat
di atas kata وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ menurut
penulis ketentraman yang muncul karena keyakinan akan pertolongan Allah untuk
menghadapi segala masalah namun harus memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan
yang telah ditentukan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Dari analisa di atas, bias dimengerti bahwa penulis
beranggapan bahwa muṭmainnah atau ketentraman atau ketenangan akan
dirasakan oleh seseorang apabila memiliki keyakinan yang mantap akan kekuasaan
Tuhan, akan selalu mengingat rahmat dan kasih sayang Allah serta memiliki
pengetahuan yang dilandasi kesadaran akan kebesaran Allah, dan memiliki
keyakinan akan pertolongan Allah jika senantiasa dalam kesabaran dan ketakwaan.
Muṭmainnah adalah
kepribadian yang telah diberi cahaya dalam hati, sehingga dapat meninggalkan
sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu
berorientasi pada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan
segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan tentram.[28]
Kepribadian muṭmainnah dapat
dicapai ketika jiwa diambang pintu ma’rifat Allah disertai dengan adanya
ketundukan dan kepasrahan. Begitu
tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā :
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[29]
Hai jiwa yang tenang.
XXV.
XXVI. Kesimpilan
XXVII.
Muṭmainnah adalah ketenangan jiwa yang condong kepada
nilai-nilai Ketuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi. Muṭmainnah
adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Dan
cirri-ciri jiwa yang mencapai muṭmainnah berdasar QS. al-Fajr (89):
27-28 yaitu jiwa yang kembali pada tuhannya, yang riḍa dan di riḍai,
jiwa yang termasuk dalam hamba Allah, dan akan masuk surga. Muṭmainnah bisa
diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yang yakin, yang beriman dan juga jiwa yang
riḍa dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi
bagiannya pasti akan datang kepadanya.
XXVIII.
Jiwa yang tenang itu tumbuh karena kemampuan
menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya, dan senantiasa meletakkannya
di atas dasar iman. Dengan dasar iman, maka manusia akan menerima segala
sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik menang maupun kalah
dan lain-lain dengan perasaan riḍa dan iman bahkan selalu bersyukur
dengan apa yang diterimanya. Sekiranya seseorang manusia itu mendapat nikmat,
berhasil, dan mencapai kejayaan, dia tidak melonjak-lonjak karena kegirangan.
Sebaliknya, jika mengalami bencana, muflis, kalah dalam perjuangan dan
lain-lain, dia tidak berdukacita, apalagi berputus asa.
XXIX. Dalam situasi lain,
mereka yang bersifat muṭmainnah ini, dapat menguasai diri dalam keadaan
apapun, berfikir rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya,
hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa yang tenang itu sentiasa merasa riḍa
menghadapi apapun keadaannya, juga senantiasa mendapat keriḍaan Ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
al-Kalasyani, Abdul Razzaq, Mu’jam al-Istilahat al-Sufiyyah,Kairo: Dar al-Ma’arif,
1984.
al-Marāghī, Ahmad bin Musṭafa, Tafsir al-Marāghī, Mesir : Syirkah Maktabah, 1946.
al-Razi, Abu Abdillah Muhammad, Mafātihul
Ghaib, Beirut : Dār al-Iḥya’, 1999. cet.3.
Badudu, JS dan Sutan Mohammad
Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994.
bin Hanbal, Ahmad, Musnad Imam Ahmad
bin Hanbal,t.tp: Muassasah al-Risālah, 2001. juz 28.
Dahlan, Ahmad, Asbabun Nuzul,
Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2001.
Hassan, Ibrahim Hassan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam,Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
[1]
Al-Qur’an., 59:21.
[2]
JS Badudu dan Sutan Mohammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1994) 1474.
[4]
Al-Qur’an., 89 : 27.
[5]
Abu Abdillah Muhammad al-Razi, Mafātihul Ghaib, (Beirut : Dār al-Iḥya’,
1999) cet.3, 23-24.
[6]
Al-Qur’an., 12:53.
[7]
Al-Qur’an., 75:2.
[9]
Al-Qur’an., 8:10.
[10]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasah al-Risālah,
2001) juz 28, 350.
[11]
Al-Qur’an., 3: 126.
[12]
Al-Qur’an., 2:260.
[13]
Al-Qur’an., 4:103.
[14]
Al-Qur’an., 5:113.
[15]
Al-Qur’an., 10:7.
[16]
Al-Qur’an., 13:28.
[17]
Al-Qur’an., 17:95.
[18]
Al-Qur’an., 22:11.
[19]
Al-Qur’an., 89:27.
[20]
Al-Qur’an., 16:106.
[22]
Al-Qur’an., 16:106.
[23]
Ahmad Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
al-Qur’an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001) 315-316.
[24]
Al-Qur’an., 22:11.
[25]
Ibid., 356.
[26]
Al-Qur’an., 89:27.
[27]
Ibid., 643.
[29]
Al-Qur’an., 89:27.
mantap sekali
BalasHapusWebsite paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.net
arena-domino.org
100% Memuaskan ^-^