Minggu, 15 Mei 2016

KONSEP KETENANGAN JIWA MENURUT AL-QUR’AN

KONSEP KETENANGAN JIWA MENURUT AL-QUR’AN
Oleh : Joko Supriyanto
I.         Pendahuluan
II.  Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat sampai akhir zaman. Di samping al-Qur’an mempunyai banyak keistimewaan, ia juga merupakan mukjizat yang luar biasa yang memiliki kekuatan di luar kemampuan apapun. Bahkan dalam ayatNya Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberi perumpamaan seandainya al-Qur’an diturunkan ke sebuah gunung, niscaya ia akan hancur tidak tersisa.
III.              لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ[1]
IV.                  Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.
V.  Bukti lain yang menunjukkan kehebatan al-Qur’an ialah hingga saat ini ia masih murni dan tidak ada perubahan sedikitpun semenjak al-Qur’an itu diturunkan. Selain itu kandungan pesan yang disampaikan sejak abad ke-7 itu telah mampu menjawab persoalan-persoalan kaum muslimin sampai sekarang. Oleh karena itu seseorang yang menjaganya dan orang yang hidup dekat dengan al-Qur’an, ia akan banyak mendapatkan ketenangan.
VI.                       Jika berbicara mengenai ketenangan, kedamaian ataupun ketentraman, pastinya semua orang menginginkannya. Namun tidak jarang hal ini juga membawa problem dalam kehidupan semua manusia. Hal ini dikarenakan banyak juga manusia yang mencari ketentraman dan kedamaian dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at.
VII.                    Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengkaji lebih jauh mengenai pemahaman dan makna muṭmainnah yang dalam al-Qur’an biasa diartikan dengan jiwa yang tenang. Apakah muṭmainnah di sini merupakan ketenangan yang cenderung hanya menerima keadaan begitu saja tanpa berbuat sesuatu ataukah ketenangan yang senantiasa membuat manusia proaktif. Serta bagaimanakah pemahaman makna muṭmainnah dalam al-Qur’an jika dipahami untuk menghadapi kerasnya zaman yang terus bergerak. Dari berbagai pokok permasalahan yang ada, maka fokus pembahasan pada pada makalah ini adalah bagaimana konsep ketenangan jiwa menurut al-Qur’an.
VIII.                  
IX.   Penjelasan Tentang Muṭmainnah
X.  Secara bahasa, menurut JS Badudu dan Sutan Mohammad Zein dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata muṭmainnah bias diartikan sebagai bentuk ketenangan, lawan dari gelisah, resah, tidak berteriak, tidak ada keributan atau kerusuhan.[2]
XI. Sedangkan secara istilah, menurut al-Maraghi muṭmainnah adalah ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.[3] Dalam al-Qur’an biasanya lafaẓ muṭmainnah ini disebutkan dengan redaksi nafsu al- muṭmainnah.
XII.         يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[4]
XIII.            Wahai jiwa yang tenang.
XIV.                 Fakhrur Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa jiwa atau hati manusia itu satu, akan tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam. Apabila hati itu condong dengan nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti petunjuk kebenaran, maka ia dinamakan nafsu al-muṭmainnah (jiwa yang tenang dan tentram). Jika ia condong pada hawa nafsu dan amarah, maka ia dinamakan nafsu al-amarah. Selain itu juga terdapat nafsu al-lawwāmah, yaitu nafsu yang selalu mengajak untuk menjaga eksistensinya sebagai manusia atau jiwa yang amat menyesali dirinya.[5]
XV.        وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ[6]
XVI.            Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
XVII.                        وَلا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ[7]
XVIII.      dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
XIX.                 Dari ayat al-Qur’an tentang nafsu al-muṭmainnah di atas, serta adanya penjelasan, maka bisa diketahui bahwa jiwa yang tenang atau nafsu al-muṭmainnah itu merupakan jiwa yang beriman yang tidak ada takut dan duka di dalamnya. Nafsu al-muṭmainnah bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yakin dan beriman. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai nafsu al-muṭmainnah sekiranya ia mendapat nikmat, ia tidak melonjak-lonjak karena kegirangan, dan saat mendapat musibah ia juga tidak berdukacita, apalagi sampai membuatnya utus asa. Orang yang mempunyai nafsu al-muṭmainnah ialah orang yang mampu mengompromikan akal dengan hatinya untuk mengendalikan nafsunya, dan orang seperti inilah yang akan senantiasa mendapat keriḍaan dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Contoh dalam Islam dari uraian di atas adalah dalam setiap perjuangan, bahkan peperangan diperlukan ketenangan jiwa. Ketenteraman hati dalam menghadapi puncak-puncak perjuangan dapat dicapai dengan selalu ingat kepada Allah (ẓikrullah). Dengan ẓikrullah itu, pada dasarnya akan meningkatkan semangat juang. Ia mampu menghalau semangat putus asa yang menjadi musuh dalam selimut bagi diri manusia serta meningkatkan daya tahan, sehingga pantang mundur atau menghindar menjadi pembelot dalam pertempuran.
Sebagaimana peperangan Badar, di mana kekuatan pasukan kaum Musyrikin tiga kali lebih banyak dari padakaum Muslimin, dengan persenjataan yang lebih lengkap, maka dengan mengingat kepada Allah itulah yang melahirkan ketenangan dan kekuatan jiwa pasukan Islam.[8] Pada saat itu Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam berdo’a, yang bermaksud: " Ya Allah, bala tentera Quraisy yang lengkap dan teguh datang menyerbu untuk mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah! Berikanlah pertolongan yang telah Engkau janjikan. Ya Allah! Kalau tidak Engkau hancurkan kekuatan musuh itu, maka sesudah ini tidak ada orang lagi yang akan menyembah Engkau".
Doa Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam yang berlandaskan ẓikrullah itu diperkenankan Allah, sehingga akhirnya pasukan musuh yang kuat itu mengalami porak-peranda dan kemenangan berpihak kepada kaum Muslimin. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā  mengirimkan bala bantuan 1000 malaikat yang menghancurkan barisan musuh sebagaimana yang tergambar di dalam al-Qur’an,
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[9]
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dengan mengingat Allah dalam setiap detik ketika mengarungi perjuangan hidup yang serba berkemungkinan ini, bisa berupaya menjadikan kita sebagai Muslim yang teguh jati diri dan mulia di sisi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Dengan memperoleh ketenangan jiwa dalam menjalani liku-liku kehidupan, insyaAllah segala nikmat dan cobaan yang datang akan dapat kita terima dengan rasa riḍa serta mengakui akan kebesaran Allah Sang Maha Pencipta.
Ketenangan yang dirasakan oleh individu, disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat kemunngkaran. Sulit bisa diterima jika individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat menyenangkan atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.
Untuk melatih diri agar mempunyai nafsu al-muṭminnah maka tugas terberat yang harus dilewati adalah membebaskan perbuatab kita dari campur tangan setan dan nafsu al-ammarah. Namun demikian, untuk melawan pengaruh nafsu Ammarah atas hati orang Mukmin, adalah dengan menyiasati dan tidak memperturutkan kemauan-kemauannya, sebagaimana sabda Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam  berikut:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ.[10]
Orang yang pandai ialah orang yang mau menyiasati nafsunya dan beramal untuk bekal kehidupan sesudah mati. Dan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah (dengan angan-angan kosong).

XX.Ayat Tentang Muṭmainnah Dalam al-Qur’an
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ[11]
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[12]
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا[13]
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
قَالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ[14]
Mereka berkata; "kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
إِنَّ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ[15]
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ[16]
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
قُلْ لَوْ كَانَ فِي الأرْضِ مَلائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَسُولا[17]
Katakanlah: "Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka malaikat menjadi rasul".
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[18]
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[19]
Wahai jiwa yang tenang.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[20]
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ[21]
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.
XXI.        
XXII.    Asbāb al-Nuzūl Ayat-Ayat Muṭmainnah Dalam al-Qur’an.
XXIII.           Telah diketahui bahwa tidak semua ayat al-Qur’an itu mempunyai asbāb al-Nuzūl termasuk ayat tentang muṭmainnah ini. Adapun beberapa ayat al-Qur’an terkait kata muṭmainnah yang ada asbāb al-Nuzūlnya adalah :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ[22]
Menurut riwayat Ibn Abi Hatim yang bersumber dari Muaḥid, asbāb al-nuzūl dari ayat ini adalah terkait tentang adanya orang-orang Makkah yang beriman dikirimi surat oleh para sahabat dari Madinah agar mereka berhirjah. Lalu mereka berangkat pergi ke Madinah akan tetapi dapat disusul oleh orang-orang kafir Qurays. Kemudian orang-orang kafir Qurays itu menganiaya mereka sehingga mereka terpaksa mengucapkan kata-kata kufur. Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa orang-orang yang terpaksa mengucapkan kata-kata kufur akan diampuni oleh Allah asalkan hatinya tetap beriman.[23]
Sedangkan asbāb al-nuzūl dari Surat al-Hajj ayat 11,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[24]
Menurut riwayat al-Bukhari yang bersumberkan dari Ibnu Abbas, adalah ketika ada seorang laki-laki datang ke Madinah, kemudian memeluk agama Islam. Ia memuji agamanya apabila istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya berkembang biak. Namun ia mencaci maki agamanya apabila istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya tiada berkembang biak. Karena peristiwa itulah, kemudian ayat ini diturunkan.[25]
Kemudian mengenai asbāb al-Nuzūl Surat al-Fajr ayat 27,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[26]
Menurut Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Buraidah, diceritakan bahwa asbāb al-Nuzūlnya berkaitan dengan Hamzah yang meninggal secara syahid dalam medan peperangan, kemudian dari peristiwa itu diturunkan ayat ini sampai akhir surat. Namun dalam riwayat lain, yaitu riwayat Ibnu Abi Hatim dari Juwaibir dari al-Ḍahak yang bersumberkan dari Ibn Abbas, bahwa ayat tersebut diturunkan adalah terkait dengan sabda Nabi yang berbunyi "siapa yang akan membeli sumur Rumat untuk melepaskan dahaga?, mudah-mudahan Allah mengampuni dosanya. Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam  bersabda; Apakah engkau rela sumur itu dijadikan sumber air minum bagi semua orang?" lalu Usman mengiakannya. Maka Allah menurunkan ayat ini yang berkenaan dengan Usman.[27]


XXIV. Analisis Makna Muṭmainnah Dalam al-Qur’an
Salah satu dari tuntunan al-Qur’an adalah membentuk manusia yang paripurna dengan kepribadian yang saleh yang disebut dengan nafsu al-muṭmainnah. Dari ayat-ayat tentang nafsu al-muṭmainnah yang telah disebutkan di atas, maka bisa dianalisa beberapa ayat antara lain:
1.         QS. al-Baqarah(2): 260, ayat ini berbicara tentang bagaimana Nabi Ibrahim berusaha untuk memantapkan keimanan atau keyakinannya dengan menyampaikan pertanyaan kepada Allah bagaimana menghidupkan yang mati. Pada saat Nabi Ibrahim menyampaikan permohonannya beliau beliau belum sampai pada tingkat keimanan yang meyakinkan sehingga masih ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak beliau.
Kondisi seseorang pada tahap-tahap pertama akan selalu diliputi oleh aneka tanda tanya, ibaratnya seorang yang mendayung di lautan lepas yang sedang dilanda ombak dan gelombang, namun di jauh sana terbentang pulau harapan. Ombak dan gelombang inilah sebagi aneka pertanyaan yang muncul dalam benak seseorang baik karena keterbatasan pengetahuan maupun godaan setan. Kata لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي dalam ayat ini menurut kami adalah kemantapan iman akan kekuasaan dan kebesaran Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Kemudian QS. ar-Ra’d(13): 28, ayat ini membicarakan ketentraman hati disebabkan dengan ẓikrullah. Ulama berbeda pendapat tentang ẓikrullah dalam ayat ini. Ada yang memahami ẓikir dalam arti al-Qur’an, dikarenakan hal ini lebih sesuai sebagai jawaban terhadap keraguan kaum musyrikin. Ada juga ulama yang memahami arti ẓikir secara umum baik berupa ayat al-Qur’an atau selainnya. Ẓikir akan mengantarkan pada ketentraman jiwa apabila ẓikir itu dimaksudkan untuk mendorong hati menuju kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā bukan sekedar ucapan dengan lidah.
Oleh karena itu, kata muṭmainnah di sini bisa diartikan ketenangan atau ketentraman yang akan muncul apabila kita sering mengingat rahmat dan kasih sayang Allah serta adanya pengetahuan yang dilandasi dengan kesadaran akan kebesaran Allah.
Selanjutnya QS. Ali Imron (3): 126 dan QS. al-Anfal (8): 10, kedua ayat ini membicarakan kabar gembira berupa pertolongan Allah yang akan diberikan pada kaum muslimin. QS. al-Anfal (8): 10 turun dalam konteks perang badar, dimana kaum muslimin merasa sangat khawatir karena mereka lemah dari segi jumlah pasukan dan perlengkapan.
Sedangkan QS. Ali Imron (3): 126 turun dalam konteks perang Uhud dimana semangat kaum muslimin menggebu karena secara materi -jumlah pasukan dan perlengkapan sudah mencukupi- dan juga mereka yakin akan turunnya malaikat seperti waktu perang badar membuat banyak kaum muslimin yang tidak memenuhi persyaratan kesabaran dan ketakwaan yang telah ditetapkan Allah, akhirnya Allah tidak jadi menurunkan malaikat untuk membantu. Ini sebagai peringatan agar kaum muslimin tidak menganggap kehadiran malaikat yang membantu merupakan sebab kemenangan melainkan kemenangan itu bersumber dariNya. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan agar tidak memandang secara material tetapi hendaknya mengarah pada harapan kepada Allah. Sehingga kaum muslimin tidak sombong dalam meraih kemenangan dan juga tidak berputus asa dan lari dari medan juang.
Dari kedua ayat di atas kata وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ menurut penulis ketentraman yang muncul karena keyakinan akan pertolongan Allah untuk menghadapi segala masalah namun harus memenuhi syarat kesabaran dan ketakwaan yang telah ditentukan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.
Dari analisa di atas, bias dimengerti bahwa penulis beranggapan bahwa muṭmainnah atau ketentraman atau ketenangan akan dirasakan oleh seseorang apabila memiliki keyakinan yang mantap akan kekuasaan Tuhan, akan selalu mengingat rahmat dan kasih sayang Allah serta memiliki pengetahuan yang dilandasi kesadaran akan kebesaran Allah, dan memiliki keyakinan akan pertolongan Allah jika senantiasa dalam kesabaran dan ketakwaan.
Muṭmainnah adalah kepribadian yang telah diberi cahaya dalam hati, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi pada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan tentram.[28]


Kepribadian muṭmainnah dapat dicapai ketika jiwa diambang pintu ma’rifat Allah disertai dengan adanya ketundukan dan kepasrahan. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah Subḥānahu wa Ta’ālā :
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ[29]
 Hai jiwa yang tenang.
XXV.     
XXVI. Kesimpilan
XXVII.                      Muṭmainnah adalah ketenangan jiwa yang condong kepada nilai-nilai Ketuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi. Muṭmainnah adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Dan cirri-ciri jiwa yang mencapai muṭmainnah berdasar QS. al-Fajr (89): 27-28 yaitu jiwa yang kembali pada tuhannya, yang riḍa dan di riḍai, jiwa yang termasuk dalam hamba Allah, dan akan masuk surga. Muṭmainnah bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yang yakin, yang beriman dan juga jiwa yang riḍa dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya.
XXVIII.                   Jiwa yang tenang itu tumbuh karena kemampuan menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya, dan senantiasa meletakkannya di atas dasar iman. Dengan dasar iman, maka manusia akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik menang maupun kalah dan lain-lain dengan perasaan riḍa dan iman bahkan selalu bersyukur dengan apa yang diterimanya. Sekiranya seseorang manusia itu mendapat nikmat, berhasil, dan mencapai kejayaan, dia tidak melonjak-lonjak karena kegirangan. Sebaliknya, jika mengalami bencana, muflis, kalah dalam perjuangan dan lain-lain, dia tidak berdukacita, apalagi berputus asa.
XXIX. Dalam situasi lain, mereka yang bersifat muṭmainnah ini, dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikir rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa yang tenang itu sentiasa merasa riḍa menghadapi apapun keadaannya, juga senantiasa mendapat keriḍaan Ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
al-Kalasyani, Abdul Razzaq, Mu’jam al-Istilahat al-Sufiyyah,Kairo: Dar al-Ma’arif, 1984.
al-Marāghī, Ahmad bin Musafa, Tafsir al-Marāghī, Mesir : Syirkah Maktabah, 1946.
al-Razi, Abu Abdillah Muhammad, Mafātihul Ghaib, Beirut : Dār al-Iḥya’, 1999. cet.3.
Badudu, JS dan Sutan Mohammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994.
bin Hanbal, Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal,t.tp: Muassasah al-Risālah, 2001. juz 28.
Dahlan, Ahmad, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001.
Hassan, Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.



[1] Al-Qur’an., 59:21.
[2] JS Badudu dan Sutan Mohammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) 1474.
[3] Ahmad bin Musafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī, (Mesir : Syirkah Maktabah, 1946) 260.
[4] Al-Qur’an., 89 : 27.
[5] Abu Abdillah Muhammad al-Razi, Mafātihul Ghaib, (Beirut : Dār al-Iḥya’, 1999) cet.3, 23-24.
[6] Al-Qur’an., 12:53.
[7] Al-Qur’an., 75:2.
[8] Ibrahim Hassan Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989) 49.
[9] Al-Qur’an., 8:10.
[10] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasah al-Risālah, 2001) juz 28, 350.
[11] Al-Qur’an., 3: 126.
[12] Al-Qur’an., 2:260.
[13] Al-Qur’an., 4:103.
[14] Al-Qur’an., 5:113.
[15] Al-Qur’an., 10:7.
[16] Al-Qur’an., 13:28.
[17] Al-Qur’an., 17:95.
[18] Al-Qur’an., 22:11.
[19] Al-Qur’an., 89:27.
[20] Al-Qur’an., 16:106.
[21] Al-Qur’an., 16: 112.
[22] Al-Qur’an., 16:106.
[23] Ahmad Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001) 315-316.
[24] Al-Qur’an., 22:11.
[25] Ibid., 356.
[26] Al-Qur’an., 89:27.
[27] Ibid., 643.
[28] Abdul Razzaq al-Kalasyani, Mu’jam al-Istilahat al-Sufiyyah,(Kairo: Dar al-Ma’arif, 1984) 116.

[29] Al-Qur’an., 89:27.

2 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.net
    arena-domino.org
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus