Minggu, 15 Mei 2016

HUKUM MELAMAR DAN MELIHAT CALON PASANGAN DALAM PERSPEKTIF HADIS

HUKUM MELAMAR DAN MELIHAT CALON PASANGAN
DALAM PERSPEKTIF HADIS



Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hadits II

Dosen Pengampu
Dr. KH. Abdul Ghofur, MA.















Oleh:
Joko Supriyanto
NIM: 2013.01.01.141




PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR
SARANG REMBANG
2015

HUKUM MELAMAR DAN MELIHAT CALON PASANGAN
DALAM PERSPEKTIF HADIS
Oleh: Joko Supriyanto
I.          Pendahuluan
Nikah atau perkawinan merupakan sunnatullah pada hamba-hambaNya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan itu, khususnya manusia (laki-laki dan perempuan), Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan rumah tangganya.
Dalam hal ini Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman :
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ[1]
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.
Dalam pernikahan ini, kita juga dianjurkan untuk memilih pasangan yang benar, jangan sampai setelah menikah nanti kita merasa tidak nyaman, dan akhirnya mengakibatkan retaknya hubungan kekeluargaan. Untuk mencegah hal tersebut, Islam juga mensyari’atkan adanya pendekatan terlebih dahulu kepada calon besan dan khususnya calon istri agar saling mengenal terlebih dahulu. Bahkan untuk lebih mengenal calon istri, kita diperbolehlan melihatnya untuk memastikan adanya kecocokan dengan calon istrinya. Tindakan saling mengenal sebelum pernikahan ini biasa diistilahkan dengan melamar atau meminang, dan dalam bahasa arab biasa disebut dengan khiṭbah.
Untuk lebih memahami permasalahan khiṭbah dan hukum melihat calon istri atau wanita yang dilamar, serta sampai mana batasan-batasannya, dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal tersebut dengan meninjau salah satu sumber hukum Islam, yaitu al-Hadith, serta melengkapinya dengan menambahkan pandangan-pandangan fiqih.

II.          Syariat Khiṭbah Sebelum Pernikahan
A.    Pengertian Khiṭbah
Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan konsep yang jelas tentang berbagai hal  dengan berlandaskan al-Qur'an dan al-Sunnah yang ṣahīh sesuai dengan pemahaman para Salaf al-Ṣalīh, dan di antaranya adalah tentang tata cara melamar (meminang) atau khiṭbah sebelum dilakukan pernikahan.
Melamar atau khiṭbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khiṭbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan muqaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.[2]
Pinangan yang kemudian berlanjut dengan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khiṭbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dan lain-lain. Ada satu hal penting yang perlu kita perhatikan, yaitu anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, anggapan seperti itu adalah salah. Pertunangan belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mensyariatkan khiṭbah dengan maksud agar kedua belah pihak saling kenal mengenal terlebih dahulu, sehingga pernikahan yang akan mereka tempuh, nantinya benar-benar didasarkan pada saling perhatian dan transparansi (keterbukaan).
Masa khiṭbah bukanlah saat untuk memilih lagi. Dengan kita mengkhiṭbah wanita lain, berarti sudah menjadi komitmen kita untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi sebelum melakukan khiṭbah sebaiknya kita melakukan shalat istikharah terlebih dahulu. Khiṭbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendakinya.
B.     Hadis Tentang Khiṭbah
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ، عَنِ اللَّيْثِ وَغَيْرِهِ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ، عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ»[3]
Sesungguhnya Abdi al-Rahmān Ibn Shimāmah mendengar Uqbah Ibn `Āmir di atas mimbar mengucapkan : “Sesungguhnya Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam bersabda : ‘Orang mukmin adalah saudara (bagi) orang mukmin lainnnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaranya, dan tidak halal pula melamar (meminang) wanita yang sudah dilamar saudaranya, sehingga saudaranya itu telah meninggalkannya’.”
Selain hadis di atas, Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis tentang khiṭbah, yaitu:
حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ نَافِعًا، يُحَدِّثُ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، كَانَ يَقُولُ: «نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ»[4]
Ibnu Umar Raḍiyallahu ‘Anhuma berkata: “Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang saudaranya sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”
C.    Rawi A’lā
v  Uqbah Ibn Āmir
Uqbah Ibn Āmir Ibn ‘Abas al-Juhany mempunyai nama kuniah Abu Āmr. Ia merupakan salah satu sahabat Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Setelah Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam wafat, Uqbah Ibn Āmir ikut rombongan orang-orang yang pergi ke Syam di bawah pemerintahan Abu Bakar. Uqbah Ibn Āmir adalah salah satu orang yang menyaksikan terbukanya Syam dan Mesir. Ia juga menyaksikan perang Suffīn bersama Mu’āwiyyah. Setelah dari Syam, ia pindah ke Mesir dan menetap di sana. Ia wafat di akhir pemerintahan Mu’āwiyyah Ibn Abi Sufyan dan dimakamkan di pemakaman ahli Mesir di Muqaṭṭam.[5]
Ada beberapa sahabat yang meriwayatkan hadis dari Uqbah Ibn Āmir, di antaranya adalah Abu al-Khair, al-Qāsim, Abu Abdi al-Rahmān dan Su’aib Ibn Zar’ah.[6]
D.    Makna ‘Ām
Dalam hadis ini Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam menjelaskan tiga hal yang penting untuk kita ketahui. Pertama Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam menjelaskan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Hal ini serupa dengan yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[7]
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Dengan mengetahui bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka hal tersebut akan mendorong untuk saling membantu antar sesama dan akan menciptakan hubungan persaudaraan dengan saling tenggang rasa.
Selanjutnya Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam menerangkan larangan seorang mukmin untuk membeli suatu barang yang sudah dibeli atau sedang ditawar oleh saudara sesama mukmin. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan rasa saling menghormati antar sesama.
Hadis ini secara jelas juga menerangkan pengharaman melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, dalam arti wanita tersebut masih berstatus sebagai makhtūbah. Para ulama’ sepakat atas pengharaman khiṭbah tersebut dengan melihat redaksi hadis فَلَا يَحِلُّ yang berarti tidak halal dan menunjukkan indikasi adanya keharaman.[8]
Mengenai khiṭbah semacam ini, Imam Nawawi berpendapat, jika seorang wanita telah menerima lamaran dari satu laki-laki, maka laki-laki lain tidak diperbolehkan untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama melamar membatalkan lamarannya atau mengizinkan orang lain untuk melamarnya. Ini merupakan pendapat yang paling rājih menurut madzab Syafi’i.[9]
Namun mengenai sah atau tidaknya akad nikah yang didahului dengan khiṭbah seperti di atas, para ulama’ banyak yang berbeda pendapat. Imam Nawawi dan Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa akad nikah mereka tetap sah, namun ia mendapat dosa karena telah menẓalimi saudara seimannya. Imam Malik dan ulama’-ulama’ semasanya berpendapat bahwa nikah tersebut bisa difasakh sebelum adanya jima’.[10]
Pendapat lain mengenai hadis ini juga muncul ketika ditinjau dari segi khāṭibnya. Al-Auzā’i dan Ahmad berpendapat bahwa pengharaman khiṭbah semacam ini hanya berlaku bagi sesama muslim. Jadi, dalam arti lain ketika ada orang kafir meminang seorang wanita, maka diperkenankan orang muslim meminang wanita tersebut jika ia berkehendak. Namun kebanyakan dari ulama’ Fiqh berpendapat bahwa pengharaman tersebut bersifat umum, jadi tidak ada bedanya hak antara orang muslim dengan orang kafir.[11]

III.          Hukum Melihat Calon Pasangan
A.    Hadis Tentang Melihat Calon Pasangan
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟»، قَالَ: لَا، قَالَ: «فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا»[12]
Abu Hurairah berkata: “Ketika aku bersama dengan Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam, datanglah seorang laki-laki dan mengabarkan bahwa ia akan menikahi perempuan dari kaum Anṣār, maka Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam bertanya : ‘Apakah kamu sudah melihat dia?’, Laki-laki itu menjawab: ‘Tidak’.  Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia, sesungguhnya di dalam mata orang-orang Anṣār terdapat sesuatu’.”

B.     Makna Hadis
Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan. Karena pandangan peminang terhadap terpinang adalah bagian dari syarat keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Dalam hadis ini, Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam                        secara jelas membolehkan untuk melihat wanita yang mau dilamar, dengan bukti beliau telah memerintahkannya pada seorang laki-laki yang datang kepada beliau.
Mengenai batasan yang boleh dilihat, ada beberapa pendapat, di antaranya adalah melihat sebatas wajah dan telapak tangan, ini adalah pendapat Imam Nawawi dan Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ulama’ ahli Kuffah dan Jumhur Ulama’. Karena dengan melihat wajah itu sudah cukup menjadi dasar untuk menilai dan mengukur kecantikan wanita yang dipinang itu, dan dengan melihat telapak tangan, sudah bisa diketahui akan kesehatan dan kebugaran seorang wanita yang dipinang tersebut.[13]
Selain pendapat di atas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kita diperbolehkan melihat seluruh anggota tubuh. Ini merupakan pendapat Daud al-Ẓahiri, dan ulama’ lain banyak yang menentang pendapatnya.[14]
Dalam hadis ini juga bisa dimengerti bahwa tidak ada syarat untuk mendapatkan izin terlebih dahulu ketika mau melihat calon pasangan, karena Rasulullah sendiri yang telah memberikan izin.[15]

IV.          Pembahasan Fiqih[16]
A.    Khiṭbah
1.      Perempuan yang boleh dikhiṭbah
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    Tidak dalam pinangan orang lain.
b.    Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
c.    Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i.
d.   Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirri.
2.      Karakteristik khiṭbah
Diantara hal yang disepakati mayoritas ulama fiqh, syariat, dan perundang-undangan, bahwa tujuan pokok khiṭbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.  Khiṭbah tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti nikah. Dalam akad nikah, memiliki ungkapan khusus (ijab qobul) dan seperangkat persyaratan tertentu. Dengan begitu segala sesuatu yang tidak demikian bukan nikah secara syara’.
Karakteristik khiṭbah hanya semata berjanji akan menikah, dan masing-masing calon pasangan hendaknya melakukan perjanjian ini dengan didasarkan pada pilihannya sendiri.  Perjanjian itu akan tetap tidak tergoyahkan atau tidak berubah. Bahkan andaikan mereka telah sepakat dengan kadar mahar, dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus kepada wanita terpinang, atau wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerima hadiah yang berharga, semua itu tidak menggeser status janji semata (khiṭbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahatMaslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka.  Diantara maslahat tersebut adalah jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
Jika seorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia harus melaksanankan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan kerelaan.  Demikian yang diterangkan kitab-kitab fiqh secara ijma’ tanpa ada perselisihan.  Kesepakatan tersebut tidak berpengaruh terhadap apa yang diriwayatkan dari Imam Malik bahwa perjanjian itu harus dipenuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagian pendapat.  Akan tetapi dalam perjanjian akad nikah tidak harus dipenuhi, karena penetapan janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis ini.[17]
3.      Macam-macam khiṭbah
-          Taṣrīh
Adalah ungkapan yang jelas dan tegas, dimana khiṭbah disampaikan dengan menggunakan ungkapan yang tidak bisa ditaafsirkan apapun kecuali hanya khiṭbah. Seperti kalimat berikut ini : Saya melamar dirimu untuk ku jadikan istriku, atau Bila masa iddahmu sudah selesai, aku ingin menikahi dirimu.
-          Ta’rīdh
Yang dimaksud dengan ta’rid (تعريض) adalah penyampaian khiṭbah yang menggunakan kata sindiran, sehingga bisa ditafsirkan menjadi khitbah atau juga bisa bermakna sesuatu yang lain di luar khiṭbah. Hukum mengkhiṭbah seorang wanita yaitu, jika wanita tersebut sudah di thalaq ba’in atau ditinggal mati suaminya maka hukum mengkhiṭbah dengan cara ta’rīdh yaitu mubah (boleh), akan tetapi jika masih dalam keadaan thalaq raj’i maka hukumnya haram. Contoh kata sindiran seperti contoh seorang yang berkata: Sesungguhnya aku ingin nikah, semoga Allah memudahkanku untuk mencari wanita shalihah.
4.      Syarat sah khiṭbah
Peminangan yang diperbolehkan agama adalah:
a)      Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai yaitu tidak ada hubungan keluarga atau mahram, tunggal susuan, muṣoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b)      Tidak berstatus tunangan orang lain.
B.     Melihat Calon Pasangan
1.      Waktu melihat calon pasangan
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) utuk menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil.  Syarat lain berkenaan dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat, itu baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain.
Langkah diatas adalah suatu langkah yang baik untuk mencapai maslahat.  Jika dilaksanakan dengan baik, akan mempunyai akibat yang baik pula.  Jika tidak jadi dinikahi karna laki-laki tersebut kurang tertarik, tetap terjaga kehormatan wanita tersebut, tidak tersakiti, dan terpatahkan semangat.Langkah-langkah inilah yang tempuh oleh orang-orang terhormat yang mempunyai rasa malu.
2.         Berduaan dengan calon pasangan
Syariat Islam memperbolehkan laki-laki melihat wanita terpinang, demikian juga wanita terpinang boleh melihat laki-laki peminang. Penglihatan masing-masing ini dimaksudkan agar saling memahami dan menerima sebelum melangkah ke pernikahan. Kebolehan melihat tersebut hanya pada saat khiṭbah.  Oleh karena itu, peminang tidak boleh menyendiri atau berduaan dengan wanita terpinang, tidak boleh pergi bersama, keluar untuk rekresi, dan lain-lain kecuali disertai dengan mahram (saudara).  Hal tersebut untuk menolak fitnah, menjauhi tempat-tempat keraguan, memelihara kehormatan dan kemuliaan gadis, sungguh-sungguh memelihara masa depan, dan menjaga kehormatan keluarganya.
Syariat Islam memperbolehkan melihat wanita terpinang karena maslahat, sedangkan segala bentuk yang menimbulkan bencana atau kerusakan itu terlarang. Oleh karena itu, tidak boleh melihat wanita terpinang di tempat sepi tanpa disertai salah seorang keluarga (mahram).  Bersepian dengan seorang wanita lain haram hukumnya, kecuali bagi mahram atau suami sendiri.  Asumsi diperbolehkannya pacaran, bergaul bebas, dan bersepian dengan maksud saling mengetahui sifat atau karakter calon teman pasangannya sebelum menikah adalah asumsi batil, tidak benar.  Hal tersebut dikarenakan masing-masing individu akan membebani teman calon pasangannya berdiri di luar karakter dan menampakkan dirinnya tidak seperti biasa.
V.          Hikmah disyari’atkan khiṭbah dal melihat calon pasangan
Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah.  Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan atau khiṭbah adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.  Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi dari al-Mughirah bin Syu’bah yang bunyinya :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رِزْمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ، عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، قَالَ: خَطَبْتُ امْرَأَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟» قُلْتُ: لَا، قَالَ: «فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا»[18]
al-Mughirah Ibn Syu’bah Raḍiyallahu ‘Anhu berkata: “aku pernah melamar seorang wanita dimasa nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam, maka nabi bersabda: lihatlah dia, karena hal itu lebih menjamin kecocokan di antara kamu berdua.”
VI.          Kesimpulan
Khiṭbah (melamar) adalah suatu bentuk perasaan senang yang dilahirkan oleh si khātib (laki-laki yang mempersunting) kepada makhtūbah (perempuan yang dilamar) untuk menikahinya. Khiṭbah merupakan langkah pertama yang dilakukan seorang laki-laki sebelum proses akad nikah. Untuk melaksanakan proses peminangan, dapat dilakukan oleh dirinya sendiri atau pun dipercayakan kepada salah seorang keluarganya atau saudara laki-lakinya. Tujuannya tidak lain untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Juga agar perkawinannya itu sendiri dapat berjalan atas dasar pemikiran yang mendalam dan mendapatkan  hidayah. Lebih jauh lagi, dengan hal tersebut akan menjadikan suasana kekeluargaan nantinya akan berjalan erat antara suami, istri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Khiṭbah ini merupakan perjanjian akan adanya pernikahan, dan dengan adanya janji tersebut, bukan berarti memberikan kebebasan bagi orang yang melamar dan yang dilamar untuk saling berhubungan layaknya suami-istri.
Dalam syariat khiṭbah ini, juga disayaratkan untuk wanita yang dilamar adalah bukan mahram dan tidak dalam pinangan orang lain. Adapun cara mengkhiṭbah itu bisa dengan taṣrīh maupun ta’rīdh.
Kemudian untuk hukum memandang wanita terpinang, syariat Islam membolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan.  Karena pandangan peminang terhadap terpinang bagian dari syarat keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. 
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang adalah pada saat seorang laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) untuk menikah dan ada kemampuan baik secara fisik maupun materiil.  Syarat lain berkenaan dengan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain.
Hikmah di syari’atkan khiṭbah adalah untuk lebih menguatkan ikatan dan melanggengkan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.


Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Ahnan,  Maftuh, Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita, Surabaya: Terbit Terang, t.th.
Baghdady (al), Abu Abdillah Muhammad Ibn Sa’id, al-Ṭabaqāt al-Kubra, Beirut: Dāru Ṣadr,1968.
Baghdady (al), Zainuddin Abdurrahman Ibn Ahmad, Jāmi’ al-Ulūm wa al-Hukmi Fī Syarhi Khamsīna Hadīthan Min Jawāmi’i al-Kalim, Beirut: Muassasah al-Risālah, 2001.
Baihaqi (al), Ahmad bin al-Husain, Sunan al-Kubra, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,2003.
Bukhārī (al), Muhammad bin Ismā’īl, Ṣahīh al-Bukhārī, Damaskus: Dāru Ṭauq al-Najāh, 1422.
Ibnu Abi Hatim, Al-Rāzi, al-Jarhu wa al-Ta’dīl, Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turāth al-‘Araby, 1952.
Ibn Syaraf, Abu Zakaria Muhyiddin Ibn Yahya, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turath al-‘Araby, 1392.
Nasa’i (al), Abu Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’aib, Sunan al-Ṣaghri Li al-Nasa’i, Halbi: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah,1986.
Naysābūrī (al), Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslīm, Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turāth al-‘Araby, t.th.
Ṭabrani (al), Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Kabīr, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994.
Qundail, Muhammad Abdullatif, Fiqh al-Nikāh wa al-Farāidh, t.tp: t.np, t.th.



[1] Al-Qur’an., 51: 49.
[2] Muhammad Abdullatif Qundail, Fiqh al-Nikāh wa al-Farāidh, (t.tp: t.np, t.th) 26.
[3] Muslim bin al-Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣahīh Muslīm, (Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turāth al-‘Araby, t.th) 2:1034, no. 1414. Hadis serupa dengan sanad yang berbeda juga bisa ditemukan di: Sulaiman bin Ahmad al-Ṭabrani, al-Mu’jam al-Kabīr, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994)  cet.2, 17:316, no. 873. Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,2003) cet.3, 5:566, no.10899.
[4] Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, (Damaskus: Dāru Ṭauq al-Najāh, 1422)  7:19, no. 5142.
[5] Abu Abdillah Muhammad Ibn Sa’id al-Baghdady, al-Ṭabaqāt al-Kubra, (Beirut: Dāru Ṣadr,1968) 7:498.
[6] Al-Rāzi Ibnu Abi Hatim, al-Jarhu wa al-Ta’dīl, (Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turāth al-‘Araby, 1952) cet.1, 6:13.
[7] Al-Qur’an., 49:10.
[8] Abu Zakaria Muhyiddin Ibn Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, (Beirut: Dāru Ihyā’ al-Turath al-‘Araby, 1392) juz 9, 197.
[9] Ibid., juz 9, 197.
[10] Ibid., juz 9, 197.
[11] Zainuddin Abdurrahman Ibn Ahmad al-Baghdady, Jāmi’ al-Ulūm wa al-Hukmi Fī Syarhi Khamsīna Hadīthan Min Jawāmi’i al-Kalim, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2001)  2:270.
[12] Muslim bin al-Hajjaj al-Naysābūrī, Ṣahīh Muslīm, 2:1040, no. 1424. Banyak hadis yang menjelaskan tentang diperbolehkannya melihat calon pasangan, meski dengan sanad dan matan yang berbeda-beda, namun status hadisnya masih ṣahīh. Di antaranya bisa dilihat pada: Abu Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Ṣaghri Li al-Nasa’i, (Halbi: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah,1986) 6:69, no. 3235 dan Ahmad Ibn al-Husain al-Baihaqy, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003) 7:135, no. 13486.
[13] al-Nawawi, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, 9:211.
[14] Ibid., 9:211.
[15] Ibid., 9:211.
[16] Maftuh Ahnan, Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita, (Surabaya: Terbit Terang, t.th) 279-191.
[17] al-Nawawi, al-Minhāj Syarah Ṣahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, 9:211.
[18] Sunan al-Ṣaghri Li al-Nasa’i, (Halbi: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmiyah,1986) 6:69, no. 3235

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.net
    arena-domino.org
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus