Senin, 18 Januari 2016

Proposal Skripsi- QIRA’AT LANGGAM JAWA DALAM PERSPEKTIF HADIS

Hasil gambar untuk qiraat langgam jawa

QIRA’AT LANGGAM JAWA DALAM PERSPEKTIF HADIS
Oleh : Joko Supriyanto
I.              Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā secara mutawatir kepada Rasululah Ṣallallah Alayhi wa Sallam sebagai wahyu untuk menunjukkan kerasulannya sekaligus sebagai pedoman hidup bagi umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya. Banyak sekali kemukjizatan yang terkandung dalam al-Qur’an, bukan hanya terletak pada setiap kalimat dan lafaẓnya, tetapi juga terletak pada setiap hurufnya.
Sebagaimana yang disampaikan hadis Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.[1]
Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah (al-Qur’an), maka baginya terdapat kebaikan, dan kebaikan itu setara dengan sepuluh kebaikan. Saya tidak mengatakan alif lām mīm itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lām satu huruf, dan mīm satu huruf.
Selain kemukjizatan yang terdapat pada setiap huruf, kemukjizatan lainnya ada dalam lafadz al-Qur’an, yang salah satunya terletak pada cara pembacaannya, atau biasa disebut dengan qira’at. Bacaan atau qira’at ini sudah ada pada masa nabi, yang kemudian diajarkan dan diterima oleh generasi ke generasi dengan mata rantai yang mutawatir dan terpelihara dari segala bentuk kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu sampai sekarang masih ada qira’at sab’ah, qiraat mutawatir yang sudah diakui kebenaran riwayatnya yang sampai pada Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam.
Dalam hal qira’at, Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam selain memerintahkan membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, beliau juga pernah memerintahkan untuk memperindah suara ketika kita membaca al-Qur’an, dengan sabda beliau yang berbunyi :
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ[2]
Perindahlah al-Qur’an dengan suara-suara kalian.
Oleh karena itu, wajar  saja banyak orang yang mempelajari seni baca al-Qur’an. Namun seiring berkembangnya zaman, ragam-ragam seni bacaan al-Qur’an juga sudah banyak bermunculan dan disesuaikan dengan lingkungannya, termasuk salah satunya adalah ragam bacaan al-Qur’an dengan menggunakan langgam jawa. Seperti yang terjadi pada baru-baru ini, telah muncul pertentangan dikalangan intelektual dan akademisi tentang langgam jawa yang digunakan oleh seorang qari’ dalam membaca al-Qur’an pada acara Isra’ Mi’raj di Istana Merdeka yang sempat menjadi trending topic, baik di dunia maya maupun di diskusi-diskusi dan kajian akademisi.[3]
Sebagian golongan berpandangan bahwa membaca al-Qur’an dengan langgam jawa merupakan unsur berlebih-lebihan atau takalluf  dalam membaca al-Qur’an dan mengikutkan bacaan al-Qur’an ke dalam alunan lagu atau langgam sehingga menimbulkan kesalahan dan merusak arti yang dibaca. Golongan ini menggunakan argumen dari hadith Nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam yang diriwayatkan oleh al-Hudhaifah, yaitu:
اقرءوا القرآن بلحون العرب وأصواتها، وإيّاكم ولحون أهل الفسق، فإنّه سيجيء من بعدي قوم يرجّعون القرآن ترجيع الغناء والرّهبانيّة والنّوح، لا يجاوز حناجرهم، مفتونة قلوبهم وقلوب الّذين يعجبهم شأنهم.[4]
Bacalah al-Qur’an dengan irama dan suara orang Arab, jauhilah irama dan lagu ahli fasiq, maka sesungguhnya akan datang setelahku sebuah kaum membaca al-Qur’an seperti menyanyi dan mengeluh, tidak melampau tenggorokan mereka, hati mereka tertimpa fitnah dan hati orang yang mengaguminya”.
Sedangkan sebagian golongan yang lain, berpandangan bahwa membaca al-Qur’an dengan langgam jawa atau dengan langgam nusantara, dapat dibenarkan selama masih dalam koridor kaidah ilmu tajwid dan menyelaraskan makhārij al-Huruf Arab yang paten. Pandangan ini didasarkan pada hadis-hadis tentang diperbolehkannya membaca dengan lebih dari satu huruf dan didukung oleh fakta sejarah ilmu qira’at.
أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ، فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ[5]
Dengan adanya hadis di atas, sejarah mencatat bahwa ragam bacaan dalam al-Qur’an telah terjadi sejak zaman Nabi dan beliau pun ketika didatangi oleh Jibril untuk membaca al-Qur’an dengan satu huruf, beliaupun mengajukan permohonan kepada Jibril untuk dimintakan keringanan kepada TuhanNya agar diringankan dalam membaca al-Qur’an. Setelah melakukan negosiasi yang panjang antara Nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam dengan TuhanNya melalui Jibril Alayhi al-Salam, diberilah kemudahan kepada Nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam dan seluruh umatnya untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf sebagai bentuk kasih sayang.
Dari semua pemaparan di atas, kemudian muncul pertanyaan bagaimanakah hukum membaca al-Qur’an dengan langgam-langgam lain, terutama langgam jawa yang menjadi pokok bahasan dalam karya ilmiyah ini?, Bagaimanakah makna hadis yang sebenarnya yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama’ untuk menentang qira’at langgam jawa ini?, serta apakah ada batasan-batasan tertentu yang menjadikan legal suatu bacaan atau bisa dikatakan tidak menyimpang dari kaidah lahn al-‘Arāb?
Dalam rangka menemukan jawaban dari pertanyaan di atas, peneliti akan mengkajinya dari berbagai aspek. Namun untuk lebih spesifikasi, pembahasan peneliti lebih fokus pada sorotan ilmu ma’āni al-hadīth terhadap hadis yang memerintahkan untuk membaca al-Qur’an dengan lahn al-Arab, karena dengan mengetahui makna hadis ini yang sesungguhnya, kita akan bisa mengetahui apakah qira’at dengan  lahn al-Arab itu wajib sehingga implikasinya ketika kita membaca al-Qur’an dengan tidak menggunkan lahn al-Arab, maka bacaan kita menjadi tidak sah dan bisa saja membuat kita berdosa. Namun kalau membaca al-Qur’an dengan lahn al-Arab itu hanya sekedar cara yang sesuai karena tidak melanggar kaidah tajwid dan ketentuan-ketentuannya serta tidak takalluf, berarti kita boleh menggunakan qira’at lain selain Arab asalkan ketentuan tersebut tetap terpenuhi.
Dengan menggunakan pendekatan ma’āni al-hadīth dan sedikit menambahkan tentang kritik sejarah, peneliti berkeinginan untuk memperjelas makna hadis yang digunakan untuk menentang qiraat dengan langgam jawa ini, dan nantinya sekaligus menjawab hukum diperbolehkan atau tidaknya membaca al-Qur’an dengan langgam jawa. Oleh karena itu, dengan mengkaji pandangan-pandangan di atas, diharapkan akan didapatkannya seperangkat pengetahuan secara akademis yang bisa dipertanggung jawabkan.
II.           Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum membaca al-Qur’an menggunakan dialek atau langgam jawa?
2.      Apa hakikat makna hadis yang dijadikan dalil sebagian Ulama’ untuk menentang qira’at langgam jawa, serta sesuaikah dalil yang digunakan untuk mendukungnya?
3.      Apa batasan-batasan yang menjadikan sahnya qira’at sehingga tidak sampai ke unsur takallūf?
III.        Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan:
1.    Hukum membaca al-Qur’an dengan dialek atau langgam selain Arab, khususnya langgam jawa.
2.    Subtansi pemikiran dan pandangan yang diajukan oleh golongan yang melarang pembacaan qira’at dengan laggam jawa, serta mengulas subtansi pemikiran dan pandangan yang diajukan oleh golongan yang setuju terhadap adanya pembacaan qira’at dengan laggam jawa atau tidak melarangnya.
3.    Batasan-batasan yang bisa melegalkan qira’at dan tetap sesuai dengan lahn al-ārab dan tidak termasuk takalluf.
Kemudian untuk manfaatnya, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk hal-hal sebagaimana berikut:
1.    Secara teoritis, mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan memperkaya khazanah keislaman.
2.    Secara praktis, dapat mengetahui secara komprehensif terhadap pandangan-pandangan yang bersebrangan tentang qira’at langgam jawa.
IV.        Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap penelitian-penelitian maupun karya sebelumnya, belum ada satu pun buku yang secara khusus membicarakan tentang Qira’at langgam jawa ini, baik itu dari pandangan tokoh maupun yang di lihat secara leteratur hadis. Selain itu, penulis pun tidak menemukan skripsi atau penelitian hadis mengenai hal ini.
Namun sekedar komentar atau pendapat yang berkaitan dengan Qira’at langgam jawa ini sudah pernah ada, salah satunnya yang dilakukan oleh Habib Zain bin Smith al-Madani dengan diwakili muridnya al-Habib Hafidhahullah. Beliau pernah berfatwa ketika diwawancarai oleh pihak NU garis lurus dengan berkata:[6]
Jika Lagu-lagu itu di pakai oleh para penyanyi orang-orang fasik, dan di Rasa mengurangi makna-makna yang ada di dalam al-Qur’an atau merendahkan Al-qur’an maka hukumnya Haram.
Karena Kaum Muslimin Harus menghormati Al-qur’an, baik itu dari sisi Baca’an nya, Tilawah nya  serta Lagu nya.
Adapun jika tidak demikian, maksud nya Tidak merubah makna-makna Al-qur’an yang telah di sepakati Oleh Para ahli Lughoh dan Ahli Tafsir yang Muktabarah, dan tidak di rasa merendahkan, Maka itu Boleh.
Keluar dari khilaf adalah Mustahāb, Thariqah Kami adalah mengambil pendapat Yang lebih berhati-hati.
Catat ini dan sebarkan kepada semua Thalabah Hingga Tidak terjadi Fitnah Antara Mereka dan Antara Kaum Muslimin.
Ini membuktikan bahwa kajian Qira’at langgam jawa dalam perspektif hadis ini adalah sesuatu hal yang baru, dan perlu diteliti lebih lanjut untuk mempertegas hukum menggunakannya.
V.           Kerangka Teori
Penelitian ini merupakan penelitian pemahaman matan suatu hadis. Peneliti menggunakan teori ilmu ma’āni al-hadīth, yaitu ilmu yang berusaha memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya. Abdul Mustaqim, mengatakan bahwa :Ilmu ma’āni al-hadīth adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan memahami hadis Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam ketika menyampaikan hadis, dan bagaimana menghubungkan teks hadis masa lalu dengan konteks kekiniian, sehingga diperoleh pemahaman yang relatif lebih tepat, tanpa kehilangan relevensinya dengan konteks kekinian.”[7]
Setelah kita menentukan otentisitas suatu hadis, langkah selanjutnya kita melakukan suatu kajian. Kajian disini yaitu melingkupi kajian linguistik. Mengingat bahwasan hadis tersebut diturunkan dalam bahasa arab. Tak lupa kita harus melihat ke kebelakang tentang situasi hadis tersebut bagaimana keadaan hadis tersebut muncul. Termasuk juga kapasitas hadis itu, apakah hadis itu shahih, hasan atau dzaif sehingga kita dapat menjadikannya hujah.
Langkah selanjutnya yaitu kajian cermat terhadap situasi kekinian. Jadi hadis tersebut kita terapkan dengan situasi pada masa kini atau dengan masalah apa yang akan kami teliti. Sehingga kita dapat mengamalkan pesan dalam hadis tersebut.[8]
VI.        Metode Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti[9]. Penelitian ini digunakan untuk mendapatkan data yang komprehensif tentang pandangan-pandangan para pengingkar ragam bacaan dalam al-Qur’an beserta kritik ulama terhadapnya.
Penelitian ini terfokuskan pada penelitian kepustakaan atau Library Reseach,[10] yaitu penelitian yang sumber datanya terdiri dari atas bahan-bahan yang telah dipublikasikan, baik dalam bentuk kitab, buku, majalah, maupun berupa literatur lain berbahasa Arab, Inggris dan Indonesia yang dianggap representatif dan memiliki relevansi dengan objek yang sedang diteliti.Sedangkan teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori ma’āni al-hadīth, yaitu sebuah teori untuk mengidentifikasi makna hadis secara komprehensif.
2.    Sumber Rujukan
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga macam, sumber primer, sekunder dan sumber data tersier:
a.    Sumber data primer adalah karya-karya yang berkaitan dengan ilmu Qira’at, Ulūm al-Hadīth dan Ulūm al-Qur’an, seperti al-Nashr fi Qira’at al-‘Ashr, karya Muhammad al-Jazariy, al-Qira’at fi Nazr al-Mustasriqin wa Mulhidin, karya al-Qadiy, al-Hujjah Fī Qirā’ati al-Sab’a karya al-Husain Abu Abdillah bin Ahmad dan al-Mu’jam al-Ausaṭ karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Ṭabrani.
b.    Sumber sekunder adalah literatur yang ditulis oleh orang lain yang memiliki relevansi dengan pembahasan yang terdapat dalam buku-buku atau artikel-artikel umum seperti buku kajian Islam, ensiklopedia, majalah, dan lain-lain.
Sedangkan data-data atau literatur yang akan peneliti gunakan untuk melengkapi sumber sekunder adalah yang memiliki relevansi dengan pandangan seperti:
1)   Al-Burhān Fī Ulūm al-Qur’an, karya al-Zarkasyi.
2)   Manāhil al-Irfān, karya ‘Abdul ‘Aẓīm al-Zarqaniy.
3)   Al-Qiraat Ahkāmuhā wa Madāruhā, karya Sha’bān Muhammad ‘Isma’il.
4)   Rasm al-Mushaf al-Uthmāni wa Auhām al-Mustasyriqīn Qirā’at al-Qur’an, karya Abdul Fattah Ismail Shalabiy.
5)   Safahāt Ulūm al-Qirā’at, karya Abdul Qayyūm al-Sanadiy.
6)   Ahruf al-Qur’āniyat al-Sab’ah, karya al-Marudiy.
7)   Al-Qirā’at al-Qurāniyah, karya Abd al-Hādi al-Fadliy.
c.    Data tersier, yaitu data dari internet, karya ilmiah, diktat kuliah dan data yang terkait dengan judul penelitian yang penulis tulis.
3.    Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dukomenter terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data dan informasi diperoleh dari bahan pustaka berupa arsip, dukomen, majalah, buku, kitab dan materi pustaka lainnya yang memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan.
Dalam operasionalnya, pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, membaca dan menelaah berbagai buku atau kitab mengenai hal yang terkait dengan ragam bacaan al-Qur’an.
4.    Analisis Data
Analisis data adalah penguraian dan penelaahan suatu pokok atas berbagai bagiannya serta menghubungkan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Jadi analisis data adalah penelaahan dan penguraian atas data hingga menghasilkan kesimpulan.[11]
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah  metode diskriptif-analitik.[12]Karena data yang diperoleh dari kepustakaan bersifat kualitatif, berupa pernyataan-pernyataan verbal dan bukan data dalam bentuk angka-angka.[13] Selanjutnya peneliti akan menghimpun data-data sejarah yang meliputi situasi sosial kemasyarakatan dan politik. Cara ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi seputar pandangan-pandangan para pengingkar ragam bacaan dalam al-Qur’an beserta kritiknya.
VII.     Sistematika Penulisan
Secara garis besar, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi pendahuluan yang memuat; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab Kedua, menjelaskan pengertian qira’at langgam jawa, penjelasan hadis-hadis tentang bacaan al-qur’an, ketentuan-ketentuan qira’at yang dibenarkan, dan qira’at menurut sekte dalam Islam; syiah, muktazilah dan sunni.
Bab Ketiga, berisi tentang kritikan terhadap qira’at langgam jawa disertai analisis pemikirannya.
Bab Kelima, berisi penutup, yang memuat kesimpulan dan saran.


[1] Muhammad bin ‘Isā bin Thaurāh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dār al-Gharib al-Islamy, 1999)  juz 5, 25. Hadis ke 2910.
[2] Abu Dawud Sulaiman al-Sijistāni, Sunan Abi Dawūd, (Beirut: Maktabah al-‘Iṣriyah, t.th) juz 2, 74, no : 1468). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i.
[3] http://www.satuislam.org/nasional/jawaban-kontroversi-baca-al-quran-langgam-jawa/ diakses pada tanggal 24 Desember 2015.
[4] Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Ṭabrani, al-Mu’jam al-Ausaṭ, (Kairo: Dār al-Haramain, t.th) juz 7, 183, no: 7223.
[5] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Ṣahīh Bukhari, (Mesir : Dār Ṭauq al-Najah, t.th) juz 4, 113, no. 3219.
[6] http://www.nugarislurus.com/2015/05/fatwa-habib-zain-bin-smith-madinah-al-quran-langgam-jawa-haram.html. Diakses pada tanggal 24 Desember 2015.
[7] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis Paradigma Interkoneksi: berbagai teori dan Metedo Memahami Hadis Nabi, (t.tp: Erlangga, t.th), hal: 23.
[8] Nurun Najwa, Ilmu Ma’ani Hadis: Metode Pemahaman Hadis Nabi, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008), hal: 18-19.
[9] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja  Rosda Karya, 2002), 3.
[10] S. Arikanto, Prosedur Suatu Penelitian Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 11.
[11]M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, 75.
[12]Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1997), 61.
[13]  Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 3.

0 komentar:

Posting Komentar